18 - Mara
Galang dan Lintang melayangkan pandangan dengan sama tajamnya. Kedua tangan mereka mengepal di depan dada. Kaki mereka berjalan mengitari permukaan matras. Mereka berdua sekarang sedang berlatih untuk meningkatkan ilmu bela diri mereka.
Kemampuan bela diri dan kekuatan Galang tentu jauh berada di atas Lintang. Sebagai dokter polisi atau yang sering disebut dengan dokpol, Lintang tidak dituntut untuk bertarung secara langsung dengan para kriminal seperti tugas Galang.
Dokpol merupakan staf ahli yang menangani segala hal berkenaan dengan ilmu dan teknologi medis untuk kepentingan tugas kepolisian termasuk tentang kedokteran forensik, disaster victim identification, psikiatri, pengamanan kesehatan, kedokteran lalu lintas, kesehatan tahanan dan sebagainya.
Jika sedang berlatih bela diri seperti ini, Galang jadi teringat mendiang Sinar. Adik Lintang itu mempunyai prestasi yang menggunung dalam bidang bela diri. Galang lantas tersenyum tipis dengan keterampilan bela diri Lintang yang bisa dikatakan lebih dari kata lumayan. Seperti Sinar, Lintang juga belajar ilmu bela diri sejak kecil walaupun ia tak banyak menaruh minat. Namun, gadis itu begitu cepat dalam mempelajari sesuatu. Galang bahkan hampir kewalahan dengan serangan-serangan Lintang yang bertubi-tubi.
"Lang, lo jangan ngalah dong!" ujar Lintang cemberut.
"Siapa yang ngalah coba?" Galang menangkis serangan Lintang dengan cepat. Namun, beberapa detik kemudian, tanpa Galang duga Lintang menariknya dengan gerakan secepat kilat dan membungkuk 90 derajat kemudian membanting tubuh Galang ke matras. Cowok itu lantas meringis sembari memegangi pinggangnya. Tak menyangka Lintang mampu membanting tubuhnya dengan begitu saja.
"Nggak usah lebay," kata Lintang terkekeh geli.
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Galang bangkit. Namun, ia sama sekali tak menyangka bahwa Galang akan balik menyerangnya. Galang menarik Lintang hingga gadis itu jatuh terduduk. Lengan Galang yang berotot melingkari bahu Lintang dari belakang sampai cewek itu tak bisa bergerak.
"Gimana? Seneng ditaksir sama brondong?" tanya Galang sinis.
Lintang lantas tertawa, pikirannya menjelajah pada sesuatu hal yang terjadi saat pulang sekolah. Setelah ia dan Galang mengantarkan Berlian ke mobil jemputan gadis itu, Kiev menyatakan sesuatu yang membuat semua orang yang berada di sana terkejut bukan main.
"Gue nggak akan nyerah buat memperjuangkan lo, Lintang Aninda! Engkaulah dewi yang telah Tuhan kirim untukku, hehe!" ujar Kiev saat itu seraya tertawa tengil seraya berdiri pada mobil sport miliknya dengan atap yang terbuka itu.
Selebriti populer itu lalu memasang kacamata hitamnya sebelum kembali duduk dan melajukan mobil mewahnya. Cowok itu tak menghiraukan tatapan semua orang dan memberikan ciuman jarak jauh ke arah Lintang yang melongo. Kiev juga tak peduli dengan Galang yang memandangnya galak. Bahkan Galang sudah terlihat seperti goblin yang sedang mengeluarkan api biru di belakang tubuhnya.
Lintang menoleh menatap wajah Galang. "Kenapa? cemburu?" kelakar gadis itu sembari tertawa renyah.
Galang melotot. "Cemburu sama tuh bocah?! Ya ... IYALAH!" tandas Galang terlalu jujur. Ya siapa tau Lintang suka daun muda. Apalagi Kiev cakep, tajir dan populer. Menyatakan perasaannya secara terang-terangan di depan orang banyak.
Lintang pun ganti melotot dan seketika jadi merasa salah tingkah. Ia mengalihkan pandangannya. Apalagi dengan posisi seperti ini, posisi mereka itu terlihat terlalu romantis untuk olahraga bela diri. Dan juga, sebenarnya apa hubungan mereka saat ini? Mantan tapi mesra, mungkin?
Kala Galang menceritakan kebenaran yang terjadi pasca Sinar tiada, Galang dan juga telah mengungkapkan bahwa mereka masih menyayangi satu sama lain. Namun, tidak ada ketegasan dalam status hubungan mereka. Lintang meringis malu saat teringat ia pernah mengutarakan pada Galang bahwa ia tidak mempunyai calon suami lagi selain cowok itu.
