Bab 9 Meja Keluhan
Semalam hujan mengguyur sebagian besar Kota Tegal. Jalanan masih basah tapi langit begitu cerah. Bintang, sekali lagi pusing di depan laptopnya.
Cangkir putih gading mengeluarkan asap putih yang murni. Cairan hitam yang kental memenuhi cangkir, menyebar aroma pahit yang khas. Yogi menarik kursi untuk dirinya sendiri dan meletakkan kopinya di atas meja.
Bintang mendeteksi keberadaan minuman kesukaannya. Kepalanya mendongak, menatap cangkir berisi kopi di depan Yogi. Hanya satu cangkir. Bintang menelan ludahnya sekali. Dia tidak akan meminta Yogi membuatkannya secangkir kopi atau menghukumnya. Sekali lagi, Bintang ingin menghilangkan budaya senioritas dimulai dari dirinya sendiri. Jadi dia hanya terbatuk dan mengalihkan pandangannya dari si hitam yang begitu menggoda.
"Apa kau mencari cara lain untuk membatalkan pemidahan server lagi, Pak?" tanya Yogi dengan wajah siap berceramah.
"Tidak. Kemarin aku meminta daftar penumpang penerbangan dari bandara di Semarang." Bintang kini menatap layar laptopnya lagi. Dia sudah siap untuk menyerah menatap cangkir di depan Yogi.
"Daftar penumpang? Berapa waktunya?" kata Yogi sambil mengangkat cangkirnya menuju bibir, hendak meminumnya.
"Dua minggu terakhir."
Rasa panas dan basah seketika hinggap di lengan Bintang, dibarengi dengan suara cipratan yang keras. Yogi memuntahkan kopi dari mulutnya!
"Jorok!" pekik Bintang.
"Ah, maaf! Maaf!" Yogi langsung meminta maaf dan mengambil sekotak tisu dari tasnya. Dia mengeluarkan beberapa helai kertas tipis itu dan mengelap tetesan-tetesan kopi di lengan Bintang.
Setelah selesai dengan lengan Bintang, Yogi mengambil beberapa lembar lagi untuk mengelap meja.
"Untung tidak kena laptopnya," keluh Bintang.
"Aku minta maaf, Pak. Tadi aku sangat terkejut." Yogi membereskan meja dan membuang tisu bekas ke tempat sampah. Sementara itu Bintang mengeluarkan tisu basah untuk membersihkan lengannya lebih lanjut.
Yogi kembali duduk di kursinya dan menaruh cangkir kopi ke samping. Dia kembali ke topik dan bertanya, "Kenapa dua minggu? Sebuah bandara bisa memiliki lebih dari seribu penumpang per harinya. Akan memakan banyak waktu untuk mencari satu orang."
"Ya, kau benar. Itu sebabnya kau ada di sini, bukan?"
Yogi mendengar balasan Bintang dan merasa kalau permintaan maafnya sia-sia. Orang ini sangat kejam. Dia tidak punya pilihan selain menurut. Yogi tidak ingin didisiplinkan Bintang lagi. Bukan berarti Yogi benar-benar telah dikirim ke kursus pengendalian diri. Bintang bahkan tidak bisa memastikan keberadaan kursus unik ini. Dia hanya mengancam, dan Yogi kapok. Yang ada di pikiran Yogi adalah hukuman berat ala militer. Kursus pengendalian diri bersama Bintang pasti akan terasa seperti neraka.
Dari tas kecilnya, Yogi mengeluarkan sebuah laptop biru tua ke atas meja. Bagian belakang laptop itu penuh stiker-stiker aneh yang menurut Bintang sangat kotor. Lima tahun sangat jauh, pikirnya.
Layar tiga belas inchi itu menyala dengan empat kotak warna merah, kuning, hijau, dan biru yang sangat khas. Bintang mengirim tautan lewat email pada Yogi. Tautan itu menuju pada sebuah website khusus di mana kata sandi diperlukan untuk mengaksesnya. Biasanya website ini bersifat rahasia dan kata sandinya berganti tiap hari. Tapi dengan wewenang kepolisian, Bintang dengan mudah mendapatkan akses.
