Bab 4 Keadilan Adalah Ego
Sebuah map biru meluncur di permukaan meja. Yogi menangkap map tersebut dan membukanya.
"Kasus No. 336 : Data Diri Tersangka" ditulis dengan huruf balok tebal di bagian paling atas halaman satu. Lembar pertama, kedua, ketiga. Dalam beberapa menit Yogi selesai membaca semua isinya.
"Jadi orang bernama Andi ini menggunakan kolom iklan untuk membuat semacam pengumuman. Tapi isinya sangat blak-blakkan dan tidak sopan, menyinggung orang lain dengan sengaja. Kasus ini masuk pencemaran nama baik?" Yogi bertanya dengan agak ragu. Dilihat dari mana pun, hal ini biasa terjadi. Yang tidak wajar hanyalah publikasinya. Pengecualian untuk iklan pemberitahuan yang terakhir memang sangat mengarah pada pencemaran nama baik.
"Ya. Bagaimana menurutmu? Apa yang harus kita lakukan?" Iris cokelat gelap menatap Yogi dengan tenang. Tak ada nada mendesak di suaranya. Ekspresi Bintang pun seperti biasa, seolah kasus yang tengah dibahas bukan urusannya.
"Menurutku yang salah adalah pihak korannya. Dalam menerbitkan iklan, tiap perusahaan media cetak pasti punya syarat dan bagian editing. Jika ada tulisan yang tidak layak terbit seperti ini, harusnya pihak koran tidak mempublikasikannya. Pasti ada sesuatu di sana."
"Hm. Kau benar," jawab Bintang sembarang.
Bintang menatap kosong ke arah meja. Dia tidak terlihat sedang memikirkan sesuatu atau mendengarkan penilaian Yogi. Jiwa muda Yogi tersinggung karena tidak diperhatikan.
Keadaan hening sementara sebelum Bintang tiba-tiba bersuara, "Kau tahu, pendapatmu benar. Tapi menurutku prioritas bersalah jatuh pada penulis iklan. Jika orang ini tidak membuat iklan semacam itu, bukankah masalah ini tidak akan pernah terjadi?"
Benar! Yogi berteriak dalam hati. Matanya berkilau meski ada sedikit rasa kesal dan lelah karena ternyata pemikirannya kurang tepat di mata Bintang. Bukannya Yogi membenci Bintang atau apa, dia hanya mengutuk diri sendiri yang tidak bisa menyesuaikan jalan pikirannya.
"Kalau begitu, kita akan menemui orangnya?"
"Ya. Tentu saja. Mari." Bintang bangun dan memakai jaket kulitnya.
"Sekarang?!" Yogi mendongak terkejut.
Bintang memandang miring ke bawah, memikirkan kesalahan dalam kata-katanya sampai Yogi terkejut. Tapi dia tidak menemukan kesalahan apapun dan bertanya, "Apa kau ada kepentingan lain?"
"T-tidak, sih. Aku kira kita perlu melakukan beberapa prosedur dulu sebelum pergi."
"Seperti?"
"Seperti meneliti data yang sudah didapat. Memperkirakan modus pelaku, mendaftar korban, menemukan kesamaan dari kasus-kasus yang sudah terjadi, dan semacamnya." Yogi menjelaskan sambil mengangkat kedua tangan. Sudah banyak film aksi-polisi yang ia tonton sejak kecil. Dan dia benar-benar mendambakan peran polisi yang mengungkap misteri terjadi padanya.
Bintang menatap Yogi dengan datar. Yogi Irwan, dua puluh dua tahun. Suasana hatinya bisa berubah dengan sangat cepat.
"Mm... tidak. Kita tidak akan melakukan itu." Yogi murung. Dia seperti seekor anjing kecil dengan telinga dan ekor yang layu.
"Kenapa?"
"Pertama, tidak ada data yang perlu diteliti. Kedua, modus pelaku sangat jelas. Ketiga, tidak ada korban. Keempat, satu-satunya hal yang sama dari kasus-kasus sebelumnya adalah si pengirim iklan. Dan kita sudah tahu siapa orangnya. Jadi yang perlu kita lakukan sekarang adalah mendatangi orang itu lalu memberinya teguran." Bintang dengan sabar menjelaskan pada polisi baru di depannya.
Respon Yogi tak begitu jelas. Dia hanya mengangguk dan mulai merapikan seragamnya. Sambil mengikuti Bintang, Yogi memikirkan banyak hal. Sebelumnya Yogi sudah melihat tiga buah potongan koran yang isinya adalah iklan baris dengan kata-kata pedas. Melihat bagaimana Bintang menanggapi ketiga iklan ini, mustahil timbul kasus pencemaran nama baik padanya. Yang jadi masalah sekarang adalah pencemaran nama baik itu pada akhirnya jatuh pada instansi Polres Tegal Kota. Dan korban tidak mungkin melaporkan pada pihak berwenang, karena korbanlah pihak berwenang yang dimaksud. Pada akhirnya nama Bintang menjadi dalih penyelesaian kasus ini.
Kasus nomor 336. Ada nomornya? Bukankah tidak ada surat tugas resmi? Kenapa? Yogi, yang daya pikirnya lambat karena masih baru akhirnya membulatkan nyali untuk bertanya.
Bintang memasuki kursi kemudi sigra hitamnya. Yogi masuk di kursi penumpang depan. Saat kunci baru saja diputar, Yogi mengeluarkan suaranya.
"Umm... Pak Bintang. Boleh kutanya sesuatu?"
[Baca kelanjutannya di Dreame dengan judul North Commands]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top