Bab 28 Catatan Tukang Nyicil
Hari itu, saat Bintang, Yogi, dan Aurora mendatangi bengkel terbengkalai di sisi lain Simpang Lima, mereka menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memeriksa rekaman CCTV. Tidak hanya itu, mereka juga mencari tahu siapa dan apa saja kepentingan orang-orang yang menginap di waktu yang sama dengan Andi.
Tidak ada orang lain yang mencurigakan. Jadi mereka mulai memeriksa pegawai dan manajer hotel. Para pegawai, khususnya koki dan bagian dapur bersaksi kalau sering ada orang yang mabuk lewat gang di belakang hotel. Mereka tidak bisa mengingat orang seperti apa itu Andi dan siapa yang ditemuinya.
Rekaman hanya menampakkan Andi yang sudah mabuk dan dilanjutkan mengonsumsi narkoba. Mungkin karena efek panas dari minuman keras dan narkoba, Andi mulai melucuti bajunya sendiri, berikut jam tangannya. Karena posisinya di dekat tempat sampah, Andi langsung membuang jam tangannya ke dalam tempat sampah itu dan menyeret jasnya ke jalanan. Sementara narkoba itu, Andi mengambilnya dari bagian selipan tutup tempat sampah. Entah siapa yang telah dengan sengaja menempelkannya di situ. Tidak terekam sama sekali. Atau lebih tepatnya rekaman tidak bisa ditemukan.
Sekarang Bintang menemukan petunjuk lain yang mengarah pada Simpang Lima. Dia tidak menyangka tempat seperti ini akan menjadi poin utama dalam kasusnya. Tadinya Bintang berpikir kalau menanyakan satu atau dua hal pada pemilik toko elektronik Setia Media Utama sudah cukup. Tapi sekarang dia harus kembali dan menanyakan beberapa hal.
Sebelumnya Bintang sudah menanyai pembeli atas nama Andi. Pemilik toko malah memarahinya dan mengira Bintang sedang mengolok-oloknya.
"Kau pikir aku ini dewa ingatan, apa? Jangan mentang-mentang masih muda kemudian menanyakan hal konyol semacam itu. Apa kau pikir penting bagiku untuk menanyakan dan mengingat setiap pembeli yang mampir, hah?!"
Itulah yang pria paruh baya itu ucapkan. Memang, Bintang merasa agak bodoh akhir-akhir ini. Dia menanyakan hal yang sama pada penjaga warnet sebelumnya. Dan mengulangi kesalahan itu pada pemilik toko elektronik. Di mana kecerdasan anak ajaib yang disanjung-sanjung semua orang?
"Apa kau bertemu dengan wanita itu tadi, Pak?" Yogi juga seorang polisi. Dia diwajibkan memiliki ingatan jangka panjang terhadap detail kecil, termasuk plat nomor dan merek serta jenis mobil yanh berpotensi menjadi barang bukti. Dan Yogi mengingat detail mobil Andi yang hilang dengan jelas.
Mobil itu dikendarai oleh wanita resepsionis dan seorang pria.
"Ya. Dia baru saja membeli emas di sana." Bintang menunjuk sebuah toko emas di seberang jalan. "Mari kita tanyakan pada pemilik toko ini tentang mereka."
Yogi sudah membuka mulutnya, tapi tak ada kata yang keluar. Dia tentu saja tidak mau atasannya direndahkan dan dimaki di depan umum oleh orang biasa. Tapi rasanya sulit untuk meyakinkan Bintang. Jadi Yogi hanya mengerutkan kening dan pasrah.
"Permisi."
Pemilik toko menaruh sebuah kardus besar di lantai saat mendengar seseorang datang. Biasanya dia akan memasang tampang ramah dan arif saat seorang pelanggan datang, tapi kali ini justru wajah marah dan muak yang muncul.
"Kau lagi? Apa yang kau inginkan, hah?" Nada bicara pemilik toko itu sangat kasar. Untungnya Bintang sudah biasa diperlakukan seperti itu, bahkan lebih buruk. Jadi kecaman kecil semacam ini sama sekali tidak ada apa-apanya.
