23 - D-day

"Karena mungkin ... gue suka sama lo."

Berlian terpana beberapa saat sebelum berhasil menguasai diri. "Lo bercanda."

"Lo pernah lihat gue bercanda?" Alvian menjawab dengan nada datar.

Ah benar, Berlian bahkan tidak pernah melihat cowok itu tersenyum atau pun melepaskan tawa.

Pintu ruang seni terbuka dan menimbulkan suara decit yang khas.

"Eh, saya kira nggak ada orang." Mang Ujang terlihat kaget mendapati keberadaan Berlian dan Alvian dalam ruangan ini. Peralatan bersih-bersih lengkap di kedua tangannya yang berbalut sarung tangan.

Kehadiran Mang Ujang membuat Berlian terpaksa menelan keinginan untuk membahas hal mengenai perasaan itu lebih jauh. Lagipula, bel masuk telah berbunyi. Alvian mulai beranjak karena tidak ada alasan lagi untuknya tetap di ruangan tersebut. Berlian mengekori dan keluar setelah mengangguk sopan pada Mang Ujang.

Tak jauh dari sana, Galang dan Lintang mengembuskan napas panjang secara bersamaan. Mereka merasa begitu tegang mendengar pembicaraan di antara Alvian dan juga Berlian.

Sesampainya di kelas, Berlian tak dapat memungkiri bahwa kedua matanya akan selalu berusaha mencuri pandang pada cowok dingin yang duduk sendirian di pojok belakang sebelah kiri kelas karena rekan semeja Alvian, Kiev Bhagaskara sedang izin meliburkan diri karena sesuatu yang berkaitan dengan kariernya sebagai selebriti papan atas.

Alvian kini tengah menyibukkan diri dengan membaca buku. Berlian mendengus, bagaimana bisa ada orang yang sedingin itu setelah mengungkapkan perasaan kepada seorang cewek.

Sebuah gebrakan pintu membuat Berlian tersentak. Bukan hanya Berlian, melainkan seisi kelas XII IPA 1 terlonjak kaget di tempat mereka masing-masing. Mereka kemudian mencurahkan perhatian pada Dion dan Gina yang terlihat sedang terlibat perseteruan untuk kesekian kalinya. Diiringi oleh Udin, Shandy dan Yudhis yang memasuki kelas dengan tertawa-tawa geli.

"Balikin sepatu gue!" Gina mencoba merebut sepatu kanannya yang berada dalam genggaman Dion.

Dion lantas berkelit dan mengarahkan sepatu Gina ke atas sampai gadis itu harus berjinjit karena postur yang kalah tinggi darinya.

"Iya, tapi maafin gue dulu," cetus Dion sambil terus melakukan aksinya.

Gina tak mengindahkan perkataan Dion dan malah semakin meradang. "Dion! Balikin nggak!" Cewek itu bahkan telah melompat-lompat mencoba menggapai sepatunya.

"Adaw!" Dion berseru kesakitan saat Gina menginjak kakinya dengan cukup keras.

"Mereka kenapa lagi, Din?" tanya Galang penasaran dengan apa lagi yang telah teman semejanya lakukan sampai Gina semarah itu. Sepertinya masalah bukan hanya berkisar tentang sebelah sepatu Gina yang ada pada Dion.

Udin terkekeh dan melirik ke arah Dion dan Gina yang masih beradu mulut. "Tadi di kantin, Dion nggak sengaja nyipok pipi Gina."

"What?!" tanggap Lintang shock. Ia lalu saling lirik dengan Berlian yang duduk di sampingnya. Gadis itu juga terlihat kaget atas penyataan Udin. "Gimana bisa?"

"Ya ... tadi kan kantin penuh banget noh, terus Opal maksa duduk di sebelah Dion."

"Opal anak IPA 2?"

"Iyap! Lu kan tau Opal badannya ngalah-ngalahin bison terbangnya Avatar The Legend of Aang. Mereka bertiga jadi duduk dempetan. Eh pas Dion noleh ke Gina, malah kedorong siku Opal yang mau makan sate. Terus ... cup!" Udin tertawa terbahak-bahak bersama Yudhis dan Shandy.

"Yoi, Gina kalap ampe ngelempar sebelah sepatunya ke arah Dion." Shandy menimpali.

