20 - Tragedi

Udindin: Riri, walaupun tampang gue nggak seganteng Hamish Daud, suara gue nggak sebagus Rizky Febian, gue juga nggak selucu Sule, juga nggak se-hits selebgram ibu kota. Tapi rasa ini terus hadir laksana siang dan malam, bulan dan bintang, pelangi dan hujan. Walaupun gue tau, kekurangan gue ada di mana-mana kayak populasi alfamart-indomaret, dan bodohnya gue masih aja menyimpan rasa sayang sama lo yang terlalu sempurna buat gue. Gue tau gue norak, tapi gue tulus sayang sama lo, Ri.

Gue nggak mau obral janji-janji kayak orang kampanye. Tapi, gue jamin elo satu-satunya yang ada di hati gue.

Riani Tiara Aisha, lo mau nggak jadi cewek gue?

Eh, Yudhis. Kira-kira bagus nggak kata-kata gue? Gila, gemeter ini ngetiknya, tjoy 😓😨

Ririlalala: Bagus kok.

Ririlalala: Tapi kepanjangan 😸

Udindin: ... tunggu 😱

Udindin: Gue napas bentar.

Udindin: RIRI?

Ririlalala: Iya?

Udindin: Lo nggak dibajak kan?

Ririlalala: Hng, nggak.

Udindin: Maaf Ri, salah kirim.

Udindin: Aduh gue pea banget. Aduh, maaf, Ri. Harusnya gue minum Aqua dulu.

Udindin: Sumpah aduh ini gimana ya, gue tadi maunya ngirim ke Yudhis 😣

Ririlalala: Jadi lo mau nembak Yudhis?

Udindin: Eh, nggak! Maksudnya minta pendapat Yudhis dulu baru nembak kamu.

Udindin: *elo.

Ririlalala: Ya udah, kamu minta pendapat Yudhis dulu sana.

Ririlalala: eh, elo.

"Gitu, ceritanya," tutup Udin yang langsung disambut oleh gelak tawa orang-orang di sekitarnya.

"Konyol banget sumpah, Din!" sahut Dion yang telah keluar dari rumah sakit. Cowok itu bahkan telah bisa meluncur cepat bersama sepeda tercintanya setelah beberapa waktu datang ke sekolah dengan langkah yang terpincang-pincang.

"Haduh ... sakit perut gue!" Dion tergelak sampai mengeluarkan airmata. "Tapi syukur deh lu diterima."

"Ya daripada elo, Yon. Nunggu berapa ratus purnama kejebak friendzone mulu?" jawab Udin yang membuat Dion langsung melotot.

Mata Dion tergerak untuk melirik Gina yang sedang duduk di depannya dengan kepala yang dimasukkan secara penuh ke dalam ransel. Biasa, saat pelajaran kosong seperti ini, mata Gina otomatis melakukan rutinitasnya, yaitu tidur dengan pulas.

"Awas lu, Din!" seru Dion pelan seraya menjitak kepala Udin. Untung si Gina lagi tidur, jadi semua kondisi aman terkendali. Soalnya, ada hujan sampai badai juga nggak akan bangun-bangun tuh cewek kalau udah kalap. Kebo banget! Dulu, saat beredar isu bom di sekolah mereka, Dion bahkan harus menggendong gadis itu karena tidak juga bangun dari tidurnya.

Galang tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Berteman dengan cowok-cowok absurd ini merupakan hiburan tersendiri baginya setelah sekian lama berkutat dalam dunia kerja yang penuh dengan keseriusan. Rasanya, ia jadi bernostalgia. Hari-hari lama yang dipenuhi oleh kenangan. Bertahun-tahun yang telah lampau.

Galang kemudian menoleh ke arah Lintang yang tercantum kekal dalam kenangan masa lalunya. Berkat takdir yang mempertemukan, gadis itu datang kembali usai waktu yang menguji segala rasa sabar. Dalam untaian doa yang telah ia bisikan tak terhingga, ia memohon dan meminta, semoga gadis itu juga akan hadir di masa depannya. Selamanya.

Selang beberapa hari dari peristiwa mengancam maut itu, kini suasana telah berangsur dengan kondusif. Walaupun masih tersimpan begitu banyak tabir yang perlu diungkap. Pengawalan Lintang dan Galang pada Berlian pun kian mengetat.

Tepat 30 menit sebelum bel pulang dibunyikan, Udin sebagai ketua kelas XII IPA 1 berdiri di depan kelas dan membuka forum untuk mendiskusikan masalah tempat latihan kelompok musik mereka. Berlian dan Lintang juga yang lainnya pun memberikan atensi pada Udin dan menghentikan kegiatan mereka masing-masing. Gina bahkan telah bangun dari tidurnya. Walaupun nyawa gadis itu masih belum terkumpul dengan sempurna.

