12 - Song

2009

Lintang mencoba menenangkan debar jantungnya karena gugup yang mendera. Disekanya keringat dingin yang mengalir di pelipis. Gadis itu berjalan mondar-mandir sambil menggigiti kuku. Ditariknya satu helaan napas saat Galang datang dengan wajah muram. Cowok itu duduk sambil mengusap wajahnya gusar. Terlihat sekali raut frustrasi yang menghiasi wajah tampannya.

Ini kedua kalinya ia gagal dalam tes kepolisian. Jika dahulu Galang mendaftar pada jalur AKPOL, kali ini ia mencoba peruntungan mendaftar pada jalur Bintara. Dan lagi-lagi ia gugur dalam tes akademik. Galang sudah belajar sangat keras. Tapi mengapa ia harus gagal lagi?

"Udah nggak apa-apa. Belum rejeki, Lang," hibur Lintang dengan senyum menenangkan.

Galang mendongakkan kepalanya untuk menatap Lintang. Ya, gadis itu selalu ada untuknya walau Galang tau Lintang juga sedang hectic dengan perkuliahannya di semester akhir. Sebentar lagi gadis itu akan meraih gelar S.Ked., sedang dirinya hanya bisa berprofesi sebagai pengacara, singkatan dari pengangguran banyak acara.

"Udah dong ih, jangan cemberut terus...." Tangan Lintang terulur untuk mencubit pipinya. "Kamu pasti bisa kok. Masih ada tahun depan kan?"

"Bisa gimana? Perwira nggak lulus, Bintara nggak lulus." Bahu Galang merosot diiringi dengan dengusan. "Aku selalu kecewain kamu," ujarnya sendu.

"Aku nggak kecewa. Kamu nggak jadi polisi pun aku nggak masalah, Lang," kata Lintang lembut.

"Aku yang masalah, Lin. Aku harus bisa tunjukkin ke Bapak kamu, bahwa aku bukan sekedar anak begajulan yang cuma punya modal cinta." Galang menatap Lintang gamang. Ada sorot sedih dan lelah yang terpendar dari manik matanya.

Rasa kecewanya terlalu dalam. Ia merasa tak pernah jadi orang yang berguna. Keluarga yang berada, rupa yang menawan dan komplotan yang setia menjadikan Galang sebagai pribadi yang keras dan seenaknya.

Dari awal, Galang tak memiliki cita-cita. Sejak kecil pun cita-citanya selalu ngawur. Ia bercita-cita menjadi Dragon Ball, Samurai X, Pahlawan Bertopeng, Power Ranger, bahkan Marsupilami.

Tapi akhirnya Galang menemukan sesuatu yang lebih menarik daripada figur-figur kartun tersebut. Sesosok gadis yang terjebak dalam tawuran bersamanya. Karena cewek itu, akhirnya Galang mengeluarkan deklarasi bahwa ia memiliki cita-cita. Yaitu menjadi suami yang baik untuk gadis itu di masa depan. Titik.

Baik, itu juga cita-cita yang agak ngawur.

Sebenarnya Galang selalu percaya diri dalam setiap aksinya. Menjadi jendral tawuran, kapten basket atau anak band, semua mengelu-elukan namanya. Namun, saat bersama Lintang, kepercayaan diri Galang seolah lenyap. Gadis itu terlalu sempurna untuknya.

Lintang manis, menggemaskan dan selalu ada untuknya. Kariernya gemilang dan gadis itu juga sangat cerdas. Sungguh tak sepadan dengannya. Nyalinya menciut. Galang merasa sama sekali tak tahu diri karena berani mencintai gadis itu. Ayah Lintang merupakan seorang perwira tinggi kepolisian. Setiap Galang berkunjung, cowok itu akan disambut dengan tampang sangar beliau yang tentu menolak memberikan izin bahwa putri kebanggaannya menjalin cinta dengan makhluk seperti Galang.

