Bab 3 Mengagumi Polisi
"Saya ingin meminta Bripda Yogi untuk bergabung dengan tim penyelidikan saya."
Polisi berkumis tebal itu terdiam. Senyumnya membeku di udara. Tentu saja, sekalipun Budi dan Bintang berbeda departemen, kabar burung selalu mencapai lebih dari yang kita kira. Semua orang sudah mendengar tentang nasib buruk yang menimpa Bintang.
Budi si kumis tebal terbatuk dua kali. Dia merendahkan suaranya saat berkata, "Begini, Nak. Bukan berarti aku tidak ingin membantumu atau semacamnya. Tapi... Briptu Yogi ini masih sangat muda. Dia masih sangat baru dan belum tahu apa-apa. Bukankah akan lebih baik jika kau mengajak orang lain?"
"Lalu bagaimana dengan Anda, Pak? Apa Anda akan membantu saya? Atau akan membiarkan Briptu Yogi sendiri yang memutuskan?"
Si kumis tebal kembali dibungkam dengan cara yang memalukan. Budi menolak tawaran Bintang yang mengajak Yogi bergabung bukan karena dia peduli atau apapun. Dia hanya memikirkan reputasinya sebagai kepala bagian penanganan anak baru. Dia sedang mencari tugas dasar untuk Yogi. Kalau Yogi menjalankan suatu kasus maka dia tidak bisa menangani kasus lain. Itu berarti kelulusan Yogi sebagai anak baru tertunda. Dan tentu saja akan memengaruhi namanya.
Di sisi lain, Budi juga tidak ingin mengambil risiko dengan mengorbankan dirinya sendiri. Budi terbatuk lagi.
"Ekhem... Yogi! Kemarilah!"
"Ya!"
Suara berat namun masih sedikit nyaring terdengar. Sepasang pupil cokelat gelap itu bersinar. Senyuman besar mengembang memenuhi wajah yang baru matang. Aura masa muda menyelimuti sekujur tubuhnya. Jelas itu adalah aura yang berbeda dari milik Dani. Yogi, pemuda dua puluh dua tahun yang sangat stylish dengan cepat menuju sumber suara saat namanya dipanggil.
"Ya, Pak?"
"Ini seniormu, IPTU Bintang." Budi memperkenalkan Bintang dan Yogi. Keduanya saling menyapa singkat dan bersalaman. "Karena kamu sedang masa vakum dan bisa dibilang setengah menganggur, senior ini mengajakmu bergabung dalam timnya. Tapi karena satu dan dua alasan menyelesaikan kasus ini tidak termasuk menyelesaikan tugas dasar."
"Tapi aku jamin kau akan mendapat pengalaman yang bagus," tambah Bintang dengan cepat. Binar di mata Yogi semakin cerah.
"Aku mau!" Tanpa pikir panjang, Yogi segera menyetujui tawaran Bintang.
"Bagus! Kau bersamaku sekarang." Bintang menepuk bahu Yogi, dan ditanggapi dengan anggukkan penuh semangat.
Yogi diminta membereskan barang-barangnya dari ruang yang ia gunakan saat masih menjadi kandidat. Dia mengemas segalanya dalam satu tas slempang. Ruangan sempit itu kini benar-benar kosong. Tadinya, karena Yogi belum mendapat tugas dasar dia menjadi satu-satunya penghuni ruangan itu. Dan sekarang waktunya Yogi juga meninggalkan ruangan itu. Udara yang pengap dihirup dalam-dalam, lalu dilepaskan perlahan.
"Selamat tinggal. Terima kasih atas segalanya dalam beberapa hari terakhir." Yogi mengucapkan selamat tinggal pada ruangan itu. Lalu kakinya melangkah keluar dengan perasaan bangga dan nostalgia.
Di waktu yang sama, Bintang meminta izin kepala kepala bagian perlengkapan untuk menggunakan ruang kerja. Ruang kerja adalah sebuah ruangan yang diperuntukan bagi sebuah tim penyelidikan untuk rapat, mengolah data, dan apapun yang berhubungan dengan penyelesaian kasus. Tanpa surat tugas, meminjam satu ruang kerja saja sangat sulit. Untungnya kepala bagian perlengkapan ini merupakan salah satu senior yang dekat dengan Bintang, dan memiliki semacam bentuk penghormatan padanya meski dia lebih tua di keanggotaan.
Bintang mendapat ruang kerja nomor dua puluh satu. Potongan-potongan koran dan beberapa barang lainnya ia kemas dari mejanya menuju ruang kerja. Kebetulan dia berpapasan dengan Yogi di jalan dan mereka pada akhirnya beriringan menuju ruang kerja.