Setelah praktek menyanyi secara individu, kini kelas mereka diberi tugas kelompok untuk melaksanakan pagelaran seni musik yang akan ditampilkan di acara tahunan sekolah. Tugas yang ditujukan untuk satu kelas ini mereka persiapkan sematang-matangnya. Mereka tentu ingin tampil semaksimal mungkin pada tahun terakhir mereka di SMA ini. Bahkan, mereka sudah berlatih keras beberapa kali di ruang seni sekolah.

"Gimana kalau kita latihan di studio musik milik gue aja?" usul Kiev saat Udin meminta pendapat karena ruang seni sekolah sedang dipakai oleh ekskul tari yang sebentar lagi akan mengikuti lomba tingkat provinsi.

"SETUJU!" seru Gina penuh semangat.

"Nyante ngapa, Nang!" Terdengar sahutan bernada sewot dari belakang. Gina pun menoleh ke belakang dan menatap Dion dengan muka bantalnya.

"Bacot."

Dion kontan terkekeh melihat bekas iler yang menghias ujung bibir Gina. "Putri tidur ileran dasar."

Gina mencibir dan mengubah posisinya ke arah depan sembari menghapus ilernya sendiri dengan gesekan yang kuat. Galang pun hanya bisa tertawa melihat kelakuan Gina dengan teman sebangkunya ini.

Usulan Kiev tadi juga disambut dengan baik oleh teman-teman lainnya. Jadi, siang ini setelah pulang sekolah, seluruh anggota kelas mereka akan bersambang ke studio musik milik Kiev dan akan melakukan latihan di sana.

Studio musik itu terlihat cukup besar setelah mereka menjajakkan diri di sana. Walaupun tak seluas ruang seni sekolah, studio ini sangat cukup untuk menampung anggota kelas mereka yang tentu tidak bisa dibilang sedikit. Setelah berdoa, satu persatu dari mereka pun bergerak cepat ke bagian masing-masing. Ada yang berlatih dengan alat-alat musik dari gitar sampai angklung, paduan suara bahkan rapp dan beat box. Ditambah dengan sedikit penampilan dance dan tari tradisional di beberapa bagian. Yang nantinya akan dipadupadankan menjadi sebuah rangkaian penampilan yang memukau.

Galang sendiri ditunjuk untuk memainkan alat musik keyboard. Sedangkan Lintang dan Berlian sama-sama berada dalam kelompok gitar akustik plus main vocalis bersama Dion.

Detik demi detik berjalan. Latihan itu diwarnai dengan canda dan gelak tawa persahabatan masa SMA yang tak akan pernah terlupakan. Dalam kerja kelompok seperti ini, secara alami akan mendekatkan semua anggotanya. Kecuali Alvian, yang hanya duduk dengan raut wajahnya yang sedingin Edward Cullen sambil menggebuk drum sesuai dengan arahan Udin sebagai konduktor musik kelas mereka.

Sang surya kian ruyup, hampir melingsir di ufuk barat. Setelah menerima telepon dari seseorang, Kiev menghentikan latihan rappnya bersama Gina, Udin dan juga Melin kemudian pamit undur diri untuk lebih dahulu meninggalkan studio musik itu. Tanpa sepertujuan yang lain, Alvian juga ikut melenggang keluar.

Teman-teman yang lain pun hanya mengedikkan bahu lalu melanjutkan latihan mereka sampai selesai. Mereka pun membubarkan diri tak beberapa lama kemudian. Galang dan Lintang lantas mengikuti mobil jemputan Berlian yang sudah menunggu sejak lama.

"Gina, Dion duluan ya!" sapa Lintang setelah menurunkan kaca jendela. Gina pun melambai dengan riang. Gadis itu sekarang sedang berdiri di belakang sepeda yang Dion kendarai. Laksana bocah waktu zaman SD dulu.

Dion dan Gina memang seperti itu, kadang ribut seperti Tom and Jerry. Kadang nggak bisa dipisahin kayak Upin-Ipin.

"Kapan mereka jadiannya sih, Lang?" tanya Lintang seraya menutup kaca mobil.

"Kata Dion, dia nggka mau jadian, takut nggak bisa temenan lagi kayak sekarang. Biasa, efek samping kejebak friendzone. Menurut lo sebagai cewek gimana, Lin?"

"Tergantung pribadi masing-masing sih. Mereka takut jadi canggung gitu, kan? Bener juga, apalagi kalau jadian terus akhirnya harus jadi mantan. Rasanya jadi nggak karuan. Tambah lagi kalau masih say—" Lintang tercekat sebelum meringis pelan.

"Sayang?" seloroh Galang lalu terkekeh menyebalkan.

