11 - Picture
Juni 2007
Galang mengulas senyum manis saat memandangi kertas berisikan nilai hasil usaha keras belajarnya selama beberapa bulan belakangan. Kini ia telah resmi lulus dari dunia putih abu-abu dengan nilai yang sangat memuaskan, baginya. Bukan hanya baginya, akan tetapi juga kedua orang tua dan para guru yang tak pernah menyerah atas dirinya dengan track record yang sangatlah buruk. Bolos, tawuran, bikin onar, dan sebagainya.
Walaupun Galang bukanlah termasuk peraih deretan nilai tertinggi, melihat progress dari anak itu, guru-guru Galang mengaku bangga. Mereka sempat terkejut dengan perubahan Galang yang begitu signifikan. Ketika cowok itu duduk di kelas memerhatikan pelajaran dengan sungguh-sungguh, sering bertanya dan selalu mengerjakan tugas tepat waktu. Juga betapa bangganya orang tua Galang saat melihat anak mereka yang biasa kelayapan, berdiam diri di rumah berkutat dengan buku-buku pelajaran sampai larut malam.
Tangan kanan Galang terulur untuk meraih sebuah frame berisikan foto sepasang insan manusia yang tergeletak di meja belajarnya. Merupakan foto dirinya bersama Lintang. Mereka berdua menunjukkan senyum lebar sembari mencubit pipi masing-masing.
Foto itu selalu menjadi penyemangat untuk Galang. Demi gadis itu, demi masa depannya. Juga untuk orang tuanya yang utama. Serta guru-gurunya yang sangat berjasa. Cahaya itu telah muncul untuknya, membawanya keluar dari masa kekelaman yang seolah masa bodoh akan kehidupan.
Malam itu gelap dan ia jauh dari rumah. Namun, gadis itu datang membawa lentera. Menuntunnya kembali ke arah rumah yang hangat. Yang dulu sempat tidak ia indahkan. Gadis itu mengisi penuh rumahnya dengan kedamaian.
Masih dengan perasaan bahagia yang membuncah, Galang meraih ponsel dan langsung membuat panggilan. Senyumnya tak lepas saat menempelkan benda tersebut ke telinga dan suara gadis itu memenuhi indra pendengarannya.
"I miss you, too much."
***
"Lin..."
"Hm?" Lintang berdeham masih dengan kepala yang menunduk fokus pada makanannya.
"Sayang."
Pupil mata Lintang melebar dan gerak sendok yang menguasai piringnya terhenti waktu panggilan bernada lembut penuh perhatian itu terdengar. Mengunyah makanannya dengan hati-hati agar tidak tersedak, gadis itu mendongakkan kepalanya menatap Galang.
"Aku ke belakang bentar ya," cetus Galang seraya menepuk pelan puncak kepala Lintang. Cowok itu terkekeh manis dan mencubit pipi sang pacar ketika gadis itu mengangguk lucu dengan mulut penuh makanan.
Sepeninggal Galang, Lintang langsung meminum es jeruknya. Mengontrol degup jantung yang berdebar-debar. Gadis itu menangkup kedua pipinya yang terasa panas. Kata sayang yang Galang utarakan terngiang-ngiang di telinganya. Lintang menggigit bibir untuk menahan senyum, walaupun itu adalah tindakan yang sia-sia. Senyum bahagianya tetap saja muncul tanpa bisa ditahan-tahan.
Lintang tersentak saat cahaya dalam cafe itu meredup. Sebuah suara yang berasal dari panggung kecil yang terletak di tengah cafe membuatnya menoleh dengan mata membulat. Sedang apa Galang duduk di sana?
Galang berdeham beberapa kali. Tangannya mengelus pahanya sendiri karena gugup. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Galang mendekatkan microphone ke arah mulutnya.
"Ekhem, selamat sore semuanya." Galang tersenyum dan melambaikan tangan dengan kaku.
"Maaf menganggu, di sini saya akan menyanyikan sebuah lagu untuk ... untuk pacar saya, yang duduk di sebelah sana." Lintang membeku saat jari telunjuk Galang menuju ke arahnya.
"Kamu ... iya kamu ... Binar Lintang Aninda." Galang terkekeh melihat Lintang yang sedang salah tingkah menutup wajahnya dengan rambut. Sedang para pengunjung yang lain riuh menggoda keduanya.
Galang kemudian mengambil sebuah gitar akustik dan memangku alat musik tersebut. Suasana cafe itu berubah menjadi sangat romantis seiring dengan Galang yang memainkan senar gitarnya. Secara otomatis, Lintang berhenti menutupi wajahnya yang malu untuk menatap Galang lebih jelas. Walau gugup, suara Galang mulai mengalun indah.
