1 - Apa Kabar?

Januari 2017

"Gue hamil anak kedua!" pekik wanita berjas dokter itu heboh. Senyuman tak hilang dari wajahnya sembari berlari ke sebuah ruangan. Tangannya memegang sebuah berkas yang ia dapat dari dokter kandungan. Wanita itu lalu membuka pintu dengan gerakan tak sabar.

"LINTAAANGGG!"

Seseorang menoleh ke arahnya dengan kening terlipat.

"Apaan sih, Sya? Rusuh banget lo."

Fisya tersenyum lebar. "Lo punya ponakan lagi sekarang!" serunya pada Lintang yang langsung membulatkan mata karena terkejut.

"Serius? Ya ampun, selamat ya, Sya!" seru Lintang seraya memeluk Fisya dengan erat.

"Haha, iya makasih ya, Lin." Fisya terkekeh. "Elo sendiri kapan kawin? Buntut gue udah mau dua, elo masih aja sendiri. Belum move on juga lo?"

Lintang kontan melepas pelukannya dan cemberut total. "Enak aja gue belum move on, gue tuh cuman ... hm, menikmati masa sendiri aja!"

"Yeeeeee, tapi umur lo udah 27, kan? Cepet-cepet cari calonnya deh, Lin. Kasian gue liat lu sendiri mulu," ledek Fisya.

Lintang mendengus. "Emang nikah balapan apa harus cepet-cepet? Lagian gue kan lagi seneng-senengnya kerja, Sya."

Fisya menghela napas panjang-panjang. "Lo jangan maksain diri dong buat kasus itu. Semuanya udah lewat, Lin."

"Gue nggak maksain diri kok." Lintang mengedikkan bahunya.

"Tapi lo sekarang lebih banyak kerja di luar ketimbang di rumah sakit, terus liat kantung mata lo, makanya kurang-kurangin kerja," cecar Fisya.

"Duh, ini ibu hamil bawel banget sih." Lintang mencibir. "Gini-gini aja gue udah cantik paripurna."

"Yeee, pede abis. Oh iya, sekarang lo punya gebetan ngga atau minimal calon gebetan, gitu?" tanya Fisya penasaran.

Lintang diam berpikir. "Hm, nggak ada."

"Elo masih ngarep mantan lo itu, Lin?" ucap Fisya dengan sorot mata menyelidik. "Ampun deh, gue tau lo pacaran sama dia sampe enam tahun lamanya, pasti banyak kenangan yang susah dilupain. Tapi ini kan udah lama banget juga lo bubaran sama dia. Masa masih belum move on, jangan stuck sama masa lalu gitu dong!" omel Fisya panjang lebar.

"Ih, nggak ya! Enak aja gue stuck sama itu ketek soang. Untung aja dia nggak muncul lagi dalam hidup gue. Gue udah damai sekarang, damai banget—"

"Beneran untung nih, Lin? Beneran dah damai?" potong Fisya melihat ekspresi Lintang yang seperti tidak sungguh-sungguh dengan kalimatnya.

"Auk ah!" Gadis itu melihat arlojinya. "Waktu istirahat udah abis. Ayo balik kerja," ujar Lintang seraya mendorong pelan bahu Fisya ke arah luar.

***

Fisya membubuhkan kassa steril dan merekatkan plester pada kening pria yang ada di hadapannya sebagai sentuhan terakhir setelah menjahit luka sobek pria tersebut. Wanita itu kemudian memandangi wajah si pasien lekat-lekat. Kernyitan timbul pada keningnya karena mencoba berpikir keras.

Kayaknya gue pernah liat ini orang deh, tapi di mana? batin Fisya.

Fisya langsung tergelagap ketika mata sang pasien terbuka. Pria berkumis dan berjambang tipis itu tersenyum manis dan langsung bangkit untuk memakai jaket kulitnya.

"Sudah selesai kan, Dok?"

Fisya mengangguk dengan kaku. Laki-laki itu berterima kasih dan menepuk bahunya sebagai salam perpisahan lalu menyingkap tirai pada bangsal UGD tersebut. Kakinya melangkah dengan santai meninggalkan Fisya dalam ketermanguan.

"Asli, dia itu siapa, sih?" gumam Fisya mencoba mengingat-ingat.

Sementara itu, Lintang menatap jenuh pasien bertubuh gempal di depannya karena menunjukkan ekspresi yang sangat berlebihan ketika Lintang akan membersihkan luka pria itu dengan cairan antiseptik. Pria penuh tato itu terus saja meringis hebat dan meminta Lintang agar membiarkan ia pergi.

Lintang menunjukan sikapnya sebagai seorang dokter dengan baik. Gadis itu dengan welas asih memberikan pengertian pada si pria tambun agar bersedia menerima pengobatan. Lintang kemudian kembali mencoba untuk membersihkan luka si pasien.

Napas gadis itu seketika tercekat saat dalam waktu yang begitu cepat dan tak terduga ketika sang pasien meloncat dari kasur dan langsung melingkari lehernya dengan pisau bedah yang tergeletak dalam tempat yang sama dengan peralatan medis lainnya.

