21 - Puzzle
Berlian terus berlari tanpa mengenal arah dan tujuan. Mengabaikan segala rasa pedih atas luka yang menghinggapi tubuhnya akibat kecelakaan yang memang telah direncanakan itu. Kedua kaki letihnya yang tak menggunakan alas, tergores-gores karena menapaki kasarnya permukaan aspal.
Langit dengan kilau lazuardi berhias jingga menyapu wajah Berlian yang pucat pias. Darah bercampur peluh menetes di pelipisnya. Gadis itu gemetar hebat. Rasa takut yang begitu menguasai membertik jiwa rentannya bak ilalang yang diterpa angin sore berderu-deru. Langkah kakinya membawa gadis itu memasuki kawasan hutan belantara. Kendati banyak pohon-pohon besar yang mampu menyembunyikannya, Berlian tetap saja merasa bahwa ia akan dengan mudah ditemukan oleh orang jahat itu.
Jauh di belakangnya, pria dengan aura angkara itu berjalan dengan tempo sedang. Namun, derap langkah yang menyapu permukaan tanah berselimut hamparan daun dan dahan-dahan kering mampu mengintimidasi Berlian sampai ke ubun-ubun.
"Aku melihatmu, Nona muda." Suara bengis yang sarat akan ancaman dan diiringi oleh kekehan mengerikan itu terus menghantui indra pendengaran Berlian. Dan yang hanya bisa ia lakukan hanyalah terus berlari, berlari dan berlari serta berdoa dalam palung hati.
Entah sampai kapan ia harus hidup dalam pelarian. Ironi-ironi ini telah muncul sedari dirinya masih kecil. Jabatan sang ayah sebagai Jendral Kepolisian dan berkecimpung dalam menangani kasus-kasus kriminal kelas kakap. Kemudian terpilih menjadi seorang Presiden adalah penyebab yang utama. Berlian baru saja menghirup kehidupan dalam kutip normal setelah diasingkan dan statusnya sebagai putri Presiden dihapuskan dalam hidupnya. Sembilan tahun terakhir, ia masih bisa bernapas lega dalam persembunyian. Namun, semua itu berakhir, kala para seteru ini menemukan keberadaannya.
Berlian tak bisa membayangkan, jika ia akan berakhir tragis seperti kakak perempuannya. Jingga Aprilia Cahaya Effendie, yang bahkan mayatnya tidak bisa ditemukan karena ganasnya samudra. Kala itu, Berlian belum dilahirkan. Ia tidak memiliki kenangan apa pun bersama Cahaya. Gadis itu mengenal sosok Cahaya semata-mata melalui foto dan cerita-cerita masa kecil yang sang bunda sampaikan padanya.
Berlindung di balik bongkahan batu raksasa, kini Berlian mencoba mengatur napas dan mendudukkan diri di sana. Duduk tersimpuh dan tak berdaya. Gadis itu menutup mulutnya dengan kedua tangan untuk menahan isakan. Bulir airmatanya merebak dengan begitu deras. Membasahi pipi dan tangannya lalu jatuh menimpa tanah.
Matahari beranjak turun. Cahayanya kian redup ditambah dengan rimbun pohon yang menaungi. Remang, hening dan mencekam. Kicau burung gagak dan jangkrik yang bersenandung membuat rasa takutnya kian menjadi. Daun telinga Berlian otomatis melebar kala gerak langkah itu kembali terdengar. Berlian beringsut mundur dan merapatkan dirinya ke arah batu besar tempat ia bersandar. Bayangan hitam sosok itu terlihat jelas di hadapannya. Jantung Berlian secara otomatis semakin memompa dengan kuat. Hampir tak terkendali.
Berlian tahu, ia telah ditemukan. Sebentar lagi, nyawanya pasti akan lenyap. Dan jasadnya, entah dapat ditemukan ataukah menghilang ditelan bumi.
"Berlian?"
Gadis itu membelalak. Lantas, ia menoleh ke arah suara itu. "Ga ... Galang?"
Galang menaruh telunjuknya di depan bibir. Cowok itu mengedarkan pandangan lalu melangkah cepat ke arah Berlian.
"Lo baik-baik aja?" tanya Galang cemas. Mata cowok itu seolah memindai kondisi Berlian dari atas kepala sampai ujung kaki. Luka luar Berlian terlihat cukup parah akibat kecelakaan yang terjadi ditambah harus berlari-lari menghindari orang jahat itu.
