17 - A

"Al!"

Seorang gadis kecil melangkah dengan ceria. Pipi gembilnya terlihat begitu menggemaskan. Ia kemudian berlari menuju anak laki-laki seumurannya yang tengah menaiki sebuah ayunan dengan posisi berdiri.

"Al, gantian dong...." rengek gadis kecil itu pada si anak laki-laki.

Anak laki-laki beralis tebal itu melirik sang gadis kecil dengan sorot matanya yang tajam. Ia mendecak saat celananya ditarik-tarik oleh gadis itu yang masih merengek-rengek. "Jingga...." desahnya kesal.

"Al, gantian plis. Ya? Ya? Ya?" Sang anak laki-laki pun terhenyak sesaat memandang mata belo itu mengerjap-ngerjap dengan imutnya. Ia kemudian tersadar dan mendengus seraya turun dari ayunan yang ia naiki. Gadis dengan dress bunga-bunga itu pun melompat gembira dan lantas menduduki ayunan.

"Yes! Al baik, deh. Al dorongin ayunannya, ya!" perintah gadis berponi itu.

"Cerewet." Al mencibir namun kedua tangannya bergerak menggenggam rantai ayunan dan mulai mendorongnya.

"Jangan kenceng-kenceng dong, Al! Aku takut!" seru Jingga panik.

Al menghentikan ayunannya. Ia lalu menunduk untuk menatap gadis kecil itu. "Jangan cengeng. Al di sini. Di belakang Jingga."

Gadis itu terperangah dan menatapnya dengan takjub. "Wow, itu kata-kata terpanjang yang pernah Al ucapin lho!" celotehnya riang lalu terkekeh geli.

Kedua bocah kecil itu seolah memiliki hak milik pada satu-satunya ayunan yang ada pada taman bermain di pinggiran kota. Setiap sore mereka selalu berada di sana sampai bertahun-tahun lamanya.

"Kita nyanyi yuk, aku suka lagu ini. Twinkle, twinke little star...."

Perbedaan tak menghalangi hubungan pertemanan mereka. Jingga merupakan salah satu penghuni perumahan elit dengan latar belakang keluarga yang luar biasa. Sedangkan Al adalah seorang anak yang tinggal di jalanan dengan pakaian lusuh tak terawat.

Cerita sore mereka berakhir kala suatu hari, Al menunggu Jingga sampai malam tiba. Namun, gadis itu tak kunjung datang. Setiap sore, Al selalu menunggunya. Tetapi Jingga benar-benar menghilang. Tanpa sebuah kata perpisahan. Tanpa alasan yang jelas.

Atau mungkin, alasan itu telah terpampang dengan nyata. Siapalah ia? Ia hanya anak sebatang kara dan tidak berpendidikan. Tentu tidak lah sepadan ia bergaul dengan gadis dari keluarga terhormat seperti Jingga.

Hati anak laki-laki itu kian dipenuhi luka. Saat menyadari bahwa satu-satunya orang yang bersedia menjadi temannya, telah pergi meninggalkannya.

***

Berlian masih berdiri dengan kokoh di hadapan Alvian. Mereka berdua menatap satu sama lain dengan pandangan yang begitu sengit. Bisik-bisik terdengar jelas di antara teman-teman mereka memecah kesenyapan. Namun, suasana mencekam masih sangat kentara pada ruangan itu.

"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Pak Horas keheranan.

"Saya hanya ingin Alvian bernyanyi dengan benar, Pak." Berlian menjawab tanpa mengalihkan pandangan. "Karena saya pernah mendengarnya bernyanyi dengan begitu baik."

"Berlian Aurelia." Alvian mendesis geram.

Berlian menatap iris legam itu kian menantang. "Maaf, saya telah lancang menguping saat kamu bernyanyi pada waktu itu. Tapi, akan sangat disayangkan jika suara emas kamu itu hanya dinikmati seorang diri, Alvian Keenan Wijaya," oceh Berlian panjang lebar. Gadis itu penasaran. Mengapa pula Alvian harus berbohong tentang kemampuannya?

Oke, Berlian tidak pernah secerewet ini. Ia juga tak pernah mempunyai niat untuk mengurusi kehidupan orang lain. Namun, kali ini berbeda. Cowok ini terlanjur membangkitkan rasa penasarannya. Tentang diam dan dinginnya. Tentang manik kelabunya. Tentang pribadinya yang begitu tertutup lagi misterius dan segala hal tentang cowok itu.