"Diam atau Anda akan saya habisi," bisik pria itu dengan bengis. Lintang menelan air liurnya dan merapalkan segenap doa.

"Ya Allah, saya belum kawin, belum naik haji, belum bahagiain ibu-bapak, tolong panjangkanlah umur saya," ratap Lintang membatin.

Setelah itu, dalam satu gerakan pasti, Lintang meraih tangan si pasien dari lehernya dan memelintirnya ke belakang dengan kuat, seketika pisau bedah yang pria itu pegang terlempar jauh. Penjahat itu pun kemudian mendorong Lintang sampai gadis itu keluar dari bangsal dan menubruk seseorang.

Lintang tak sempat mempedulikan orang yang ia tubruk karena perhatiannya terfokus pada sang pasien yang sedang berlari. Gadis itu pun langsung mengambil langkah seribu untuk mengejar dan membuat jas dokter yang ia pakai berkibar-kibar seiring dengan langkah kakinya yang bergerak cepat.

"Astaga," rutuk seseorang dari belakang Lintang dan ikut berlari.

Suasana lengang di koridor rumah sakit berubah menjadi sangat gaduh karena aksi kejar-kejaran tersebut. Si pasien berbadan besar itu berlari tanpa mempedulikan apa saja yang ia lewati. Lintang dan pria yang ada di belakangnya mencoba menghindari pasien lain dan orang-orang yang ada di koridor dengan susah payah. Lintang kemudian berbelok mengambil jalan pintas. Sedangkan pria tadi terus berlari kencang mengikuti sang pasien dari arah belakang.

Langkah si pasien itu terhenti mendadak ketika mendapati Lintang menghadangnya dengan tiba-tiba. Pria berbadan super besar itu terpaksa mengurungkan niatnya untuk kembali berlari ketika terdengar sebuah suara gertakan dari arah belakang. Suara yang juga berhasil membuat jantung Lintang berdetak tak karuan.

"Jangan bergerak atau Anda akan saya tembak!" Suara laki-laki itu menggema mencuri perhatian semua orang. "Angkat tangan di atas kepala!"

Si pria tambun mendengus dan mengangkat tangan sambil membalikkan badan. Membuat pandangan dua orang pengejarnya itu akhirnya beradu satu sama lain.

Lintang menatap pria berjaket kulit yang sedang mengacungkan pistol itu dengan mata membulat maksimal.

"Ga... lang?"

***

"Sori, Lang. Gue tadi ke toilet sebentar, nggak nyangka dia bakalan kabur lagi," ujar seorang laki-laki setelah memasukkan si pria besar yang telah terborgol ke dalam mobil polisi.

Lintang berdiri di depan pintu utama rumah sakit dengan kedua tangan yang tersimpan dalam saku jas dokternya, memperhatikan Galang yang sedang berbincang serius dengan rekan kerjanya itu. Lintang kemudian mengernyitkan keningnya bingung saat mobil itu meninggalkan Galang seorang diri. Jantungnya kembali berdegup kencang ketika Galang berjalan mendekat ke arahnya.

"Hng, bisa ngobrol sebentar?" tanya Galang.

Di sinilah mereka sekarang, duduk di sebuah kursi panjang yang berada pada taman rumah sakit. Sesekali keduanya melirik satu sama lain dengan suasana yang luar biasa canggung.

"Kam— eh ... lo apa kabar, Lin?" tanya Galang memulai. Kedua tangan cowok itu bergerak tidak jelas menyapu pahanya karena gugup yang melanda.

"Ba-baik," jawab Lintang tak kalah gugup. "Lo sendiri?"

"Seperti yang lo liat."

Hening kembali menyelimuti dengan semilir angin sore yang berhembus.

"Sekarang...." Mereka bicara bersamaan kemudian membisu dan terjebak dalam pikiran masing-masing. Sudah lima tahun mereka tak pernah berjumpa satu sama lain sejak perpisahan mereka yang tak bisa dibilang secara baik-baik.

"Ya udah, lo duluan," ucap Galang akhirnya.

"Ng... nggak jadi, lo mau nanya apa?"

"Hng, gue dengar lo sekarang jadi dokpol ya, Lin?"

Lintang mengangguk dan menatap wajah Galang yang kini dihiasi dengan kumis tipis dan bulu halus di sisi wajahnya.

"Pasien tadi ... tersangka kejahatan apa?" tanya Lintang penasaran

Galang menghela napas panjang sebelum menjawab. "Pengedar," sahut Galang dengan nada yang begitu hati-hati.

Lintang seketika tercekat. "O..ohh... Lo sekarang tugas di satuan narkoba?"

Galang mengangguk dengan kaku sebagai jawaban. Mereka kembali diam karena tak tau harus bicara apalagi. Cahaya senja mulai terlihat. Galang kemudian menoleh untuk memandangi wajah Lintang yang sedang menatap lurus ke depan. Tiba-tiba, Lintang menatap ke arahnya yang membuat Galang langsung tergelagap. Senyuman gadis itu mengembang dengan cahaya senja yang menerpa wajahnya.

"Gue balik ke dalam sekarang ya, Lang," ucap Lintang seraya berdiri.