"Dan sayangnya nggak kena," ujar Yudhis dengan ekspresi kecewa. Namun, sedetik kemudian tiga serangkai itu kembali tertawa.

"Minggir lu pada!" usir Gina gahar pada tiga sekawan yang masih termasuk dalam komplotan Dion itu. Dion yang ada di belakang Gina langsung mengisyaratkan teman-temannya untuk tidak mencari masalah.

"Nang, jangan ngambek-ngambek ngapa," ujar Dion setelah Gina duduk dengan muka cemberut total karena tak berhasil mengambil sepatunya.

Gina mendelik tajam ke arah Dion.

"Nang ...." Dion mencicit sambil menoel lengan Gina dengan jari telunjuk.

"Apa?!" sahut Gina super garang.

"Lo masih marah sama gue?" tanya Dion dengan binar mata yang di polos-poloskan macam anak TK. "Gue kan kagak maksud, Nang. Opal tuh—"

"Au ah! Sana gih lo jauh-jauh!"

"Kenapa gue harus jauh-jauh coba? Ah, jantung lo berdebar-debar ye gara-gara gue?" Dion mengulum senyum.

Pipi Gina memanas. Ia merasa tidak karuan karena accidental kiss yang terjadi padanya dengan Dion di kantin tadi. Kendati hanya di pipi tapi tetap aja itulah namanya kiss! Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh lawan jenis kecuali almarhum ayahnya. Itu pun saat ia masih bocah. Dan Dion merenggut kesucian pipinya begitu saja?

"Pokoknya lo jauh-jauh sana! Gue nggak mau liat muka lo!"

"Yah, lo kan tau gue nggak bisa jauh-jauh dari lo." Dion tercekat menyadari perkataannya barusan.

"Konflik bahtera rumah tangga mereka sungguh mengharukan," komentar Yudhis.

"Menyayat hati yang rindu akan kasih sayang," ceplos Udin dramatis.

"Begitu menguras perasaan," timpal Shandy tak kalah melankolis.

"Berisik!" seru Galang dan Lintang bersamaan. Tiga serangkai itu pun kembali cengengesan.

"Nang, kalau lo ngerasa pipi lo ternodai, gue beneran minta maaf. Sumpah gue nggak sengaja," tutur Dion dengan wajah yang teramat bersalah. "Apa lo mau gue cariin kembang tujuh rupa di tujuh sumber mata air, Nang?"

Gina melongo. Apalagi Dion terdengar sangat sungguh-sungguh mengucapkan itu semua.

"Nang, harusnya lo marah sama Opal noh, makan sate udah kayak belom makan dari TK. Dan harusnya sekarang gue juga marah sama lo! Soalnya, lo udah ngambil hak istri gue kelak! Bibir gue ini hak milik istri gue seorang. Sekarang, gimana? Lo bisa balikin bibir gue jadi suci lagi?" cerocos Dion menggebu-gebu.

Semua terpana dengan cerocosan Dion.

"Tapi pipi gue juga udah kagak suci lagi gara-gara lo!" Gina menyahut tajam.

"Eh, bocah-bocah. Stop!" Galang melerai perdebatan antara Dion dan Gina. "Stop meributkan semua yang udah berlalu. Waktu juga nggak bisa diputar balik kan?"

"Atau ngga, kalian bisa mempertanggungjawabkan perbuatan kalian dengan melangkah ke jenjang pernikahan," cuit Udin seraya menyengir kuda.

Dion dan Gina melotot dan berseru serempak. "DIEM LO DIN!"

***

Pada waktu istirahat kedua, Lintang dan Berlian baru saja menduduki kursi kantin. Sementara Galang melipir untuk menerima panggilan telepon yang tampak begitu penting sampai-sampai cowok itu melangkah menjauh dari mereka.

"Eh, ada eneng-eneng, baru aja mau makan, Neng?" tanya Mang Ujang. Tukang sapu SMA Atmawijaya itu memang memiliki kepribadian yang ramah dan bersahabat. Sesekali Mang Ujang juga menyapa anak-anak lain yang hendak meninggalkan kantin.

"Iya nih, Mang. Tadi baru aja nyelesain catatan," sahut Berlian sopan. Sedangkan Lintang hanya tersenyum menanggapi.

Tanpa Berlian dan Lintang sadari, Alvian memerhatikan mereka dari kejauhan. Tepatnya ke arah Berlian. Tatapannya datar tapi tersirat dalam. Penuh arti yang hanya bisa diterjemahkan dengan hati. Maafin gue Jingga, batin Alvian lirih penuh penyesalan.