Berlian kemudian tersentak saat kedua lengan Alvian menarik tubuhnya secara tiba-tiba. Mereka berdua berdiri berhadapan, nyaris tanpa celah. Suara riuh teman-teman yang lain pun terdengar heboh. Galang dan Lintang bahkan sudah berdiri dari tempat duduk mereka. Sedangkan Pak Horas membelalak di tempat duduknya.

Mata tajam Alvian menyapu kedua lensa milik Berlian yang mulai menciut ketakutan. Aroma tubuh Alvian memasuki indra penciumannya. Berlian otomatis memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Tak lagi berani memandang manik mata Alvian yang dilihat dari jarak dekat ternyata semakin memancarkan aura kegelapan.

"Lo...." Berlian menggigit bibir kala suara Alvian terdengar tepat di telinganya. Suara itu begitu pelan. Namun, merebak teramat kelam. "Lo nggak tau siapa gue."

Berlian membuka matanya. "Lepasin saya," suara Berlian terdengar bergetar. Bukan hanya suaranya, melainkan sekujur tubuhnya. Gemetaran karena gugup dan rasa takut yang mendera. Berlian semakin membeku kala mata Alvian kembali menjumpai retinanya.

"Oke, Jingga. Aurelia. Berlian. Effendi." Bumi seolah meruntuh kala Alvian membisikkan nama lengkapnya dengan penuh penekanan.

Twinkle, twinkle little star.... Alvian bernyanyi serupa bisikan itu dengan begitu merdu seraya melepaskan cengkeramannya pada Berlian.

Suara bel pulang sekolah pun terdengar.

Cowok itu lalu melenggang menuruni panggung ruang seni dan mengabaikan Berlian yang meluruh di tempat. Cowok itu juga tak mengindahkan seruan Pak Horas yang berseru memanggilnya dan tatapan penasaran teman-teman yang lain. Alvian keluar dari ruangan itu dengan langkah yang begitu ringan tanpa beban.

"Lian, lo nggak apa-apa?" Lintang bertanya panik sembari mengguncang pundak Berlian yang kini memegangi kepalanya. Gadis itu merasakan pusing yang luar biasa. Kilas balik memori masa lalu sedikit demi sedikit bermunculan dalam benaknya. Twinkle, twinkle little star....

Napas gadis itu memburu dan wajahnya pucat pasti. Lintang menggenggam tangan Berlian yang bergetar hebat. Berlian dapat merasakan keringat dingin yang mengalir di pelipisnya. Alvian, cowok itu memberikan efek yang begitu hebat padanya. Cowok itu ... mengetahui identitasnya.

***

Ratusan manusia memadati sebuah pasar tradisional di pinggiran kota. Menyambut sang Presiden yang berniat untuk blusukan di pasar tersebut. Semua orang menyambut kedatangan pemimpin negara itu dengan suka cita. Masyarakat pun berebut untuk bisa bersalaman dan bertatap muka dengan sang Presiden.

Senyuman ramah terulas dari wajah Presiden menyapa rakyatnya. Mereka bercengkerama secara langsung. Presiden mendengarkan keluh kesah yang mereka utarakan dengan baik dan akan merencanakan pembenahan secara komprehensif.

Adipati mengedarkan pandangan, matanya memindai setiap orang yang berada di sekeliling Presiden seraya berkoordinasi dengan anggota Paspampres lainnya. Meski suasana pada pasar tradisional itu sangatlah ramai, tentu tidak menutup kemungkinan sesuatu yang buruk akan menimpa sang Presiden. Tugas utamanya adalah menutup segala kemungkinan buruk itu terjadi.

Naluri tajam Adipati tertuju pada seseorang dengan gerak-gerik yang begitu mencurigakan. Mata Adipati sontak membelalak tatkala mendapati seseorang berpakaian hitam-hitam yang tak berjarak jauh dari Presiden menggenggam sebuah pisau lipat yang kemudian disembunyikan di balik jaket kulitnya. Wajah seseorang itu tak terlihat jelas karena topi yang menutupi sebagian wajahnya. Sosok misterius itu juga menggunakan masker, ia bergerak kian dekat. Masyarakat tak menyadari keberadaan sosok yang menggenggam benda tajam itu di tengah-tengah mereka. Mereka hanya terfokus untuk bercengkerama secara langsung dengan sang Presiden.