"Kami ingin menanyakan sesuatu."
"Lagi? Apa kau tidak bosan, bah? Kau datang dan memintaku menjawab semua pertanyaanmu. Bahkan jika kau adalah pejabat negara, aku akan mengusir orang yang hanya mengambil keuntungan dari orang lain sepertimu. Pergi, pergi. Jangan menghalangi pelangganku dengan berdiam seperti patung di pintu masuk."
Siapa yang... apa? bisik Bintang dalam hati. Kepalanya terlalu pusing untuk menghiraukan kata-kata lawan bicaranya. Tapi setidaknya Bintang menangkap poin pentingnya.
Bosan. Mengambil keuntungan. Dari pelanggan.
Hm, orang yang aneh, pikir Bintang sekali lagi.
"Kalau Bapak mau bekerja sama, saya akan membeli beberapa mouse pad."
Kerutan di wajah pemilik toko semakin banyak.
"Dan dua mouse bluetooth."
"Hmm...." Pemilik toko mengelus jenggot putih panjangnya.
"Uang tunai tanpa diskon."
"Setuju. Apa yang kalian ingin tanyakan?" Ujung bibir Bintang berkedut. Dia bersyukur tidak perlu membeli paket komputer beserta CPU-nya untuk membuka mulut pemilik toko tua itu.
"Apa kau pernah melayani seorang pria berusia sekitar 24 tahun, memiliki tinggi 178 cm, tidak terlalu kurus dan tidak gemuk, pakaiannya rapi, gaya rambutnya miring ke kanan, memiliki lesung pipit di pipi kiri--"
"Tunggu sebentar! Apa kau gila? Kenapa tidak mengatakan ciri-ciri orang dengan benar? Membuatku kesal saja." Pemilik toko menepuk pakaiannya karena kesal.
Sejujurnya, Bintang sangat serung merasa kesal karena kesaksian yang menjelaskan ciri-ciri seseorang dengan tidak benar. Tidak rinci dan terlalu umum. Dan sekarang dia dikatai tidak mengatakan ciri-ciri orang dengan benar karena terlalu mendetail? Mulai sekarang Bintang akan mempercayai keberadaan karma sepanjang hidupnya.
Seseorang bernama karma di suatu tempat pasti sedang bersin.
"Hm, dia seharusnya adalah pria muda yang energik." Bintang mengunyah kata-katanya, memilah mana yang harus dikatakan."Seorang pekerja di PT. Bentang Buana. Putra Dirga Dwi Sana, namanya."
Pemilik toko membelai kumisnya, lalu turun ke janggut sambil terus bergumam. "Seperti tidak asing, hm. Akan kuperiksa di buku daftar para tukang nyicil."
Sementara pemilik toko berbalik mencari buku, Aurora dan Yogi masih tercengang. Bagaimana Bintang tahu nama pria itu? Dari mana Bintang mengetahui kalau pria itu adalah pekerja di PT. Bentang Buana?
Aurora tidak bisa menahan rasa penasarannya dan bertanya. Sebelum menjawab pertanyaan Aurora, Bintang menirukan gaya pemilik toko yang mengelus janggutnya.
"Hm... mungkin, bisa dibilang aku ini sebenarnya memiliki indera keenam?" Aurora menggelengkan kepalanya, sementara Yogi mengangguk-angguk. Bintang tergelitik melihat reaksi dua orang di depannya dan berhenti dengan leluconnya. "Yaah, berterima kasih lah pada kemampuanku yang luar biasa ini. Aku mendengar pembayaran emas atas nama pria itu dan menduga kalau dia juga bekerja di PT. Bentang Buana. Kemungkinan besar bagian sales marketing."
"Bagaimana bisa?"
"Mudah. Aku hanya perlu memperhatikan hal yang dimiliki oleh setiap pekerja di PT. Bentang Buana."