Wajar, pertama kali Galang bertandang ke rumah Lintang cowok itu berpenampilan layaknya preman. Celana jeans sobek-sobek dan kaus tanpa lengan. Walau Galang sudah bersikap sesantun mungkin. Mata calon mertuanya itu terpancar sangat galak. Tangan Galang juga bagai diremas kala bersalaman dengan beliau. Saat itu Galang mulai menyadari, cita-citanya benar-benar tak mudah untuk diwujudkan.

Banyak tawaran yang menghampiri untuk memuluskan jalannya sebagai polisi. Namun, Galang menolak, ia harus bisa menjadi polisi dengan kemampuannya sendiri. Bukan dari faktor apapun. Agar ia bisa bangga berdiri dengan lencananya.

Tahun berikutnya, Lintang kembali menunggu dengan perasaan gugup luar biasa. Galang kembali muncul dengan wajah tertekuk. Baik, mungkin hari ini Lintang harus kembali berusaha keras untuk membangkitkan semangat sang kekasih.

Gadis itu terlonjak saat Galang mengangkat tubuhnya ke udara. Cowok itu berseru girang sambil berputar-putar. "Lang! Aku pusing sumpah!" seru Lintang sambil memukul pundak Galang.

Galang berhenti dan tersenyum lebar. Aura bahagia sangat terpancar dari wajahnya.

"Aku lulus, Lin! Aku lulus!" serunya gembira. Pria itu berloncat-loncat seraya menggenggam kedua tangan Lintang.

"Kamu lulus? Beneran?! Aaaaak!" Lintang menghambur ke pelukan Galang. Mereka berdua bergerak heboh mengabaikan tatap-tatap mata yang memandang dua insan itu sambil menggelengkan kepala.

"Oh iya, aku juga punya kabar baik. Minggu depan aku udah yudisium!"

"Beneran?!" tanya Galang, Lintang mengangguk. Mereka kembali meloncat-loncat bahagia seperti anak kecil.

"Jadi setelah aku selesai pendidikan. Kamu udah selesai koas?"

"Iya, bisa juga aku udah disumpah," jawab Lintang dengan mata berbinar.

"Oke, setelah itu kita nikah!" cetus Galang antusias.

Lintang tertegun dan meneguk saliva. "Kita nikah?" tanyanya hampir tak percaya mendengar perkataan Galang.

Galang mengangguk cepat. "Iya, kita nikah."

Gadis itu tak bisa menahan banyaknya kupu-kupu yang berkeliaran dalam perutnya. Pipinya bersemu. Senyumnya terbit dengan sangat lebar.

"Oke, setelah itu kita bakalan nikah!" seru Lintang tak kalah menggebu. Keduanya berjoget-joget penuh sukacita. Mereka berpelukan dengan airmata kebahagiaan. Lintang dan Galang tertawa sambil menghapus airmata masing-masing.

Galang merengkuh tubuh Lintang erat. Menopang dagunya di atas puncak kepala gadis itu. Mengelus rambutnya, dan mengucapkan ribuan kata terimakasih karena selalu mendukungnya.

Waktu bergulir tanpa bisa ditunda. Pendidikan Galang di Akademi Kepolisian berlangsung selama 4 tahun. Sebagai taruna, Galang tak bisa menemui Lintang sesering dulu. Bahkan pertemuan mereka bisa dihitung dengan jari. Lintang pun sibuk menjalani tugasnya sebagai koas.

Galang tumbuh sebagai prajurit kepolisian yang terampil. Ia berlatih dengan sungguh-sungguh. Kerja kerasnya terbayar dengan menjadi lulusan terbaik di angkatannya. Hal yang pasti dapat dipamerkan pada Bapak Lintang. Saat kelulusannya, Lintang menemani dengan cantik menggunakan kebaya.

Prahara muncul saat Galang telah resmi bertugas sebagai polisi. Lintang juga telah disumpah sebagai dokter. Mereka semakin sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Namun, malam itu adalah puncaknya. Saat ulang tahun Galang, Lintang menuju kantor kepolisian tempat cowok itu bertugas untuk memberi kejutan. Hal yang pertama ia dapati setelah tiba adalah Galang yang sedang berpelukan dengan perempuan yang Lintang tak ketahui itu siapa.