Melihat hal itu, Adipati pun bergerak cepat. Setelah memberi kode pada rekan lainnya melalui alat komunikasi yang tertempel pada kerah seragamnya, lelaki itu pun melangkah dengan hati-hati untuk mencegah hal yang tidak diinginkan sebelum sosok itu mencapai Presiden.

Melihat seorang anggota Paspampres yang tengah mengintainya, sosok itu pun melangkah mundur keluar dari keramaian lalu berlari cepat. Adipati lantas mengejar. Sosok itu berlari semakin kencang melihat Adipati yang berjarak tak jauh di belakangnya. Merasa terancam, sosok itu mempercepat langkahnya seraya melempari Adipati dengan berbagai benda bahkan sayuran yang ada di pasar tersebut. Dengan gerak cekatan, Adipati menghindari semua itu dan semakin memburu sosok tersebut bagaikan macan yang tengah mengejar kijang.

Adipati mengulas senyum miring kala sosok itu memasuki jalan buntu. Napas keduanya yang terengah mendominasi kesenyapan yang ada. Sosok itu memasang kuda-kuda dan kedua tangan yang mengepal di depan dada. Adipati melangkah perlahan, tatapannya mengintimidasi sosok itu dengan tajam tanpa berkedip.

Terdengar desisan kekesalan dari sosok tersebut. Ia mengeluarkan pisau lipat dari jaketnya dan mengacungkan pisau itu ke leher Adipati. Adipati pun melakukan serangannya. Ia menendang keras lutut lawannya dan memelintir tangan sosok itu sampai pisau di genggamannya terlempar. Sosok itu melawan dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Adipati. Perkelahian fisik pun tak bisa dielakkan. Kemampuan keduanya seolah imbang karena sosok itu dapat meladeni serangan Adipati dengan begitu baik. Mereka saling menghajar tanpa henti dengan naungan awan yang temaram.

Pertempuran mereka mulai berakhir kala keduanya sama-sama jatuh terpental dan rasa lelah mulai menguasai. Adipati sontak melompat bangkit dan memanfaatkan kondisi itu untuk kembali menyerang. Ia berhasil melumpuhkan musuhnya dan mengunci leher sosok misterius itu dengan lengannya.

Adipati tak menyangka bahwa sosok itu akan menggigit lengannya. Sosok itu juga menghantamkan kepala dengan begitu keras ke kepalanya. Sakit yang melanda kepalanya membuat mata Adipati sedikit berkunang-kunang.

Sosok itu berhasil melepaskan diri darinya. Dengan pandangan yang mengabur, Adipati dilanda keterkejutan kala melihat rambut panjang bergelombang tergerai indah saat topi hitam terlepas dari kepala sang lawan.

Sosok yang tak lain merupakan seorang perempuan itu menatap wajahnya sekilas dengan mata yang setajam elang pemangsa sebelum melarikan diri seraya melompati tembok yang terbilang tinggi.

Adipati memandangnya takjub. Perempuan beriris kecoklatan itu menghilang begitu saja dari pandangannya. Adipati menghapus darah yang mengucur dari ujung bibirnya. Senyum miring terulas pada wajahnya yang rupawan. Ia kemudian menatap sebuah kalung yang berhasil ia renggut dari leher gadis misterius itu.

***

Alvian semakin menurunkan tudung jaket yang ia pakai untuk menutupi wajahnya. Tangannya menggenggam sebuah kantong kresek berwarna putih. Ia mengedarkan pandangannya yang tajam ke arah sekitar sembari melangkahkan kaki pada gedung apartemennya yang terbilang sepi.

Memasuki lift, Alvian disambut oleh seorang perempuan yang juga memakai jaket bertudung sepertinya. Perempuan itu menggunakan kacamata dan juga masker. Hanya keheningan yang hadir sepanjang lift beranjak naik.

Setelah sampai di lantai yang dituju, Alvian melangkah keluar dari lift dan dengan tak acuh menuju unit apartemennya. Derap langkah terdengar nyaring memecah keheningan. Perempuan dengan aura misterius itu berjalan di belakangnya. Alvian menghentikan langkah dan suara derap langkah di belakangnya juga turut berhenti terdengar. Alvian bergerak cepat kala bayangan tangan dari sosok di belakangnya terlihat seperti ingin menyerangnya. Ia memelintir tangan perempuan yang lantas berontak dalam rengkuhannya. Perempuan itu mengerang karena cengkeraman Alvian yang begitu kuat.