Galang mengangguk dan ikut bangkit. Mata pria itu lekat mengikuti punggung Lintang yang semakin menjauh.

"Lin!" panggilnya kemudian. Membuat gadis itu membeku dan menolehkan kepala ke belakang.

"Maafin gue," lirih Galang dengan sorot mata penuh penyesalan.

Lintang terdiam dan tersenyum tipis sebelum kembali berlalu. Tapi satu hal yang Galang tak ketahui, gadis itu sedang menahan air matanya mati-matian agar tidak jatuh.

"Aduh!" pekik Lintang saat kakinya tersandung sebongkah batu besar. Galang kontan berlari mendekati Lintang yang sedang menundukkan kepala dalam-dalam.

"Batu sialan! Kenapa pake acara kesandung segala sih!" umpat Lintang dalam hati. Suasana hatinya sangat kacau saat ini. Gadis itu ingin marah dan menerjang sang mantan dengan sedikit bogeman, ingin menangis dan berteriak tepat di wajah pria itu. Tapi ... nanti ketahuan dong kalau dia masih memikirkan cowok itu.

Galang berjongkok dengan menumpu satu lututnya ke tanah, menyetarakan tubuhnya dengan Lintang yang sedang terduduk. Raut khawatir mendominasi wajah Galang saat ini.

"Lo nangis?" Galang bertanya heran ketika suara isakan Lintang mulai terdengar.

Gadis itu terus mengumpat dalam hati saat air matanya jatuh tanpa izin. Mana nggak bisa berhenti, lagi.

"Kaki lo sakit banget, ya?" tanya Galang.

Lintang mendongak dan menatap Galang dengan air mata yang membanjiri pipinya.

"Iya sakit batin gara-gara lo, kambing congek!" maki Lintang dalam hati seraya menghapus air matanya dengan kasar. Marah, malu, sedih dan secuil kangen bercampur jadi satu.

Galang kemudian tertawa kecil saat dilihatnya ingus Lintang meler keluar.

"Lo...." suara Lintang terdengar parau. "Kenapa ketawa?"

Galang menggelengkan wajahnya sambil berusaha keras menahan tawa. Pria itu kemudian meraih sapu tangan dalam saku jaketnya dan mengulurkan ke arah Lintang yang masih mewek. Lintang semakin nelangsa. Ini kan... Sapu tangan punya gue dulu....

***

Seorang pria dengan setelan berkelas sedang duduk di atas sofa mewahnya. Pria itu bersiul-siul angkuh dengan tangan yang menggenggam sebuah botol wine. Matanya yang berwarna kecokelatan menatap tajam pada wanita yang baru saja datang.

"Jika kau kemari, hal buruk pasti telah terjadi."

Wanita berpakaian serba hitam itu mengangguk santai dan langsung menyalakan televisi yang ada di ruangan itu.

"Silakan lihat ini, Sir."

Seorang pembaca berita dengan setelan rapi muncul pada layar televisi.

"Headline News. Hukuman mati untuk bandar narkoba akan segera dilaksanakan dalam minggu-minggu ini. Pemerintah kembali mengambil langkah tegas untuk setiap pengedar narkoba. Berikut daftar bandar narkoba yang akan dieksekusi."

Darah pria itu mendidih ketika hampir semua orang kepercayaannya termuat dalam daftar tersebut. Selama ini mereka bahkan masih bisa mengoperasikan bisnis haram itu dari dalam tahanan.

"Eksekusi mati memang bukan hal yang membahagiakan. Tapi harus dilakukan untuk menimbulkan efek jera bagi para pengedar, demi menyelamatkan bangsa ini dari bahaya narkoba," kata sang Presiden dengan microphone di sekelilingnya.

Pria berwajah bule itu menggeram marah saat menonton berita tersebut. Sang wanita hanya bisa menghembuskan napas tertahan saat si pria yang sedang naik pitam itu melempar botol wine yang ada di tangannya ke arah televisi.

"Keparat!" teriaknya menggelegar. Kakinya yang panjang bergerak menendang apa saja yang ada di sekitarnya.

"Presiden sialan! Setelah kau membunuh adikku sekarang kau akan kembali membunuh anak buahku?!" Bahunya bergerak naik turun. Merasakan emosi begitu dalam saat bisnisnya yang mendunia diganggu oleh negara yang selama ini ia remehkan.

Dalam sesaat, air mukanya kemudian berubah drastis. Pria itu tertawa terbahak-bahak seraya memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa. Tak lama, tawanya kemudian berganti dengan seringai licik yang mengerikan. Pria itu mengambil selembar foto dari dalam map yang tergeletak di atas meja kerjanya. Pria itu terkekeh sembari memandangi foto itu. "Tunggu saja, akan segera ku lenyapkan harta berharga yang kau sembunyikan itu, Presiden...."

Pria itu menyalakan pemantik dan membakar foto yang ia pegang dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya.

"Nyawa... Dibayar nyawa...." Dan tawanya yang mengerikan pun kembali menggema.




Bersambung

Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar 🥰

Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗

Regards, Iin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top