Lintang mendelik sebelum menutup mukanya dengan tas. Menutupi rasa malunya yang merambat dengan rona merah di permukaan pipi.

Ngomongin masalah mantan di depan mantan?

Good....

***

Tragedi itu terjadi begitu cepat tanpa Galang dan Lintang bisa melakukan suatu pencegahan. Mereka terperangah. Jantung mereka berdua pun bergolak dengan hebatnya.

Terbentang jarak karena beberapa truk pengangkut barang yang melintas, bencana itu telah terjadi tanpa mereka sangka. Bagaikan secepat kedipan mata, di seberang sana mobil yang ditumpangi Berlian bersama pengawalnya ditubruk dengan keras oleh sebuah mobil lain dari arah yang berlawanan hingga berputar-putar kehilangan kendali. Pada bagian mesin, muncul asap yang mengebul begitu pekat.

Galang menekan klakson seperti orang gila. Truk-truk ini seolah sengaja berjalan begitu lambat dan menghambat mereka menuju Berlian. Kemudian Galang dan Lintang membelalak kala melihat di sela-sela rombongan truk itu, muncul seorang lelaki berpakaian hitam-hitam berasal dari mobil yang menabrak Berlian. Laki-laki itu mengeluarkan Berlian secara paksa dari dalam mobilnya.

Keadaan gadis itu tidak bisa dibilang baik-baik saja. Tubuhnya dipenuhi oleh luka-luka. Namun, Berlian tak berdiam diri. Ia melakukan perlawanan dan meronta-ronta seraya berteriak minta tolong. Air matanya tumpah ruah melihat dua pengawalnya yang kini tak sadarkan diri dan darah yang terpercik di bagian-bagian dalam mobil.

Sebelum laki-laki misterius itu benar-benar membawa Berlian. Supir Berlian yang juga merupakan anggota paspampres itu sadarkan diri dan menahan orang jahat itu membawa sang VIP.

"Lari, Berlian. Lari!" pekik sang supir menahan laki-laki itu. Walaupun usianya sudah tak lagi muda, ia telah berjanji dan bersumpah untuk melindungi presiden beserta keluarganya dalam kondisi apa pun. Berlian sempat terpekur sebelum berlari dengan sekuat tenaga. Tak peduli dengan kedua kakinya yang tak beralas, ia terus berlari di atas kasarnya permukaan aspal.

Laki-laki misterius dengan tato berbentuk kalajengking yang menghias lehernya itu berdecih. "Dasar orang tua," makinya sebelum melumpuhkan supir Berlian dengan tangan kosong. Ia lalu merapatkan topi yang bertanggar di kepalanya. "Jangan lari, Princess," tuturnya dengan seringai yang begitu menyeramkan.

Melihat sang penjahat berhasil melepaskan diri, Berlian pun menambah kecepatan larinya. Matanya yang basah kian membelalak. Ketakutan melanda sekujur tubuhnya. Bibirnya bergetar. Memori masa kecilnya yang kelam memenuhi otaknya dengan begitu memaksa.

Tak tahan lagi dengan permainan licik truk-truk ini. Galang mengedarkan pandangan ke arah susunan truk yang tanpa ujung seperti kereta api. Ia kemudian sedikit menghela napas lega kala mendapati sebuah truk yang tidak memiliki box muatan. Hanya kerangka besi yang ada di belakangnya. Itu adalah kesempatan terbaik yang mereka miliki untuk melewati truk-truk sialan ini.

Tak ayal, Galang melirik ke arah Lintang dan memberitahukan rencananya. Gadis itu mengangguk dan mengencangkan sabuk pengaman. Galang lalu memundurkan mobilnya.

Kemudian dengan perhitungannya yang akurat, Galang menginjak gas dan mobil mereka pun meluncur lalu melayang di udara, melompati salah satu truk yang tidak memiliki badan itu. Akhirnya mereka berhasil lolos dan melaju ke arah mobil Berlian yang berada dalam kondisi ringsek parah. Lintang mengambil tas PPGD-nya untuk memberikan pertolongan pertama. Gadis itu juga bergerak cepat untuk menghubungi ambulan.

"Lang, jangan putus komunikasi. Jangan sampai terluka," pesan Lintang sebelum turun dari mobil. Galang mengangguk dan menggenggam tangan Lintang yang gemetar.

"Gue janji gue akan baik-baik aja," jawab Galang dengan sorot mata menenangkan.

Lintang pun turun dan melepaskan Galang yang kembali melajukan mobilnya secara gila-gilaan untuk menyelamatkan Berlian.

"Gue pegang janji lo, Lang," gumam Lintang pelan sebelum benar-benar tenggelam dalam tugasnya untuk memberi pertolongan pertama pada pengawal-pengawal Berlian yang tak sadarkan diri.

Bersambung

Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰

Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗

Regards, Iin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top