Data diri penumpang dan awak pesawat disimpan dengan baik berdasarkan waktu penerbangan. Dalam satu kurun waktu, data-data tersebut dikumpulkan berdasarkan tipe penerbangan domestik dan non domestik. Lalu nama dan jenis pesawat. Kemudian dipecah lagi menjadi tiga bagian. Awak pesawat, penumpang kelas bisnis, dan penumpang kelas ekonomi. Ada kolom pencarian di website tersebut, tapi sayangnya hanya bisa digunakan untuk pencarian maksimal nama dan jenis pesawat. Setelah melakukan pencarian, akan ada kolom lain yang lebih kecil. Kolom pencarian kecil tulah yang bisa digunakan untuk mencari nama penumpang atau awak kapal. Oleh karena itu, pencarian ini memakan waktu setengah hari lebih.
"Selesai. Tidak ada riwayat penerbangan untuk Andi Rudi." Yogi menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Dia merasa sangat lelah setelah melakukan cukup lama pencarian. "Bagaimana denganmu, Pak?"
"Hm? Aku sudah selesai dari tadi. Sekarang aku sedang mencari di rekaman CCTV jalan."
Yogi yang merasa tidak sanggup menghadap laptop lagi terkejut. CCTV? Itu berarti dia harus melakukan pencarian lagi. Memeriksa rekaman CCTV bahkan akan lebih melelahkan. Matahari sudah hampir tenggelam saat Bintang dan Yogi selesai. Sayang sekali kerja keras mereka tidak membuahkan hasil yang manis.
"Tidak ada di CCTV, tidak terbang juga. Mungkin dia menghilamg seperti pesulap."
"Mau coba cari di pelabuhan?"
"Tidak."
"Ayolah, aku tahu kau kuat. Lihat semangat jiwa mudamu yang membara itu!" Bintang mengada-ngada. Yogi sudah kehilangan semangat muda sejak beberapa jam yang lalu.
"Tidak, tidak. Terima kasih. Kurasa aku harus mampir ke apotek untuk membeli obat tetes mata setelah ini." Yogi menutup laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas. Seharian penuh hanya menatap laptop membuat jiwa dan raganya lelah.
Yogi bangun dari duduk dan mulai melakukan peregangan. Di sisi lain Bintang masih menatap laptopnya dengan pandangan kosong. Saat ruangan penuh suasana lelah dan bisa dibilang hening, pintu ruang itu terbuka secara tiba-tiba. Orang yang membuka pintu sengaja mendramatisir proses pembukaan pintunya.
"Sore! Sore! Haha.... Kaliam masih belum pulang, huh?" Orang yang memasuki ruangan ternyata Dani. Dia tidak mengetuk pintu.
"Apa mengetuk pintu sudah menjadi salah satu hal yang sangat sulit dilakukan?" sindir Bintang.
"Pak Dani!!" Mata Yogi kembali bersinar sejak Dani memasuki ruangan. Dani ini ternyata sangat populer.
"Hahaha.... Bagaimana kabarmu anak muda?"
"Aku baik-baik saja, Pak. Bagaimana dengan Bapak?"
"Aku... luar biasa! Hahaha...."
KLANG
Kaleng soda yang sudah kosong terbang menabrak dinding, melewati celah di antara Dani dan Yogi yang sedang berbicara. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Bintang.
"Berisik."
Dani menghentikan tawa konyolnya dan mensejajarkan wajah dengan Bintang. Dia ingin melihat apa yang sedang Bintang kerjakan dengan laptopnya, hanya untuk menemukan kalau laptop itu menyala tapi tidak ada aplikasi atau program yang sedang dijalankan.
"Kau tidak melakukan apapun dengan laptop itu?"
"Tidak. Iya." BUK... Bintang menjatuhkan kepalanya di atas keyboard. Orang ini pasti sangat tertekan.
"Apa yang kalian lakukan?" Dani beralih bertanya pada Yogi.
"Kami mencari terduga pelaku kasus ini di riwayat penerbangan dari bandara terdekat. Juga CCTV di beberapa jalan."
"Hanya dalam satu hari?"
"Ya. Kami baru saja menyelesaikannya."
"Apa yang kalian temukan?"
"Tidak ada." Bulu mata Yogi terkulai. Sejujurnya dia sangat enggan bagaimana perjuangannya menghadap laptop sepanjang hari namun berakhir sia-sia. Sementara Bintang masih belum mengangkat wajahnya.