Berlian hanya mengangguk. Gadis itu menumpahkan tangisannya dengan perasaan yang telah agak sedikit lapang karena menemukan sang penolong. Walaupun ia sedikit bingung tentang bagaimana cara Galang menemukannya dan alasan mengapa Galang bisa ada di hutan ini.
"Gue tadi lihat mobil lo kecelakaan dan ada orang yang mengejar lo," jawab Galang seolah dapat membaca pikirannya.
Galang pun kemudian mengajaknya untuk meninggalkan tempat ini sesegera mungkin. Sebab, sangat besar kemungkinan bahwa penjahat itu masih berkeliaran dalam hutan ini.
Cowok itu lantas memapah Berlian yang tertatih menuju mobilnya. Mereka berdua pun dengan tergesa meninggalkan daerah itu. Tanpa mengetahui ada sebuah pertarungan hebat kini terjadi di bagian hutan yang lain pada waktu bersamaan.
***
Alvian meringis kala Aileen menjahit luka sobek yang cukup parah pada punggungnya. Darahnya bersimbah di permukaan sofa. Hal ini adalah buntut dari pertarungannya beberapa saat yang lalu.
"Dan lagi-lagi lo nyelamatin cewek itu," ujar Aileen sembari melepaskan sarung tangan steril yang membalut tangannya. Ia bukanlah seorang dokter. Namun, perempuan berusia 23 tahun itu cukup terampil untuk melakukan pertolongan pertama dalam bidang medis.
"Gue hanya penasaran dengan sosok itu," balas Alvian dingin.
Aileen berdecak mendengar perkataan dari manusia salju di depannya. "Oke," cibir gadis itu seraya memutar bola mata.
Gadis dengan rambut panjang bergelombang itu lalu beranjak menuju kamar Alvian. Entah apa yang akan dilakukannya, Alvian tidak begitu peduli.
Cowok itu merenung dan berpikir keras tentang sosok yang beberapa saat lalu terlibat baku hantam dengannya. Tato yang ada pada telapak tangan orang itu persis dengan sosok yang ia lihat pada saat Berlian hampir jatuh dari atap sekolah. Jadi, kemungkinan besar orang itu adalah sosok yang sama. Namun, masalahnya adalah Alvian yakin sepertinya ia pernah melihat sosok itu di suatu tempat. Hal itu masih begitu samar. Seakan-akan sosok itu adalah orang yang sering berkeliaran di antara mereka dan mungkin adalah orang yang sama sekali tidak mereka duga.
Tak lama, Aileen membuka pintu kamar dan telah mengganti sweater-nya dengan balutan gaun malam yang indah. Alvian mengerutkan kening kala melihat Aileen yang kini duduk di sampingnya dan mulai mematut wajah di depan cermin. Cewek itu menyapukan lipstik dengan warna merah menyala. Kemudian memasang anting-anting gemerlapan.
"Lo liat kalung gue?" tanya Aileen serius pada Alvian. Kalungnya yang begitu berharga belum juga diketemukan sampai saat ini.
Aileen mendengus kesal melihat Alvian menggeleng tak acuh. Malam ini, gadis itu harus menghadiri sebuah pertemuan di sebuah hotel berbintang bersama Mr. Jacob. Kebetulan, acara itu juga dihadiri oleh sang Presiden. Tenang, mereka tidak akan melakukan apa pun pada orang nomor satu itu. Setidaknya untuk malam ini.
"Mr. Jacob ada di kota ini?" tanya Alvian dengan kedua mata yang terpicing tajam.
"Yap," sahut Aileen seraya menata rambutnya, "dan lo tau apa artinya kan?"
Rahang Alvian kontan mengeras.
Artinya, hari itu akan segera tiba. Hari yang akan menentukan semuanya.
***
"Terimakasih atas bantuan kalian," kata seorang wanita paruh baya pada Galang dan Lintang. Wanita itu adalah orang kepercayaan sang Presiden untuk mengurus segala keperluan Berlian sedari kecil.
Lintang dan Galang mengangguk sopan. Berlian kini sedang terlelap di dalam kamarnya. Lintang telah memberikan perawatan pada Berlian yang pastinya tanpa sepengetahuan gadis itu.
Karena tugas mereka telah selesai, Galang dan Lintang pun menuju markas mereka yang berada tepat di seberang kediaman Berlian.
Galang kini telah duduk bersandar di sofa ruang tengah. Cowok itu terlihat sangat lelah. Kedua matanya terpejam, mencoba meluapkan rasa letih. Bagaimana pun Galang adalah manusia. Tubuhnya juga bisa mengalami drop.