"Apa itu... seragam?" tebak Yogi.
"Tidak. Dia bekerja, bukan sekolah."
Aurora dan Yogi berpikir, sementara Bintang mengangkat kepalanya dengan bangga.
"Hal yang dimiliki oleh setiap pekerja harus menunjukkan identitas perusahaan dan departemennya. Apa itu kartu nama?"
"Bukan."
"Sepatu?"
"Tidak."
"Gaya rambut?"
"Sama sekali bukan."
Sesi tebak-tebakkan belum berakhir, tapi pemilik toko sudah selesai dengan urusannya. Pemilik toko membalik beberapa halaman buku hardcover miliknya. Sebuah kacamata berlensa silindris tebal bertengger di pangkal hidungnya yang rendah.
"Ini dia. Putra Dirga Dwi Sana. Iya, iya. Dia melakukan transaksi tukar-tambah sebuah laptop merek terbaru. Masih dalam masa angsuran. Apa ini cukup?" Pemilik toko menyerahkan buku catatan itu pada Bintang untuk dilihat. Setelah melihatnya, Bintang memberikan buku pada Yogi dan Aurora untuk dianalisis.
"Apa Bapak ingat hari di mana dia datang? Atau seperti apa reka adegan transaksi?"
"Kau lihat buku itu setebal apa? Apa kau sudah membaca berapa banyak yang sudah mengangsur setelah orang itu? Mana mungkin aku ingat!"
Para manula memiliki kesabaran yang menipis seiring bertambahnya usia. Bintang yakin akan hal itu. Saat dilakukan investigasi seperti ini, ada beberapa tipe tanggapan yang diberikan orang. Salah satu yang paling umum adalah marah. Baik orang tersebut bersalah maupun tidak, tidak ada pengecualian. Hanya saja kapasitas amarah yang keluar menghasilkan aura yang sedikit berbeda.
"Kalau begitu untuk saat ini itu saja. Terima kasih banyak atas bantuannya." Bintang mengembalikan buku catatan itu pada pemiliknya.
Tidak lupa dengan janjinya, Bintang akhirnya menggenggam kantung plastik besar berisi lima buah mouse pad, dua mouse bluetooth, dan sebuah ponsel baru.
Trotoar sangat ramai dan panas. Bintang, Yogi, dan Aurora menunggu taksi online dengan sabar.
Hari masih panjang. Yogi diam-diam penasaran apa lagi yang akan mereka lakukan. "Apa kita akan ke PT. Bentang Buana, Pak?"
"Hm. Kita kembali ke polres dulu."
Yogi mengangguk. Tapi dia masih merasa kurang nyaman dengan teka-teki Bintang sebelumnya. "Jadi sebenarnya yang dimiliki oleh setiap pekerja itu... apa?"
"Jawabannya sangat mudah. Hal yang dimiliki oleh setiap pekerja dan pasti sama adalah kebiasaan. Bagaimana menurutmu aku bisa menebak kalau dia bekerja di departemen sales marketing?"
Genggeman Yogi terhadap kantung apel mengencang. "Karena itu adalah sebuah kebiasaan, maka kebiasaan yang harusnya sama pada setiap pekerja departemen sales marketing adalah... cara bicaranya?"
"Tepat sekali! Dia memiliki mulut manis seorang sales."
"Tapi dia bisa jadi sales di perusahaan mana pun."
"Ingat, kebiasaan. Kau sudah datang ke kantor cabang Bentang Buana. Kebiasaan apa yang dilakukan oleh pekerja di sana? Perhatikan detailnya." Sementara Bintang terus membuat Yogi berputar-putar, Aurora tertawa di samping.
Wajah Yogi memburuk karena berpikir kerasa. Dia berusaha mengingat semua yang telah dia lihat di kantor sibuk itu. Sibuk. Oh!