Yogi terkagum-kagum saat memasuki ruang kerja. Sebenarnya tidak ada hal spesial di sana. Hanya sebuah meja panjanh, beberapa kursi, proyektor, dan tambahan dispenser panas. Tidak ada jendela sama sekali. Hanya sederet ventilasi dan pintu kayu jati. Cat dinding berwarna putih bersih menambah kesan kosong dan luas. Meski bisa dibilang sederhana, atmosfer yang menguar dari setiap sudut ruangan begitu dingin dan serius. Yogi bahkan bisa melihat pemandangan sekelompok orang yang tengah membahas hal penting. Seperti yang ditampilkan di film-film. Jadi dia teringat sesuatu dan bertanya, "Mana yang lain? Apa mereka belum sampai?"
"Mereka? Mereka siapa?" Bintang merapikan setumpuk kertas dan barang-barangnya di atas meja, tidak menoleh pada Yogi sama sekali.
"Mereka... ya, teman satu tim kita."
Gerakan tangan Bintang berhenti sejenak, sebelum kembali sibuk. Bintang menjawab dengan acuh tak acuh.
"Tidak ada. Hanya kita berdua. Apa aku belum menyebutkannya tadi?"
BRUK...
Tas Yogi jatuh dari genggaman tangannya yang mengendur. Hanya ada dua orang. Hanya dia dan seniornya, Bintang. Ini di luar nalarnya sebagai anak baru yang rela mengorbankan nilai ujian bagus hanya untuk bergabung dengan kepolisian, idolanya selama ini. Yogi, tentu saja tidak bisa menerima kenyataan pahit ini.
Yogi Irwan, hanyalah seorang pelajar SD kelas empat biasa saat itu. Yogi hidup di keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Meski begitu, Yogi sangat hemat dan pilih-pilih soal pertemanan. Plus, dia tergolong seorang penyendiri yang memiliki hobi aneh di usianya. Yogi senang mengutak-atik alat elektronik. Dia juga belajar otodidak mengenai komputer. Sangat tidak wajar di tengah masyarakat yang biasa bergelut dengan produk jadi sebagai konsumen.
Orang tua Yogi sering melarangnya melakukan sesuatu pada alat elektronik, karena khawatir anak laki-laki mereka akan terluka. Hal ini membuat perkembangan Yogi sedikit terhambat. Karena tidak diizinkan bermain alat-alat elektronik oleh orang tuanya, Yogi biasa melakukannya diam-diam atau di luar rumah.
Suatu hari, Yogi menemukan sebuah rumah kosong yang masih tersambung dengan listrik dari tiang listrik terdekat. Yogi dapat tahu masih ada aliran listrik di rumah itu, hanya saja pusat pengendalinya dilepas. Rumah kosong itu jaraknya beberapa blok dari rumahnya. Tidak terlalu jauh ataupun terlalu dekat. Setiap pulang sekolah, Yogi akan mampir ke rumah tersebut dengan sebuah radio bekas yang ia minta dari seorang pengepul tua di kompleksnya.
Terkadang Yogi akan mengambil beberapa peralatan seperti obeng dan test pen dari gudang secara sembunyi-sembunyi untuk membongkar radio. Lalu dia akan menyisakan uang sakunya untuk membeli beberapa kabel dan sakelar kecil untuk menyambungkan listrik yang tersisa di dinding rumah kosong itu.
Beberapa hari berlalu dengan usaha Yogi yang sia-sia. Namun pada hari ke dua puluh tiga, Yogi berhasil mengalirkan listrik ke radio dan benda ajaib itu mengeluarkan suara. Yogi sangat senang sampai dia bahkan tidak ingin memindahkan radio itu untuk diamankan. Yogi membiarkan radio itu tetap terhubung dengan listrik. Dia hanya menyembunyikannya di bawah tumpukan daun kering, lalu pulang dengan kepuasan.
Malamnya, hujan deras mengguyur bumi. Yogi yang baru saja menghabiskan makan malamnya kembali ke kamar dengan mood yang bagus. Sebelum membuka pintu kamar, lampu di rumahnya mati. Seluruh kompleks mengalami pemadaman listrik serentak. Yogi dan orang tuanya berpikir kalau pemadaman ini terjadi karena hujan terlalu deras. Besok, Yogi ada ulangan harian. Dia tidak kembali ke rumah kosong untuk berurusan dengan radionya karena terlalu lelah. Yogi tidak terlalu jauh dari rumahnya saat matanya menangkap bayangan sebuah mobil putih dengan corak biru dan sedikit merah. Tulisan "polisi" terpampang jelas di kaca belakang mobil.