Airmata Lintang tumpah, kue ulang tahun yang berada di tangannya jatuh begitu saja. Gadis itu kembali memasuki mobil dan meninggalkan tempat itu dengan emosi membuncah. Hatinya hancur layaknya birthday cake yang terlindas oleh ban mobil.

Ia tak habis pikir. Setelah memiliki karier yang bagus, beginikah Galang saat ia tak ada? Beginikah cara pria itu membalas kesetiaannya?

***

Sekarang Berlian sedang berada di atas panggung untuk tugas praktek seni secara individu. Gadis itu menatap mata tajam seseorang yang juga sedang memandangnya. Gadis itu mengerjap dan hampir melupakan lirik selanjutnya. Mengapa Alvian selalu menatapnya seperti itu? Oh baiklah, bukan hanya padanya, Alvian memang seperti itu ke semua orang.

Oh mungkin aku bermimpi menginginkan dirimu

Untuk ada di sini menemaniku

Oh mungkinkah kau yang jadi

Kekasih sejatiku

Semoga tak sekedar harapku....

Penampilan Berlian di sambut dengan tepuk tangan dari teman-temannya. Galang dan Lintang memberikan pujian saat gadis itu duduk di antara mereka.

Kini perhatian mereka teralihkan oleh Melin yang bernyanyi dengan begitu emosional. Airmatanya berjatuhan di lantai. Gadis itu memandang Kiev dengan raut wajah begitu memilukan. Ya, Melin memang merupakan bagian dari Kiev Fans Club. Setelah kemarin melakukan acara pelepasan perasaan, merelakan kepergian Kiev untuk Lintang. Ia bahkan memilih lagu Bukan Dia Tapi Aku dari Judika untuk mewakili perasaannya.

Ku harus... pergi meninggalkan kamu

yang telah hancurkan aku

Sakitnya ... sakitnya oh sakitnya

Cintaku lebih besar dari cintanya

Harusnya kau sadar itu

Bukan dia.... Bukan dia....

Tapi aku...

Lintang meringis saat Melin menunjuk-nunjuknya. Sungguh Lintang tak pernah berharap bahwa idola mereka itu akan menyukainya. Ya Tuhan, Lintang memang berdoa untuk mendapatkan pria yang bisa menggantikan posisi Galang dari hatinya. Namun, Kiev sama sekali bukan orang yang tepat untuk itu.

"Selanjutnya, Galang Raditya," tunjuk Pak Horas, guru seni mereka.

Galang melirik Lintang lalu berjalan santai menuju panggung. Pria itu duduk di atas piano dan mulai memainkannya.

Waktu terus berlalu tanpa kusadari yang ada hanya aku dan kenangan

Masih teringat jelas senyum terakhir yang kau beri untukku

Tak pernah ku mencoba dan tak ingin ku mengisi hatiku

Dengan cinta yang lain

Kan ku biarkan ruang hampa di dalam hidupku

Bila aku harus mencintai dan berbagi hati

Itu hanya denganmu

Namun bila ku harus tanpamu akan tetap kuarungi hidup tanpa bercinta

Lintang tak tahu apa yang ia rasakan saat ini. Dari cara Galang menatapnya, mungkinkah lagu itu ditujukan untuknya?

***

Perjalanan pulang mereka diwarnai dengan hening yang melanda. Galang fokus menyetir untuk mengikuti mobil Berlian dan Lintang yang sedang membaca jurnal-jurnal kedokteran dari ponselnya.

"Bila aku harus mencintai...." Lintang tercekat dan otomatis menampar mulutnya sendiri karena telah bernyanyi lagu yang Galang bawakan tadi.

"Lo juga suka lagunya?" tanya Galang tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.

"Hng...."

"Lagu itu buat lo."

Mata Lintang melebar dan sontak menoleh menatap Galang. "Hah?"

"Iya buat lo."

