14 - Batari
Sejak malam itu hubungan Galang dan Lintang berangsur membaik. Sudah tidak ada lagi kesalahpahaman di antara mereka berdua. Kini keduanya memfokuskan diri untuk misi yang sedang mereka jalani. Selain melindungi Berlian, ada kemungkinan besar mereka bisa mengungkap benang merah antara misi ini dan kasus Sinar. Besar harapan mereka untuk bisa menangkap Mr.Jacob bersama sindikatnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tanpa hati nurani yang telah mereka lakukan.
Malam berikutnya, setelah melapor, waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Galang dan Lintang harus keluar rumah untuk membeli kebutuhan rumah tangga mereka karena itu takkan bisa terlaksana saat siang hari. Pasokan bahan-bahan pokok seperti beras, minyak goreng dan sebagainya sudah semakin berkurang. Mereka berdua pun memutuskan untuk mengunjungi supermarket 24 jam.
Kondisi supermarket itu begitu sepi. Selain petugas, hanya ada satu-dua orang di tempat tersebut. Itu pun tak lama sebelum mereka berlalu karena waktu sudah menjelang dini hari. Senyum Galang mengembang melihat Lintang yang ceria berjalan di depannya mengambil barang-barang yang mereka butuhkan untuk dan memasukkannya ke dalam troli yang didorong oleh Galang. Kalau dilihat-lihat mereka seperti pasangan yang baru saja menikah.
Naluri belanja Lintang yang membara membuat langkahnya terus bergerak ke sana ke mari. Galang dengan sabar mengekor di belakangnya. Dari keantusiasannya, gadis itu bak anak kecil yang baru saja berkunjung ke tempat bermain.
Galang merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Diam-diam ia memotret Lintang yang sedang terlihat bingung di depan berbagai merek sabun mandi. Gadis itu sangat serius memandangi kandungan yang tertera pada belakang kemasan. Galang tertawa kecil saat Lintang menoleh padanya dengan bibir mencebik.
"Kalau mau foto tuh bilang dong, Lang," ujarnya seraya berjalan mendekat. Ia meraih ponsel Galang dan mulai mengaktifkan mode kamera depan. Lintang merapatkan tubuhnya ke arah Galang dan mereka mulai berfoto ria.
Setelah puas, keduanya tertawa melihat pose-pose yang telah diabadikan. Lalu pandangan mereka beadu. Galang dan Lintang lantas membeku saat menyadari jarak yang begitu dekat. Keduanya mundur secara bersamaan. Galang berdeham canggung dan mengajak Lintang untuk beranjak menuju kasir karena malam sudah semakin larut.
Akhirnya mereka pun pulang dengan banyaknya kantong belanja yang berdesakan di bagasi mobil. Selama perjalanan pulang Galang dan Lintang memperbincangkan tentang kenangan-kenangan indah di masa lalu. Ketika momen pertama kali bertemu dan peristiwa-peristiwa berkesan lainnya. Mereka juga membahas tentang kabar keluarga masing-masing.
Tiba-tiba Galang menginjak rem mobilnya di tengah perjalanan. Galang dan Lintang menyipitkan matanya dan membelalak kaget. Mereka berdua langsung menuruni mobil untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Lintang menutup mulutnya dengan tangan. Motor ringsek dan banyaknya darah di permukaan aspal membuatnya dilanda panik dan keterkejutan. Galang dan Lintang mempercepat langkah mereka menuju para korban dan semakin kaget saat mengenali dua sosok tersebut.
"Gina! Dion?!" Lintang dan Galang lantas berseru panik mendapati teman sekelas mereka itu dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Ada banyak darah yang merembes di badan jalan, berasal dari tubuh Dion yang tak sadarkan diri di atas pangkuan Gina.
Ekspresi tak percaya tergambar jelas pada wajah Gina melihat kedatangan Galang dan Lintang. Gadis itu tampak sangat terpukul dengan apa yang terjadi. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis.
"Gina?! Lo nggak apa-apa?" Lintang langsung memeriksa keadaan Gina. Ada banyak luka yang menghiasi tangan dan kakinya. "Dion kenap—"
"To ... tolongin Dion. G.. gue mohon," ucap Gina dengan terisak hebat.
Lintang kini beralih pada Dion.
"Dion! Lo denger gue?! Dion!" Lintang berseru sambil mengguncang tubuh Dion. Ia lalu mengecek pergelangan tangan Dion untuk memeriksa denyut nadinya sedangkan Galang sedang sibuk menelepon ambulan.
"Ta... tadi Dion masih bisa ngomong sama gue, dia masih bisa senyum sama gue. Dia bilang dia ngantuk, Lin...."
Lintang memegangi kedua bahu Gina berusaha menenangkan dan meminta gadis itu menjelaskan apa yang telah terjadi. Sambil mendengarkan penjelasan Gina diselingi dengan isakan itu, Lintang memeriksa tubuh Dion dengan saksama. Syukurnya tidak ada fraktur pada tubuhnya. Namun, denyut nadi Dion sangatlah lemah. Tubuhnya dingin dan wajahnya teramat pucat. Gina mengutarakan bahwa mereka mengalami tabrak lari oleh mobil yang menerobos lampu merah. Gina terlempar sedangkan Dion terseret bersama motornya.
Lintang kemudian teringat akan tas PPGD yang berada di dalam mobil. Ia lantas berlari untuk mengambilnya. Gadis itu sedikit kesulitan karena terhalang oleh kantong-kantong belanjaan mereka. Galang datang untuk membantu Lintang mengambil tas berisi peralatan medis tersebut. Lintang juga mengambil selimut yang kebetulan ada di dalam mobil.