Bila cinta menggugah rasa
Begitu indah mengukir hatiku
Menyentuh jiwaku
Hapuskan semua gelisah
Duhai cintaku, duhai pujaanku
Datang padaku, dekat di sampingku
Kuingin hidupku selalu dalam peluknya
Terang saja aku menantinya
Terang saja aku mendambanya
Terang saja aku merindunya
Karena dia, karena dia
Begitu indah
Duhai cintaku, pujaan hatiku
Peluk diriku, dekaplah jiwaku
Bawa ragaku melayang memeluk bintang
Terang saja aku menantinya
Terang saja aku mendambanya
Terang saja...
Lintang tertawa kecil saat menyadari air matanya jatuh membasahi pipi setelah lagu Begitu Indah dari Padi itu Galang selesai nyanyikan.
"Kalau mau peluk, peluk aja nggak usah ditahan-tahan," ujar Galang yang sudah berada di depannya. Merentangkan tangan dengan senyum yang begitu menawan.
"Siapa yang mau meluk yeee," sahut Lintang sembari mengalihkan pandangan untuk menghapus airmatanya.
Galang berjalan mendekat. Menghapus airmata gadis itu dengan ibu jarinya. Lantas Galang memencet hidung Lintang gemas. "Aku yang mau meluk."
Lintang tersentak dan menahan napas sesaat waktu kedua tangan itu melingkari lehernya. Dagu Galang mendarat dengan nyaman pada bahunya.
"Makasih ya, Lin." Tangan Galang bergerak mengelus rambut Lintang.
"Buat?"
"Semuanya."
***
Pagi ini Lintang bergegas mengambil ransel sekolahnya yang berada di atas meja. Langkah Lintang tercekat saat jaket Galang yang juga berada di atas meja itu terjatuh. Sontak Lintang meraih jaket itu untuk meletakkannya kembali. Namun, sebuah dompet yang tergeletak di lantai menarik perhatiannya. Mungkin terjatuh bersama jaket tadi.
Pupil mata Lintang membulat secara maksimal saat mendapati apa yang terpampang pada dompet yang jatuh dalam keadaan terbuka itu. Sosok dirinya dengan Galang yang sedang mencubit pipi satu sama lain. Di sebelah foto itu juga ada pasfoto dirinya yang sedang menggunakan jas dokter.
Sontak perasaan Lintang menjadi tidak karuan. Pertanyaan demi pertanyaan memberondong pikirannya. Tapi pertanyaan Lintang yang utama adalah....
Mengapa Galang masih menyimpan foto dirinya?
Gadis itu tergelagap saat mendengar klakson mobil yang terus berbunyi. Suara itu tentu berasal dari Galang yang menyuruhnya segera keluar.
Galang terheran melihat Lintang yang begitu pendiam. Dari rumah hingga tiba di sekolah, gadis itu tak mengatakan sepatah katapun. Gadis itu seolah terjebak dalam pikirannya sendiri. Entah apa yang ia pikirkan.
Ya, Lintang terus saja memikirkan hal itu. Bahkan Berlian yang amat penyabar pun dibuatnya gemas karena Lintang yang terus saja melamun. Di sisi lain Lintang ingin sekali bertanya langsung pada Galang. Namun, bagaimana caranya untuk bertanya?
Mungkin Galang lupa buang itu foto itu. Kalimat itu diucapkan Lintang berulang kali dalam hatinya. Tidak mungkin.
Tak mungkin Galang masih menyimpan perasaan padanya. Mengingat apa yang telah cowok itu lakukan.
Dengan suasana hati yang tidak karuan. Lintang semakin kesal karena mendapati banyaknya surat berisi makian pada lokernya. Berasal dari penggemar Kiev. Ya, selebriti yang entah kenapa selalu mengejar perhatiannya. Jika Kiev mengetahui fakta sebenarnya, Lintang tak tau, bagaimana reaksi Kiev menyadari dirinya telah menyukai cewek yang terpaut sepuluh tahun lebih tua.
Sejak kedatangan selebriti itu, hari-hari sekolah Lintang terasa sangat suram. Kiev yang selalu menarik ikat rambutnya sampai lepas. Kiev yang bernyanyi di mana saja sambil menunjuk-nunjuk dirinya. Kiev yang menggambari buku tulis Lintang dengan coretan penuh hati. Jika bukan untuk Lian, Lintang tak ingin ke mana-mana selain duduk di bangkunya. Karena Kiev, hampir seluruh cewek di sekolah menatap Lintang dengan sinis.
Kembali pada teror pada lokernya, surat itu berisi makian yang menyebut Lintang sebagai cewek keganjenan dan perebut suami orang. What? Suami? Emang si Kiev sudah ijab kabul sama siapa coba?