Alvian kemudian mengangkat ponsel miliknya yang sedari tadi mengeluarkan getar. Terdapat satu nama yang tertera di sana.

Mr. Jacob.

Alvian menerima panggilan tersebut dengan ingin tak ingin. Matanya lantas membelalak dan jantungnya terasa tertusuk kala kalimat pertama dari bos besar mafia itu terdengar.

Tatapannya ke arah Berlian kian mendalam.

Berlian yang merasa sedang diawasi langsung menolehkan kepalanya ke sekeliling. Namun, saat pandangannya terarah pada tempat Alvian berdiri, sosok itu telah menghilang.

"Lo nasi goreng juga, Li?"

Berlian terkesiap mendengar pertanyaan Lintang dan lantas mengangguk.

"Gue pesenin ya." Lintang kemudian beranjak ke arah stan nasi goreng yang ada pada kantin tersebut.

"Oh iya, lo mau yang pedes atau—" omongan Lintang terpotong saat menyadari Berlian telah tidak ada di tempat. Lintang mengernyit dan mengedarkan pandangan. Ini terasa sangat janggal. Berlian lenyap bagai debu yang ditiup angin dalam hitungan detik. Hanya ada ponsel yang ditinggalkan tergeletak di atas meja kantin.

Tiba-tiba Lintang dirundung gelisah yang teramat besar. Ia meraih ponsel Berlian dan mulai berjalan cepat. Gadis itu menanyai orang-orang yang kebetulan lewat akan tetapi tak ada yang bisa memberikan keterangan tentang keberadaan Berlian.

Lintang panik. Ia mengontak Galang melalui alat komunikasi mikro yang terpasang di telinganya.

"Lian masih sama lo, Lin?" Galang malah mengajukan pertanyaan terlebih dahulu.

Lintang lantas menjelaskan situasi secepat mungkin. Tentang seberapa cepatnya gadis itu menghilang bak ditelan bumi.

"Alvian juga nggak bisa ditemukan di mana pun," bisik Galang dengan penuh penekanan.

Lintang menggigit bibir. "Lang, apa ini harinya?"

"Kita ketemu di parkiran!" Satu perintah dari Galang itu membuat Lintang berlari secepat mungkin.

Lintang sampai terlebih dahulu. Diikuti oleh Galang kemudian. Tarikan napas keduanya yang terengah-engah mendominasi keheningan.

"Lang, gue udah ngelacak Lian," Lintang menunjukan tab-nya pada Galang.

Galang memerhatikan titik merah yang terpampang pada layar. Posisi Berlian yang berubah-ubah membuat mereka mengetahui bahwa gadis itu sedang berada dalam perjalanan. Tanpa basa-basi Galang lantas melajukan mobilnya.

Lintang menggenggam erat pegangan mobil yang berada di atas tepat pada sebelah kiri. Walau telah memakai sabuk pengaman, sensasi yang ditimbulkan oleh cepatnya laju yang dikemudikan oleh Galang mencapai ambang batas kulminasi. Bergerak cepat dan tepat. Menyalip mobil-mobil dan pengendara lain dengan perhitungan yang akurat. Galang memang telah terlatih dalam melakukan pengejaran.

"Gue udah dapat informasi dari tim profiler," ujar Galang dengan tatap yang masih berkonsentrasi pada jalanan.

Galang mulai mengutarakan informasi yang telah ia dengar dari panggilan telepon beberapa saat yang lalu. Pria yang menabrak Berlian itu adalah salah satu pembunuh bayaran paling dicari. Sesuai dengan data yang mereka kirimkan, pria itu berhasil diidentifikasi.

Dia adalah seorang pria berdarah Vietnam-Jerman. Pembunuh bayaran itu terlibat dalam penyelundupan barang haram sindikat internasional juga perdagangan gelap senjata api ilegal. Beberapa tahun terakhir, negara ini telah terpilih menjadi tempat persembunyiannya dari kejaran interpol dan institusi kepolisian negara lainnya.

"Dia terlalu berbahaya. Lalu bagaimana dengan Alvian?"

"Itulah, besar kemungkinan mereka berada pada kubu yang sama."

Bersambung

Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰

Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗

Regards, Iin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top