Meski hanya sedikit, Dani mengerti kesulitan kedua orang ini. Pertengkaran yang terjadi antara Yogi dan orang dari divisi cyber crime sudah sampai di setiap sudut Polres Tegal Kota. Mustahil bagi Dani untuk tidak menyimpulkan kalau Bintang sekali lagi ditolak oleh rekannya.
"Kau tahu, akhir-akhir ini sedang marak yang namanya detektif swasta. Tertarik mencoba jasa mereka?"
"Apa?" Bintang mengangkat kepalanya dan bertanya berberengan dengan Yogi.
"Kau bisa menyewa seorang detektif swasta untuk membantumu mengumpulkan informasi. Aku dengar masyarakat sedang dihebohkan dengan betapa hebatnya mereka bekerja." Dani berjalan-jalan di sekitar ruangan. Sebuah tempat sampah di pojokan yang penuh dengan tisu menarik perhatiannya.
"Mereka ilegal. Meskipun belum ada hukum yang mengatur tentang keberadaan detektif swasta, tidak ada hukum apapun juga yang menyatakan izin operasi bagi mereka. Apa kau berharap kepolisian meminta bantuan pada pihak yang tidak jelas keresmiannya?" Bintang mengerutkan keningnya. Bintang adalah sosok yang teguh pendirian dan bekerja dengan sebagian kebanggaan sebagai polisi. Dia tidak ingin merendah ke pihak yang bahkan tidak setara. Di sisi lain, Yogi yang bekerja dengan kebanggaan penuh sebagai polisi malah tertarik dan ekor imajinernya terangkat seperti anjing pudel.
"Memangnya kenapa? Bukankah tugas ini bahkan tidak resmi?"
Ruangan hening. "Tidak resmi" adalah titik sensitif dalam tim ini, dan Dani mengatakannya tanpa rasa malu. Pria jangkung dengan wajah setengah bule itu sebenarnya kelepasan. Dia tidak berniat sama sekali untuk menyinggung siapapun. Tapi karena sudah diucapkan, dia hanya berpikir untuk meluruskan kesalahpahaman. Pria sejati tidak menarik kata-katanya.
"Maksudku adalah tidak pernah benar-benar ada peraturan yang menyatakan kalau kita tidak boleh melakukan transaksi informasi-imbalan dengan agen swasta atau bahkan penjahat. Hal semacam itu masih diperbolehkan jika memang dilakukan untuk kepentingan penyelesaian kasus, 'kan?"
"Hm, benar juga. Aku akan coba cari satu malam ini."
Dani mengangguk-angguk. "Ya, ya. Itu bagus."
Tiga orang polisi tanpa seragam keluar dari ruang kerja. Dani masih punya sesuatu untuk diurus dan harus lembur. Mereka berpisah di depan pintu gedung utama. Saat hendak keluar, seorang polisi bagian administrasi menghentikan Bintang.
"Pak Bintang, tolong, aduh... aku sakit perut. Tolong tangani meja dulu, ya." Polisi itu menarik Bintang ke meja penerimaan keluhan sambil membungkuk memegangi perutnya.
Di depan meja, seorang pemuda duduk dengan kepala menunduk. Pemuda itu masih menggunakan seragam SMA dan menggendong tas hitam. Bintang berdehem dan duduk di kursi seberang.
"Jadi... ada yang bisa saya bantu?" Ini bukan pertama kalinya Bintang menggantikan seseorang di meja keluhan. Tapi terakhir kali sudah cukup lama dan sekarang dia jadi agak kaku.
"Itu... temanku membawa pergi motorku." Pemuda itu mengangkat kepalanya. Ada beberapa luka lebam di wajahnya. Bahkam sudut bibirnya berdarah. Seragamnya yang lusuh dan kotor menampilkan betapa kurusnya pemuda ini.
"Oke, siapa namamu, Nak?" Bintang menunjukkan wajah prihatin sembari mencoba mempertahankan ekspresi ramah.
"Namaku Tara. Tara Adi Saputra."
"Sekolah?"
"SMA Negeri 1 Tegal."
"Alamat rumah?" Bintang terus bertanya mengenai identitas Tara, pemuda di depannya. Tara menjawab tanpa gelagat was-was dan mata berkaca-kaca.
Langit sudah gelap dan seorang anak SMA belum pulang ke rumah, mendatangi kantor polisi dan melapor kalau motornya telah dibawa kabur oleh temannya. Sangat aneh, pikir Bintang.