Yogi panik. Dia segera berlari ke arah rumahnya untuk melihat kedua orang tuanya membungkuk-bungkuk minta maaf. Saat Yogi melewati pagar, ekspresi orang tuanya berubah drastis. Yang tadinya menyesal menjadi marah.
Yogi kecil mendeteksi adanya bahaya. Secara naluriah Yogi ingin kabur tapi orang tuanya memintanya mendekat. Tidak ada pilihan lain. Yogi akhirnya mendekat ke sisi orang tuanya.
"Yogi, cepat minta maaf!" Ibunya menarik lengan Yogi, membuatnya menghadap dua polisi dengan ekspresi galak. Yogi menunduk. Matanya mulai panas dan berair. Yogi tidak tahu apa kesalahannya. Tapi dadanya sesak karena rasa bersalah.
Semangat Yogi menurun. Jari-jarinya saling mengait di bawah. "Maaf."
Yogi merasa di ujung tanduk. Matanya benar-benar akan banjir sebentar lagi. Tiba-tiba sebuah tangan yang besar dan kasar hinggap di puncak kepalanya. Tangan kapalan itu mengacak-acak rambut Yogi, lalu turun ke kedua bahunya.
"Anak baik. Kamu sangat berbakat dalam kelistrikan. Masa depanmu benar-benar cerah! Bapak bisa melihatnya bahkan dari sekarang." Salah satu polisi itu berjongkok, menyamakan tingginya dengan Yogi yang pendek. Suaranya sangat lembut. Saat Yogi mengangkat wajahnya, dia menemukan ekspresi yang hangat dan senyuman. "Tapi Yogi... kamu masih terlalu kecil buat mikirin gimana elektron mengalir di kawat kabel. Kamu bisa mainan baterai dan lampu, tapi tidak dengan listrik yang ada di rumah. Jangan diulangi lagi, ya. Tapi juga jangan menyerah. Bapak yakin kamu bisa mebuat keajaiban saat dewasa. Semangat!"
Air mata Yogi jatuh. Meski dua polisi itu sudah mengimbau orang tuanya agar tidak menghukumnya, malam harinya Yogi tetap harus menghadap dinding dan merenungkan kesalahan. Ayahnya bahkan tidak berhenti mengeluh dan mengutuk. Sementara ibunya menangis sambil sesekali memeluknya, namun juga marah.
Pemadaman listrik malam sebelumnya, itu ulah Yogi. Radio dengan kabel terbuka yang dia tinggalkan kemarin terkena hujan. Rumah kosong itu mengalami korsleting listrik. Ada kebakaran kecil di rumah tersebut. Tapi karena jarak rumah Yogi dan rumah kosong itu lumayan jauh, jadi keluarganya tidak tahu tentang berita besar itu. Yogi, di usia dini benar-benar membuat keributan.
Sejak saat itu, orang tuanya mengawasi setiap tindakan dengan cermat. Yogi sedikit trauma dan tidak berani bermain dengan listrik lagi. Alhasil, minatnya berubah. Dia jadi sangat mengagumi polisi, dan bercita-cita menjadi bagian dari mereka. Yogi selalu menlnton film dan meniru gaya polisi. Dia punya ekspektasi tinggi terhadap polisi sejak kecil. Jadi, saat kenyataan menghantamnya dengan keras dia agak tidak bisa menerimanya.
"Kenapa?" Nada suara Yogi penuh keputusasaan dan ketidakpercayaan. Bintang agak bingung, kemudian menyadari kalau dia belum mengatakan apapun tentang hambatan tentang anggota tim ini.
"Oh, jadi begini. Kita akan menangani kasus pencemaran nama baik. Tapi Pak Bayu tidak menurunkan surat tugas. Ini hanya perintah. Jadi intinya adalah tidak ada surat tugas, tidak ada tim. Apa kau ingin mengundurkan diri?" Tidak ada nada ancaman atau apapun dalam kata-kata Bintang. Dia hanya tidak ingin membuat orang lain merasa tidak nyaman karena dirinya.
Yogi berusaha mencerna informasi yang Bintang berikan. Dia kecewa. Tapi tetap menahan perasaannya. Pak Budi sudah mengatakan hal ini sebelumnya tapi dia tidak begitu memperhatikan. Alasan Yogi tidak memperhatikan adalah kalimat yang Bintang sebutkan setelahnya.
"Tapi aku akan mendapat pengalaman yang bagus, 'kan?" Yogi menatap Bintang dengan hati-hati. Sebaliknya, Bintang menanggapi dengan senyuman.
"Aku jamin."
Semangat Yogi kembali. Dia mengambil tas di lantai dan mulai mebantu Bintang membereskan meja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top