Saat mendatangi PT. Bentang Buana, Yogi ingat sebuah adegan di mana seorang asistan manager departemen mengumukan waktu rapat terus-menerus. Saat waktu diumumkan tiap beberapa menit sekali, para karyawan akan bekerja semakin cepat dan tidak bisa menolak dorongan untuk melihat ke jam secara berkala.
Seketika Yogi merasa tercerahkan. "Apakah itu tentang disiplin waktu?"
"Yap. Aku tidak tahu kalau kau sangat pintar." Bintang mengangkat satu alisnya, meragukan Yogi. "Beberapa pekerjaan menuntut disiplin waktu dengan sangat ketat. Tapi kebanyakan aturan itu hanya akan membuat karyawan stres dan tidak suka, atau malah membenci sistem itu. Sehingga lama kelamaan mereka akan memutuskan untuk berhenti peduli dan melanggar aturan.
"Tapi aku punya dugaan kalau PT. Bentang Buana memiliki cara khusus untuk menanamkan pemahaman tentang betapa pentingnya waktu. Hal ini akan membentuk kebiasaan para karyawannya untuk terus mengecek jam dan memastikan mereka tepat waktu. Lalu wanita itu, kebanyakan dari perempuan akan merasa kesal kalau kekasihnya melihat jam lagi dan lagi saat berkencan. Tapi wanita itu tidak keberatan dan malah membantu kekasihnya melihat jam sesekali. Ini sangat aneh, sejujurnya. Mereka pasti telah memiliki hubungan cukup lama sambil bekerja di tempat yang sama sepanjang waktu."
Tatapan kekaguman muncul di mata Yogi sekali lagi. Aurora tidak pernah melepas pandangannya dari jalan beraspal yang penuh sesak, sampai sebuah mobil Avanza silver mendekat.
"Itu mobilnya. Ayo." Aurora mengajak Bintang dan Yogi memasuki mobil. Mengatakan tujuan mereka, Aurora teringat kalau jarak dari Simpang Lima ke Polres Tegal Kota sama sekali tidak bisa disebut dekat. "Oh, ya. Bagaimana caramu sampai ke sini?"
Bintang mengeluarkan ponselnya, lalu memperlihatkan sebuah aplikasi pesan taksi dan ojek online yang berwarna hijau.
"Belajar dari ahlinya." Aurora merasa geli dan tertawa. Bintang juga merasa kalau ini agak lucu dan ikut tertawa.
"Pak Bintang juga membeli ponsel. Untuk apa? Bukankah kau hanya menjanjikan mouse pad dan mouse bluetooth?" Yogi juga tertarik untuk bergabung dalam percakapan. Di matanya, Bintang ini selalu melakukan hal spontan yang tak masuk akal.
"Anggap saja bonus untuk pemilik toko itu. Kalau kita butuh untuk menanyakan sesuatu, kita bisa melakukannya tanpa rasa sungkan."
"Oh, kukira Pak Bintang yang terakhir kali memintaku makan mie instan saja agar bisa berhemat." Sekarang giliran Yogi yang menggoda Bintang. Tiba-tiba Bintang teringat hari di mana dia makan mie instan dengan Yogi. Bukankah itu karena dia terlalu malas untuk pergi ke kantin?
"Kau masih muda. Masa depanmu masih panjanh. Orang 'tua' sepertiku tidak perlu berhemat."
"Eeh, jadi akhirnya kau mengaku kalau kau sudah tua, hm?" Aurora seperti menumpahkan minyak ke dalam api, menyudutkan Bintang dengan kejam.
"Oke, oke. Aku mengakui kalau aku sudah tua. Puas?"
Suasana di dalam mobil menjadi hangat. Obrolan demi obrolan kecil menemani sepanjang jalan sampai ke tujuan. Mereka tertawa tanpa beban, sama sekali tidak menyadari nasib malang yang sudah menanti di depan mata.
Dani, melebarkan punggungnya di pantry. Dia menghalangi pandangan orang-orang yang lewat dari sebuah piring yang penuh. Setelah melihat hasil karyanya, Dani terkekeh dengan mengerikan.
"Hehehe...."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top