"Bisa Tara jelaskan bagaimana kronologi kejadiannya?"
"Bisa. Tapi Bapak jangan marah, ya," ucap Tara mengerucutkan bibirnya.
"Ya, Bapak tidak akan marah, kok." Bintang tersenyum. Senyumnya dibalas dengan senyuman juga oleh Tara. Bahu pemuda itu lebih rileks sekarang.
"Jadi aku dan temanku Rifan sedang bermain di sebuah warung. Kami biasa datang ke warung itu sepulang sekolah. Hampir setiap hari, terutama kalau tidak ada pekerjaan rumah. Kami biasanya hanya berdua atau berlima dengan teman satu kelas. Tapi hari ini Rifan mengajak anak sekolah lain untuk bergabung dalam obrolan. Saat aku sibuk mengobrol, Rifan pamit ke kamar kecil tapi tidak pernah kembali. Jadi aku pulang saat hari mulai gelap dan kehilangan motorku. Rifan juga bawa motor tapi motornya juga sudah tidak ada.
"Aku mencari motorku cukup lama sampai matahari tenggelam, namun hasilnya nihil. Aku menyerah dan memutuskan untuk pulang dengan bus. Di tengah jalanaku melihat Rifan dan seorang temannya dari sekolah lain tengah mengobrol di pinggir jalan. Mereka menduduki motorku. Jadi aku langsung turun dan menghampiri mereka. Lalu kami terlibat perkelahian kecil. Anggap saja aku kalah dan mereka kabur dengan motorku."
Bintang mendengarkan dengan penuh perhatian. Sekolah Tara dan Rifan adalah salah satu dari sekolah-sekolah terbaik di Kota Tegal. Harusnya melaporkan Rifan ke sekolah atau mendatangi rumahnya sudah cukup. Bintang merasa perlu untuk mengatakan ini.
"Kenapa tidak mendatangi rumahnya dan mengatakan yang sebenarnya pada orang tua Rifan? Kamu juga bisa melaporkan hal ini ke BK. Sekolah pasti akan membantumu." Tara menunduk lagi dan wajahnya murung.
"Aku tidak mau orang tuaku tahu."
"Kalau lapor polisi bukankah tidak hanya orang tuamu yang tahu tapi juga semua orang."
"Tapi aku yakin polisi bisa menjaga rahasia!" Tara berdiri dari kursinya. "Bapak ini Pak Bintang yang itu, 'kan? Kata orang Bapak akan selalu membantu setiap orang yang membutuhkan bantuan. Tidak pedulia siapa mereka."
Bintang mengerutkan keningnya dan bertanya dalam hati, Siapa orang kurang kerjaan yang menyebarkan hal ini?
"Tentu saja aku akan membantu. Aku akan mengampaikan laporanmu pada bagian Curanmor."
"Apa? Bapak tidak akan menangani kasus ini?"
"Tidak. Tara tahu kalau di polisi ada divis-divisi, bukan? Laporanmu adalah penrcurian motor. Jadi divisi curanmor lah yang akan menangani--"
"Tidak mau! Aku mau Pak Bintang yang menanganinya!" Tara berteriak. Bintang, seperti biasa tidak merespon dengan cepat. Dia mengolah informasi yang baru dia dapat dan berusaha menguyah kata-katanya agar tidak merugikan siapapun.
"Tapi--"
"Tidak mau! Aku sudah menceritakan semuanya pada Pak Bintang. Siapa yang bisa jamin kalau Pak Bintang atau yang lain bisa menjaga rahasia? Aku tidak mau kalau ada orang lain yang mengetahui hal ini!" Tepat saat Tara menyelesaikan kalimatnya, polisi administrasi yang sesungguhnya datang.
"Ada apa ini?" tanya polisi itu saat sampai di meja keluhan. Tara terdiam dan mengencangkan tasnya.
"Aku pulang." Tara langsung berlari keluar.
"Hei! Tunggu!" Bintang dan polisi administrasi itu berusaha mengejar Tara tapi mereka tertinggal jauh.
Di rumah, Bintang merasakan sepi lagi. Setelah mandi Bintang langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Dia teringat harus mencari seorang detektif swasta untuk membantunya. Bintang mencari daftar detektif swasta aktif di internet. Dua puluh menit kemudian, Bintang terpaku pada layar ponselnya. Di wilayah Kota Tegal, Aurora Borealis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top