Lintang kemudian duduk di samping Galang dan tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. Merasakan kehadiran Lintang, cowok itu otomatis membuka mata. Ia menatap Lintang sekilas sebelum merebahkan diri dan menjadikan paha gadis itu sebagai bantalan.
Sedikit tergelagap, Lintang menatap wajah kuyu Galang yang kini kembali memejamkan mata. Waktu bergulir beberapa menit dalam keheningan.
"Lang," ujar Lintang akhirnya seraya menepuk pelan lengan Galang. Gadis itu tersentak menyadari suhu tubuh Galang yang begitu panas. Lantas saja ia menempelkan telapak tangan pada kening cowok itu.
"Lang, lo sakit."
Galang menggeleng kecil sembari bangkit untuk duduk. Cowok itu merasa tenggorokannya teramat gatal dan mulai batuk-batuk hebat. Lintang menghela napas lalu beranjak mengambil obat dan air putih untuk Galang.
"Ini minum obatnya." Galang menerima obat dari Lintang dan langsung meneguknya. Lalu meminum air dari gelas yang Lintang ulurkan.
Setelah selesai, Galang menyandarkan kepalanya pada punggung sofa. Lintang menggeret lengan cowok itu menuju kamar dan menyuruh Galang untuk beristirahat di sana.
"Lang, gue infus ya."
Galang kembali menggeleng. "Nggak usah, bentar lagi juga sembuh."
"Kalimat gue itu pernyataan, bukan pertanyaan," tegas Lintang sembari mempersiapkan infus dan mulai memasangnya.
Galang terkekeh pelan menatap ekspresi wajah Lintang yang terlihat marah sekaligus cemas.
"Kenapa ketawa?" tanya Lintang sinis.
"Nggak apa-apa."
Lintang hanya mendelik sambil mengatur tetesan cairan infus. "Gue buatin bubur dulu. Lo belum makan dari tadi." Lintang bergegas menuju dapur dan mulai berkutat di sana layaknya seorang chef profesional.
Selang beberapa lama, gadis itu telah kembali dengan mangkok berisi bubur di tangan. Duduk di tepian kasur, Lintang membantu Galang untuk duduk.
"Nih makan," ujar Lintang seraya menyodorkan mangkok bubur itu.
"Suapin."
Lintang mencibir. "Manja amat, Pak."
"Suapinnn."
Lintang menahan tawa mendengar rengekan Galang. "Kek anak kecil lo ah, makan sendiri."
"Tangan gue lemah banget asli, nggak kuat buat ngangkat sendok."
"Lebay," sungut Lintang seraya menyendok bubur yang ia buat lalu meniupnya pelan sebelum mengarahkan ke mulut Galang. Pria itu tersenyum menang dan membuka mulutnya untuk melahap bubur itu.
"Enak, makasih banyak ya, Lin. Gimana kalau kita nikah sekarang aja?" cetus Galang sambil terkekeh geli.
Lintang tertegun beberapa saat sebelum melotot dan menyentil dahi Galang. "Nggak usah banyak bacot, cepetan habisin!" omel gadis itu menyembunyikan rasa malunya.
Galang hanya menyengir lucu. Lalu kembali menyuap bubur yang Lintang sodorkan. Kalau begini, sakitnya mungkin akan segera hilang.
***
Merasa jenuh dengan acara besar yang membosankan ini, Aileen meminta izin kepada Mr. Jacob untuk menuju toilet. Pria bule itu sedang berbincang serius dengan seseorang yang Aileen ketahui sebagai direktur utama sebuah perusahaan manajemen dalam bidang entertainment. Banyak aktor, aktris dan juga penyanyi terkenal yang perusahaan itu naungi.
Direktur itu bernama Aji Rahardi. Pria itu cukup lama telah menjalin kerja sama yang baik dengan Mr. Jacob. Kerja sama dalam pengedaran gelap zat-zat terlarang. Pundi-pundi harta mereka semakin melimpah ruah berkat benda haram tersebut.
Mereka berdua adalah rekan kerja yang cocok satu sama lain karena sama-sama licik. Bedanya, Aji Rahardi cenderung memiliki banyak topeng. Hanya segelintir orang yang mengetahui kebusukannya.
Selebihnya, Aji dikenal sebagai sosok dengan pribadi yang sangat baik. Ia juga sering diliput media menyumbangkan dana yang besar untuk membantu sesama. Ya, itu hanya bertujuan untuk membangun imej baiknya.
Pikiran Aileen tentang Mr. Jacob dan Aji Rahardi terbuyarkan karena ia menabrak seseorang secara tak sengaja.