Lintang tertawa sumbang. Bagaimana bisa lagu itu untuknya. Lagu itu menceritakan tentang seseorang yang ditinggalkan oleh orang yang ia cintai dan bertitah bahwa ia tidak akan menjalin cinta dengan siapapun kecuali dengan pasangannya. Dan itu sama sekali bukan kisah mereka, kan?

Galang telah mengkhianatinya.

Lintang melirik Galang yang kini menghela napas berat. "Lo masih ngira gue selingkuh?"

Degup jantung Lintang seolah berhenti mendengar pertanyaan Galang. Gadis itu membuang muka karena matanya kini mulai memanas seperti hatinya. Topik ini memang membuat batinnya bergejolak hebat. "Emang kenyataannya gitu kan?"

"Gue nggak pernah selingkuh," jelas Galang dengan nada yang terdengar pilu dan menatap Lintang tepat di manik mata setelah menginjak rem kala lampu merah menyala.

Lintang kembali tertawa hambar. "Oh ya? Wow. Gue speechless. Terus ada masalah sama mata gue saat itu?"

Napas Lintang memburu saat Galang terdiam. Tak tahan dengan suasana ini, gadis itu menyalakan radio. Mata keduanya melebar saat mendengar lagu yang sedang teralun.

Just give me a reason

Just a little bit's enough

Just a second we're not broken just bent

And we can learn to love again

Lintang mendengus dan mematikan radio. Ia kembali mencoba untuk membaca jurnalnya. Walaupun tak sedikitpun yang menyangkut dalam otaknya saat ini.

"Lin, gue...."

Sebuah ketukan pada jendela mobil membuat omongan Galang terhenti. "Permisi, Mas Mba...." Pengamen itu pun memainkan gitarnya dan mulai bernyanyi.

Redakan amarahmu ku yakinkan padamu

Ini hanya salah paham, tatap kedua mataku

Dan engkau akan tahu ku tak bisa seperti ini

Jalani hidup tanpa dirimu

Keduanya kembali membeku dengan lagu D'Masiv yang pengamen itu bawakan. Galang merogoh sakunya dan membuka jendela untuk memberi uang pada pengamen tersebut. Lampu kembali hijau. Mereka pulang tanpa bicara sedikit pun. Terjebak dalam pikiran masing-masing.

Lintang tak sadar telah menutup pintu mobil dengan kasar saat mereka tiba di pekarangan rumah. Ia melenggang dan masuk meninggalkan Galang. Galang berlari mengejarnya. Cowok itu mencekal lengan Lintang saat gadis itu akan membuka pintu kamarnya.

"Gue bisa jelasin, Lin. Sumpah gue nggak pernah selingkuh!"

Lintang menghempaskan tangannya. Gadis itu menatapnya nyalang. "Kenapa? Kenapa baru sekarang? Lima tahun lo ke mana aja?!"

Galang kembali membisu. Tangannya telah mengepal kuat.

"Udah basi, Lang. Gue bisa maklum, kok. Saat orang udah sukses yang lama pasti dilupain. Lo udah jadi polisi hebat, Lang. Lo berhak milih siapa cewek yang lo mau," tandas Lintang penuh penekanan dan membuat jantung Galang seolah tertikam oleh belati panas.

"Gimana bisa gue selingkuh kalau alasan terbesar gue masuk polisi itu elo?" tanyanya lirih. Cowok itu luruh dan terlihat amat putus asa.

Lintang membeku.

Selama ini, bukan hanya ia yang terluka. Galang turut dipenuhi dengan luka. Pedih yang tak terlihat. Getir yang tak terjamah.

Namun, mengapa Galang menghilang? Mengapa mereka harus berpisah?

Lintang hampir gila, di mana Galang saat ia sedang berada di titik terlemahnya, saat Lintang sangat membutuhkannya. Gadis itu menginginkan kehadiran Galang sebagai tumpuan untuk kembali bangkit. Galang meninggalkannya tanpa jejak. Tanpa kata perpisahan. Begitu saja, seperti asap. Cowok itu hilang bak ditelan bumi.

Tanpa pesan. Tanpa bayangan.

Bersambung

Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰

Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗

Regards, Iin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top