Lintang lalu menyikut tulang iga Galang yang langsung terbaring sambil merintih kesakitan.
Gadis itu lalu memicing sinis ke arah Galang. "Lo tuh, Lang! Pas gue sama Lian nggak ada, lo godain cewek-cewek, kan?" cecar Lintang berapi-api.
"Hah? Kapan?" tanya Galang polos dengan posisi yang masih terbaring di permukaan matras.
"Dulu di depan loker, lo bilang mau ngawasin Alvian ternyata malah tebar pesona. Ngga usah pura-pura lupa deh!"
"Oh...." Galang menarik tangan Lintang untuk membantunya duduk. "Itu sih bagian dari misi, Lin. Saat itu Alvian hampir aja mergokin gue lagi ngawasin dia," jelas Galang dengan raut wajah sangat meyakinkan.
"Halah, alesan! Dasar brondong tua!" Lintang mencibir. Galang pun tertawa dan mencubit gemas pipi Lintang yang sedang dongkol setengah mampus.
"Ye, nggak papa kali. Sambil menyelam minum aer, sekali dayung dua pulau terlampaui," kompor Galang sambil menyisir rambutnya dengan jari penuh percaya diri. Lintang pun semakin mendengus sebal.
"Iya bener nggak papa, gue juga bukan pacar lo," gumam Lintang tanpa melihat ke arah Galang.
Melihat itu Galang pun tersenyum manis. Ia menggeser posisi duduknya mendekat ke arah Lintang.
"Yap, i'm not your boyfie anymore."
Lintang pun tertegun dan merasa syok dengan pernyataan Galang. Lidah gadis itupun kelu. Hatinya cekit-cekit.
"But i want to be your future," lanjut Galang dengan sorot mata penuh keteduhan. Menggambarkan betapa seriusnya kalimat yang ia ucapkan itu.
Lintang tercengang. Suara Galang yang sarat akan keseriusan itu membuat matanya berkaca-kaca.
"Gue serius, Lin. Sehabis misi ini selesai, kita akan bicarain hubungan kita kedepannya secara serius."
***
Lintang baru saja keluar dari bilik toilet dan merapikan seragam sekolahnya. Ia mencuci tangan di wastafel sambil mendengarkan pesan Galang yang baru saja masuk lewat alat komunikasi rahasia berukuran mikro yang tertempel di telinganya.
"86," sahut gadis itu singkat.
Ia meninggalkan Berlian dalam pengawasan Galang seorang diri karena sangat ingin buang air kecil. Lalu mendadak, Galang dan anak cowok lain di kelasnya dipaksa untuk mengangkat barang-barang di ruang olahraga sekarang juga di bawah perintah Pak Heru yang luar biasa killer.
Lintang pun bergegas. Gadis itu mengernyit heran ketika mendapati pintu utama toilet kunjung tak bisa dibuka. Sepertinya terkunci dari luar. Tidak ada siapa pun selain dirinya dalam toilet ini. Lintang menggedor pintu tersebut mencoba meminta pertolongan pada siapa saja yang mungkin melintas di luar sana. Namun, suara cekikikan dari luar membuat kuping Lintang melebar.
"Siapa pun di luar sana. Tolongin gue. Kayaknya gue terkunci di sini," pinta Lintang. Entah mengapa ia sangat mencemaskan keadaan Berlian saat ini. Perasaannya tidak enak. Seakan-akan hal buruk telah menimpa gadis itu.
"Tolong?" sahut seorang cewek dengan begitu remeh. "Makanya, jadi cewek tuh jangan keganjenan! Udah nempel mulu sama cogan kayak Galang, sok jual mahal lagi sama Kiev!"
Lintang melotot. Ia mulai memahami permasalahan yang menimpa dirinya saat ini. Pintu toilet sekarang bukan terkunci, tapi sengaja dikunci. Ini semua karena Kiev Bhagaskara.
"Kalian fans Kiev?"
"Kita bukan cuman sekedar fans. Kiev itu milik kita! Kita nggak munafik kayak Gina sama Kiev Fans Club lainnya. Kita adalah ... KIM alias Kiev is Mine!" seruan dari luar begitu nyolot.
Bodo amat.
Gini ya, adek-adek, kakak ini sepuluh tahun lebih tua dari kalian. Nggak naksir sama idola kalian. Gue juga udah punya calon serius! Puas kalian, HAH?!
Sayangnya Lintang hanya bisa meluapkan kekesalannya itu dalam hati.
"Mau kalian apa? cepet bukain gue," tanya Lintang yang sudah merasa muak.