"Ya ampun. Maafkan saya, Nak," ujar seorang wanita paruh baya di depannya.
"Tidak, saya yang minta maaf," balas Aileen sopan sambil mengambilkan clutch wanita itu yang terjatuh. Wanita di depannya ini tampak begitu anggun mengenakan kebaya dan sanggul yang menghias kepalanya.
"Terimakasih," kata wanita itu tersenyum dan menyambut clutch miliknya yang Aileen ulurkan.
Aileen turut tersenyum. "Kalau begitu saya permisi."
"Tu...tunggu sebentar," cegah wanita itu sembari menahan tangan Aileen.
Gadis itu pun kontan menoleh. "Ya?"
Hening beberapa saat.
Dua perempuan berbeda generasi itu bersitatap dengan hati yang bergolak. Entah apa artinya. Hanya perasaan yang mendominasi saat ini dan ada sebuah kehangatan mendalam di sana. "Bu...."
Keduanya terkesiap saat menyadari kehadiran seseorang. Terlebih Aileen, ia langsung melepaskan genggaman tangan wanita paruh baya itu.
"Saya permisi," pamit Aileen sebelum melenggang pergi.
Wanita itu memandang punggung Aileen dengan lekat. Sebuah ruang kosong tercipta dalam hatinya saat menatap kepergian Aileen. Kemudian ia balik memandang suaminya yang menatap dengan penuh tanda tanya sekaligus khawatir.
"Ibu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, Pak," ucap wanita itu tersenyum lirih sembari menggenggam tangan suaminya.
Ia kembali menatap Aileen yang kini menghilang di balik pintu utama.
"Bapak dan Ibu, silakan lewat sini," kata seorang ajudan mempersilakan pasangan dengan aura penuh kesahajaan itu menuju tempat duduk tamu kehormatan.
"Ini bentuk apa, Bunda?" tanya seorang gadis kecil sambil menunjukkan kalung yang telah terpasang indah di lehernya. "Apa ini bentuk api?"
Wanita yang ia panggil dengan sebutan bunda itu menggeleng pelan. Terulas senyum keibuan pada bibir tipisnya. "Bukan, ini bentuk cahaya, sayang."
Sekelebat bayangan-bayangan menghampiri Aileen secara bertubi-tubi. Ia tak tau, apakah itu adalah kilas balik masa lalunya yang hilang. Setelah ditemukan di tepi laut, Aileen memang kehilangan seluruh ingatannya.
Aileen memijit pelipisnya yang terasa pening luar biasa. Kalung itu ... kalung itu adalah benda yang melekat pada tubuhnya selain pakaian, saat pertama kali ia ditemukan. Dan mungkin juga, benda itu adalah kunci tentang asal-usulnya yang sebenarnya. Namun, kalung itu kini telah hilang entah ke mana.
"Kehilangan sesuatu?" bisik seseorang tepat di telinganya. Aileen terpana dengan kalung berbandul cahaya yang terjuntai di depan matanya. Tangannya terulur untuk meraih kalung miliknya itu.
"Eit!" Adipati menjauhkan kalung milik Aileen sebelum gadis itu menjangkaunya. "Kau kelihatan berbeda," cetus lelaki dengan setelan jas anggota pampampres itu memandang Aileen dari atas ke bawah.
Aileen menatapnya tajam. Ia tidak suka dipandang seperti itu.
"Kembalikan kalung saya," ujar gadis itu dingin. Tangannya kemudian bergerak untuk menggapai kalungnya yang kini diangkat pria menyebalkan itu tinggi-tinggi.
Adipati tersenyum simpul. Menikmati segala ekspresi kesal Aileen yang berusaha keras merebut kalung ini darinya.
Senyum pria itu kontan hilang berganti dengan ringisan saat high heels milik Aileen menancap keras di atas sepatu pantofelnya yang berwarna hitam legam. Wanita itu kembali berusaha untuk merampas kalungnya yang berharga.
Adipati mencengkeram tangan Aileen yang bergerak beringas. Gadis itu seketika berhenti saat menyadari posisi wajah mereka yang hanya berjarak beberapa senti. Waktu bergulir dengan begitu lamban. Angin berembus syahdu. Lalu ada perasaan asing yang menyelusup dalam hati. Bergerak mengendap-endap namun berhasil bertahta. Menguasai dan merajai segalanya.
Astaga, mungkin dewa cinta telah melepaskan panahnya.
Bersambung
Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰
Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗
Regards, Iin ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top