Mereka lalu kembali berlari menuju Dion dan Gina. Mengabaikan fakta bahwa Gina ataupun Dion akan mengetahui siapa mereka sebenarnya. Misi mereka memanglah penting, namun keduanya tentu tak bisa mengabaikan nyawa Dion begitu saja.
Lintang menutup tubuh dingin Dion dengan selimut. Dari gejala yang tampak, kemungkinan besar Dion mengalami syok hypovolemic. Syok yang diakibatkan oleh penurunan volume darah secara mendadak. Lalu dengan gerak cekatan Lintang mengambil senter medis berbentuk pen dan memeriksa kedua mata Dion. Pupilnya terlihat normal. Lintang kemudian memakai stetoskop untuk memeriksa detak jantung Dion. Gina menghapus airmata dan memandang Lintang dengan raut wajah penuh tanya. Apakah ini benar Lintang teman sekelasnya?
"Syukurnya nggak ada fraktur, tapi Dion kehilangan banyak darah," jelas Lintang sambil melepaskan kardigannya. Galang dan Gina kembali tercengang ketika melihat Lintang yang menggunting dan merobek kardigannya menjadi beberapa bagian. Ia kemudian membalutkan kain tersebut pada bagian tubuh Dion yang terluka untuk menghentikan pendarahan.
Suara sirene ambulan yang bergema nyaring membuat kedua telinga lantas melebar. Mereka sedikit bernapas lega saat mobil ambulan tersebut tiba. Dua orang petugas ambulan turun membawa brankar. Tanpa banyak bicara mereka mengangkat tubuh Dion ke atas brankar dan mengangkatnya menuju ambulan. Lintang menopang tubuh Gina dan turut memasuki ambulan. Namun, suasana kembali menegang saat Dion terbatuk dan memuntahkan darah dari mulutnya.
"Tekanan darah korban merosot," ujar petugas ambulan melihat monitor TD yang telah terpasang pada tubuh Dion. Lintang sontak memeriksa Dion menggunakan stetoskopnya.
"Apa Anda seorang dokter?" tanya petugas tersebut pada Lintang, gadis itu langsung membenarkan. Berbohong hanya akan memperlambat waktu karena petugas ambulan tidak akan memercayakan Dion padanya. Gina pun semakin syok mendengar jawaban Lintang.
"L...lo dokter?"
Lidah Lintang seolah kelu. Gadis itu membisu tak tau harus berkata apa. Refleks, ia melirik Galang. Lintang terperanjat saat Gina menggenggam tangannya dengan sangat erat.
"Gue nggak peduli siapa lo sebenarnya, tapi gue mohon," gadis itu menghapus airmatanya, "please, selamatin Dion," pinta Gina dengan tangis yang masih saja mengalir.
"Gue bakal lakuin yang terbaik," ujar Lintang seraya mengangguk dan membawa tangan Gina untuk menggenggam tangan Dion. Mengalirkan dukungan psikologis, rasa tak kasat mata yang mungkin berkontribusi besar untuk membantu Dion tetap bertahan.
Lintang berusaha tenang dan berkonsentrasi. Ia mengambil suction yang petugas ambulan ulurkan dan membuka mulut Dion. Tapi mulut Dion telah dipenuhi oleh darah dan intubasi tidak mungkin dilakukan. Tingkat oksigen Dion pun semakin menurun.
Tidak ada cara lain. Lintang harus melakukan trakeostomi. Trakeostomi merupakan tindakan pembukaan dinding anterior leher guna mencapai trakea sebagai jalan pintas untuk bernapas. Pembedahan harus dilakukan sekarang juga atau Dion akan kehilangan nyawa dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Gina semakin terisak. Galang menepuk-nepuk bahunya mencoba menguatkan. Bagaimanapun Dion sudah Galang anggap sebagai adik sendiri. Cowok itu adalah teman sebangku yang konyol lagi menyenangkan. Sulit untuk Galang percaya melihat keadaan Dion yang kritis seperti ini. Galang bahkan tak bisa banyak bicara. Ia teringat akan peristiwa naas kala Sinar meregang nyawa.
Setelah persiapan selesai, pencahayaan juga tersorot dengan maksimal. Lintang memandangi Gina yang kini menutup kedua matanya dengan telapak tangan Dion. Pandangannya kemudian beralih menatap Galang yang menganggukkan kepala meyakinkan. Lintang menghela napas. Tangannya yang sudah dibalut oleh sarung tangan bedah meraba bagian leher Dion. Memastikan bagian yang akan ia bedah.
Lintang berdoa sebelum membuat sayatan pada leher Dion menggunakan pisau bedah. Tangan Lintang dengan cekatan menggunakan alat-alat untuk bedah trakeostomi ini. Sebagai langkah terakhir, Lintang memasang sebuah tube dan petugas ambulan memasang ambubag di atas tube tersebut. Petugas itu menekan ambubag secara perlahan.
Mereka akhirnya menarik napas lega saat tingkat kejenuhan oksigen Dion kembali meningkat. Tekanan darah Dion juga berangsur membaik.
Lintang berhasil menyelesaikan percutaneous trakeostomi dengan sempurna. Tipe trakeostomi ini hanya bersifat sementara dan dilakukan pada gawat darurat. Karena lubang yang dibuat lebih kecil, maka penyembuhan lukanya akan lebih cepat dan tidak meninggalkan scar. Selain itu, risiko timbulnya infeksi juga jauh lebih kecil.
Lintang memerintahkan ambulan untuk segera menuju rumah sakit karena Dion memerlukan transfusi secepatnya. Galang menyerahkan jaketnya pada Lintang sebelum melompat turun. Ia dan Lintang sempat beradu pandang sebelum pintu ambulan tertutup.
Bersambung
Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰
Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗
Regards, Iin ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top