"Kita mau lo pindah sekolah! Gimana?" tawar salah satu cewek dengan santai kayak di pantai.
"HEH!" Lintang mendadak emosi dan menendang keras pintu toilet tersebut. Gadis-gadis itu pun sontak menjerit kaget.
"Eh! L-lo berani sama kita?!" tanya salah satu dari mereka sok berani.
Tidak usah ditanya lagi kalau masalah itu. "Gue sekolah bukan pake uang kalian. Sekarang buka atau gue yang buka. Kita ngomong tatap muka. Kalian pengecut kalau pakai cara kayak gini," cetus Lintang mencoba sedikit bersabar.
Ketiga gadis dengan dandanan menor dan seragam ketat itu meringis ketakutan. Tak menyangka bahwa Lintang bisa segarang itu. Mereka pun berbisik dan menyepakati suatu hal. Yaitu, lari!
Lintang melotot mendengar teriakan dan derap langkah yang mulai menjauh. Ia lantas menghubungi Galang untuk segera memeriksa keadaan Berlian. Gadis itu mulai menendangi pintu toilet. Ia kemudian berjalan mundur. Mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu itu. Lintang meniup rambutnya yang menjuntai menutupi pandangan. Cewek itu mulai berlari kencang dan ... BRAK!
Di lain tempat, Berlian baru saja keluar dari kelas untuk menuju perpustakaan. Hal yang telah secara rutin ia lakukan dari dulu. Tiba-tiba seseorang memanggil namanya. Gadis itu pun menoleh ke arah belakang.
"Neng Berlian, ini ada titipan dari cowok buat Eneng," ujar Mang Ujang sembari menyerahkan sebuah kertas pada Berlian yang mengernyit heran.
"Dari cowok? Siapa, Mang?" tanya Berlian penasaran.
"Wah, saya juga nggak tau, Neng," jawab tukang bersih-bersih berkumis tebal tersebut sambil menyengir.
"Hm, makasih ya, Mang," kata Berlian tersenyum sopan. Mang Ujang balas tersenyum ramah kemudian berlalu.
Gw tunggu di atap sekolah.
Kening Berlian semakin terlipat setelah membaca isi surat itu. Ia mengedarkan pandangan. Lalu kedua tungkainya mulai melangkah menuju tempat yang tertulis oleh pena merah di kertas tersebut dan melupakan niat awalnya untuk ke perpustakaan. Satu persatu dari anak tangga gadis itu naiki. Rasa penasaran semakin menguasai dirinya tanpa sadar ia telah diikuti oleh sesosok cowok misterius. Cowok itu berjalan mengendap dan tak membiarkan Berlian menyadari keberadaannya.
Semilir angin langsung menerpa wajahnya. Sekarang adalah pertama kalinya ia datang ke tempat tertinggi di SMA Atmawijaya ini. Di sini terasa begitu dekat dengan langit. Gadis itu semakin melangkah ke tepian. Ingin melihat pemandangan indah di bawah sana.
Entah dorongan dari mana, kaki Berlian tak lagi memijak permukaan atap sekolah. Berlian berteriak dan memejamkan matanya erat-erat. Beruntung ia masih bisa menggapai tepian gedung. Tubuhnya lemah melayang-layang di udara.
Bergelantungan dengan kedua tangannya yang menjadi harapan terakhir. Berlian merintih minta tolong dan mencetus segala doa. Ia tak berani menatap ke bawah. Tangannya gemetar seolah sebentar lagi akan terlepas dari tempat tumpunya.
Berlian menggigit bibir, tak kuasa membayangkan maut akan segera menjemputnya. Airmatanya telah menitik seperti tetes hujan. Bayangan ayah dan bundanya, ayah angkatnya, juga para orang-orang yang membantunya di rumah, bertebaran dalam benaknya. Lintang dan juga Galang sebagai teman dekatnya. Teman-teman sekelasnya yang lain. Juga sosok Alvian yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya.
Berlian sudah tak kuat lagi. Perlahan pegangannya mulai terlepas. Gadis itu semakin terisak. Mungkin ini takdirnya. Mungkin cukup baginya merepotkan orang-orang. Mungkin cukup penderitaan baginya untuk hidup sebagai putri yang selalu dikejar bahaya dan terus disembunyikan.
Pegangannya benar-benar terlepas. Namun, sebuah tangan terulur dan menyambar tangannya dengan sigap. Berlian mendongak dan menatap seseorang yang sedang berjuang keras menarik tubuhnya ke atas. Meski pandangannya mengabur karena penuhnya airmata, gadis itu terpana dengan manik tajam yang menyambut bersama teriknya mentari.
"Al...."
Bersambung
Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰
Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗
Regards, Iin ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top