Tapi Lintang bersikap acuh tentang ini. Biarkanlah para remaja itu berkreasi. Tugas dia di sini hanya untuk menjaga Berlian. Namun, jika peneror itu berani mengambil tindakan yang membahayakan dirinya, Lintang tak segan-segan untuk menunjukkan taring. Mereka tidak tau sedang berhadapan dengan siapa.
Lamunan Lintang buyar saat Berlian menggamit tangannya. Gadis itu langsung menegang dan menelan saliva menatap beberapa orang di hadapannya. Baik, lupakan kesombongan Lintang yang tadi. Nyatanya Lintang merasa gentar terancam dikeroyok seperti ini. Gina sang ketua Kiev Fans Club SMA Atmawijaya bersama beberapa orang dari pasukan Kiev Fans Club yang lain sudah mengepungnya dari berbagai penjuru.
Masalah apa lagi ini....
"Lin, lo suka sama Kiev?"
Mulut Lintang seolah membisu usai indra auditorinya menangkap pertanyaan yang Gina lontarkan. Memandang sekilas Berlian yang ada di sampingnya, Lintang terjengit kaget saat Melin, salah satu dari bagian Kiev Fans Club memukul mejanya dengan cukup keras. "Jawab!" ujar gadis itu dengan nada membentak.
Baik, itu agak menjengkelkan.
"Nggak," sahut Lintang pendek dan terkesan santai seraya menggaruk hidungnya yang memang terasa gatal. Faktanya, Lintang juga ketar-ketir sekarang. Sangat menyeramkan jika membayangkan cewek-cewek SMA di hadapannya ini akan bertindak anarkis padanya. Apalagi keroyokan.
Lintang tersentak saat Gina kembali bersuara. "Please, jujur aja, Lin."
"Iya, nggak usah munafik!" timpal Melin emosi.
Gina menggamit lengan Melin mengingatkan lalu kembali fokus pada Lintang. "Gue tanya sekali lagi, lo suka sama Kiev?"
Lintang kembali menghela napas. Diedarkannya pandangan pada cewek-cewek yang mengepung mejanya. "Sama sekali nggak," ujarnya dengan sangat mantap. Jawaban Lintang membuat cewek-cewek itu terpana. Menurut mereka, Lintang teramat tenang untuk posisi seseorang yang sedang dilabrak.
Mendadak, Gina menggenggam erat tangannya. "Lin, gue mohon lo jangan cuekin Kiev lagi ya. Kita pengin Kiev bahagia," mohon Gina dengan raut memelas dan mata yang berkaca-kaca.
"Eh?" Lintang langsung terperanjat diperlakukan seperti itu. Ia kira, nyawanya akan dihabisi saat ini, ternyata eh ternyata, Gina sang ketua Kiev Fans Club malah memohon padanya.
"Lo balas aja cintanya Kiev, Lin. Jangan mikirin kita, kita nggak apa-apa ya kan, girls?"
Teman-teman Gina sesama Kiev Fans Club mendesah pelan sebelum mengangguk. Ya, setelah rapat panjang yang mereka adakan, dengan segala konflik sebelum mencapai kata mufakat. Gina meyakinkan mereka bahwa inilah jalan yang terbaik. Yaitu mengikhlaskan Kiev pada Lintang.
Tapi mengikhlaskan tak semudah itu, bahkan ada sebagian dari cewek-cewek itu yang sudah berderai airmata. Mungkin ada faktor yang membuat mereka menjadi sensitif berlebihan ataukah bagaimana, yang pasti itulah yang terjadi.
"Tapi gue bener-bener nggak ada perasaan apa-apa ke Kiev," jelas Lintang lagi. Ia sontak menutup telinga saat Gina mengeluarkan tangisan. Cewek-cewek yang lain pun ikut menangis dan mengelus bahu Gina menguatkan.
"Dasar lebay wooooooo!" seru Udin dan Shandy menyoraki para Kiev Fans Club.
"Diem somplak! Nggak tau ini acara pelepasan perasaan apa?!" bentak Gina sambil menghapus ingusnya yang meler keluar.
"Gue juga minta maaf Lin, kalau selama ini ada oknum yang mengatasnamakan Kiev Fans Club untuk ngebully lo," lanjut Gina dengan suara khas orang menangis.
Lintang sangat tahu bahwa Gina merupakan penggemar Kiev garis keras dan ia tak bisa menahan rasa kagumnya ketika melihat Gina meminta maaf atas nama penggemar Kiev lain yang telah menerornya. Padahal, yang Lintang ketahui dari temannya yang bekerja di cyber crime, ada banyak laporan dari para korban haters para penggemar karena berdekatan dengan idola mereka.