Terdengar desisan di balik masker yang menutup mulutnya. Kedua pasang mata setajam belati yang sepadan itu bertukar pandang dengan begitu sengit.

"Bisa nggak sih lo nggak usah sadis-sadis sama cewek?" Perempuan itu memberontak meminta Alvian melepaskan genggamannya. Dengan susah payah ia kemudian melepas masker yang menutup sebagian wajahnya. "Ini gue, Aileen."

Alvian sontak melotot dan membebaskan belenggunya dari tubuh perempuan bernama Aileen itu. Aileen memandangnya dengan tajam sambil meringis kesakitan. Tubuhnya yang telah terasa remuk dari awal semakin terasa ngilu karena perlakuan Alvian.

Sedangkan cowok itu masih saja diam kemudian menekan rangkaian kode dan melenggang santai memasuki unit apartemennya. Kaki semampai Aileen yang terbalut jeans ketat mengekor Alvian dan gadis itu langsung melompat ke atas sofa yang ada di hadapan televisi layar datar yang menyala sejak tadi. Saluran kartun yang tayang 24 jam terpampang jelas di sana.

Aileen mengedarkan pandangan, bungkus-bungkus bekas makanan ringan dan botol minuman bersoda berserakan di sekitarnya. Aileen kemudian memandang Alvian sejenak. Alvian balik memandang Aileen dengan pandangan yang tajam seperti biasanya, masih dengan keterbisuan. Namun, nampak sekali bahwa cowok itu terlihat sedang teramat jengkel.

Dipandang seperti itu, Aileen membuang napasnya dengan kasar. Ia kemudian duduk di atas sofa dengan satu lutut diangkat seperti posisi duduk abang-abang di warung kopi. Mata Alvian sedikit melebar kala melihat Aileen yang melepaskan jaketnya dan menyisakan tank top berwarna hitam. Bukan itu mejadi fokusnya, melainkan luka lebam yang menghiasi tubuh dan wajah perempuan itu. Alvian sontak beranjak dan mengambilkan kotak pertolongan pertama. Tak butuh waktu lama, ia melempar kotak itu dan Aileen menyambutnya dengan baik. Alvian tak berniat sedikit pun membantu Aileen untuk menangani lukanya. Gadis itu melakukannya sendiri dengan gerak cekatan.

"Karena Mr. Jacob?" Alvian akhirnya memecah kebisuannya. Aileen terkekeh mendengar pertanyaan singkat Alvian yang sarat akan rasa penasaran itu.

"Bukan, gue habis saling hajar sama anggota Paspampres."

Alvian melotot tajam. "Lo gila?"

"Lo?" Aileen balik melotot dan akan menendang tulang kering Alvian yang sedang berdiri tapi cowok itu berhasil menghindar. "Eh, gue jauh lebih tua dari lo ya, yang sopan."

"Serah." Alvian memutar bola mata. "Tapi kalau lo sampai tertangkap, gue nggak tau apa yang akan Mr. Jacob lakukan."

"Gue nggak akan tertangkap, okay?" kerling Aileen meremehkan. "Ah iya. Gimana sang princess? Cantik?" Aileen mengalihkan bahasan dan memberondongi Alvian dengan pertanyaannya.

Alvian hanya mengedikkan bahu tak acuh sebagai tanggapan.

"Siapa namanya? Permata? Intan? Ah, Berlian!" Aileen menjentikkan jari. "Hati-hati. Kayak di film-film, orang kayak lo bakal jatuh cinta sama dia."

"Nggak akan," sahut Alvian singkat.

Aileen berdecih. "Siapa yang akan tau? Bukannya dia teman masa kecil lo?"

"Dia nggak tau siapa gue. Dan itu bagus, gue bakal gampang bunuh dia," jawab Alvian dengan sangat santai.

Namun, hanya di permukaan.

"Cih, sangat tidak meyakinkan," cibir Aileen.

Alvian diam tak menghiraukan. Benar. Ia sendiri tak yakin dapat menjalankan perintah atasannya untuk membunuh Berlian. Dari dulu, mungkin kebanyakan orang merasa mata tajamnya begitu mengerikan. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang bergejolak kala gadis itu, membalas tatapan tajamnya.

Persetan.

Apa pun itu, cepat atau lambat. Ketika waktunya tiba, Alvian menjalankan misi. Ia harus berhadapan dengan Berlian, dan ia akan mengeksekusi misinya dengan tangannya sendiri.

Bersambung

Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰

Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗

Regards, Iin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top