"Iya, nggak apa-apa kok, Na." Lintang tersenyum dan mengelus tangan kanan Gina yang masih menggenggam tangannya. Gina mengangguk dan membalas senyum Lintang dengan sepenuh hati. Ia melepaskan genggamannya dan menghapus air matanya yang terus saja turun. Perlahan, kerumunan Kiev Fans Club di sekeliling meja Lintang pun terpecah ketika sesosok cowok membelah kerumunan tersebut.
"Udah dapat kesimpulannya kan? Gue pinjam Lintang dulu ya, gue punya urusan sama dia." Tubuh Lintang menegang ketika Galang menarik tangannya dan membawanya keluar kelas diiringi oleh tatapan orang-orang.
Lintang cukup kesulitan untuk mengikuti langkah kaki Galang. Cowok itu membawanya ke koridor yang terhitung sepi. Tidak ada seorang pun yang berseliweran di sana. Lintang dan Galang bahkan lupa telah meninggalkan Berlian sendirian di bangkunya.
Mereka berdiri berhadapan dengan jarak yang lumayan dekat. Ada kilatan api yang tergambar pada tatapan Galang.
"Sekali lagi gue peringatin, lo nggak boleh deket-deket Kiev," ujar Galang pelan namun dengan nada yang teramat tajam.
Refleks, Lintang melebarkan matanya mendengar perkataan Galang. "Emang gue terkesan pengin deket-deket Kiev gitu? Nggak!" bantahnya langsung.
"Gue cuman memperingatkan lo," tambah Galang lagi.
"Lo nggak perlu kasih gue peringatan," sahut Lintang dingin.
Tatapan mereka beradu dengan sama tajamnya. Terlebih Galang yang kini merasa tidak karuan. Beberapa waktu kemudian, mereka kompak mengingat hal yang lebih penting.
"VIP, Lang!"
Very important person, sebutan yang ditujukan untuk Jingga Aurelia Berlian Effendi yang telah mereka tinggalkan tanpa pengawasan. Sontak Lintang menarik tangan Galang dan mereka berlari cepat menuju kelas.
Rasa panik mendera keduanya saat batang hidung Berlian sama sekali tak terlihat di kelas. Galang menarik rambutnya sendiri karena menyesal telah lengah. Lintang mencoba menelepon Berlian, sedangkan Galang berlari ke sana ke mari untuk mencari Berlian.
Lintang terkesiap saat merasakan bahunya di tepuk oleh seseorang. "Hei!"
"Lian! Lo nggak apa-apa kan?" tanya Lintang panik dan langsung memeriksa keadaan gadis itu.
"Nggak, emang gue kenapa?" tanya Berlian heran, "yang ada gue yang nanya, lo nggak apa-apa kan? Gue tadi dipanggil Bu Ria sebentar."
"Syukur deh kalau lo nggak kenapa-kenapa."
Galang menghela napas lega saat dilihatnya Berlian sudah berada di samping Lintang. Ia pun berlari menuju mereka.
"Lang, ngapain lo lari-lari?" tanya Berlian bingung melihat Galang yang ngos-ngosan.
"Nggak apa-apa, olahraga doang," kata Galang sambil merangkul pundak Lintang untuk membantu menumpu lututnya yang terasa akan copot karena terlalu banyak berlari.
"Olahraga siang-siang gini?"
"Emang ini anak suka aneh Li, biarin aja." Lintang berusaha melepaskan rangkulan Galang tapi sang empunya tangan tidak ingin beralih sedikit pun.
Tanpa mereka ketahui, seseorang memandangi ketiganya dari kejauhan. Pada balik tembok, retina tajam itu beralih dan dengan cepat menarik diri kala mata Galang hampir melihat sosoknya.
"Bidak telah ditemukan, Sir," ujar laki-laki itu setelah sang tauke menerima panggilan.
Di seberang sana, seorang laki-laki yang berperan sebagai sang tauke dengan setelan mewah dan berkelas sedang duduk di kursi kebesarannya.
"Biarkan saja dulu mereka bermain-main, tapi secara perlahan-lahan...." Pria asing itu membalik jam pasir yang ada di mejanya. Kemudian tangannya meraih sebuah senapan laras panjang, ia mengelus dan menghirup aroma senapan tersebut. Bibirnya menyunggingkan senyum miring nan mengerikan.
"Good bye, princess and the dwarfs." Pria itu lalu menarik pelatuknya ke arah jam pasir. Suara tembakan dan tawa bengisnya menggelegar. Membuat burung-burung yang hinggap pada bangunan seperti kastil kegelapan itu berterbangan.
Bersambung
Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰
Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗
Regards, Iin ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top