Bab 22 Sidik Jari
Udara di dalam ruang kerja masih terasa panas akibat keributan sebelumnya. Di sekitar meja tinggal tiga orang tersisa. Yogi masih berusaha menambah energi dengan tumpukan makanan ringan yang Dani bawa sebelumnya. Aurora membaca data yang tersedia dan Bintang hanya duduk melamun.
Aurora meletakkan kertasnya. "Apa data yang kuberikan sebelumnya berguna?"
"Ya, itu sangat berguna." Bintang menjawab tanpa mengangkat kepalanya.
"Sungguh? Kau tidak terlihat mengatakannya dengan benar."
Kali ini Bintang menatap Aurora untuk menjawab, "Sungguh. Kau hanya bertanya tentang informasi, bukan? Sejujurnya itu sangat membantu. Barang-barang di rumah Andi terbakar habis dan mobilnya entah ke mana. Di kamera CCTV warnet itu kaus yang Andi pakai terlihat baru. Warnanya sangat cerah. Alur pencarian kita akan semakin mudah. Kita hanya perlu memperhatikan mobil dan motor serupa dengan yang orang itu miliki. Setelan jas yang mengkilap, dan kaus-kaus baru. Itu sangat membantu."
Bintang mengatakan banyak hal tapi sosoknya seolah tak ada di sana. Di sisinya, Aurora memandangnya dengan tatapan aneh.
"Apa maksudmu? Hanya informasi? Apa barang bukti yang kubawa tidak berguna?" Mata bulat Aurora menyipit saat visinya fokus pada Bintang.
Ditatap seperti itu, Bintang menanamkan ekspresi "ada apa denganmu" setengah hati.
"Kau bilang kau tahu segalanya."
Satu kalimat sudah cukup untuk menyadarkan Aurora. Sebelumnya Aurora mengatakan kalau dia tahu segalanya. Secara langsung "tahu segalanya" berarti masalah paling utama dalam kasus ini, kekurangan sumber daya protagonis.
Pembicaraan terputus. Ruangan pengap itu hanya diisi oleh suara renyahnya keripik kentang yang mulai habis dimakan Yogi. Sebagai yang paling muda, Yogi begitu enggan untuk masuk di antara Bintang dan Aurora. Perdebatan sebelumnya sudah cukup membuatnya trauma.
Kelopak mata Aurora sayu. Dia sudah mengeluarkan begitu banyak kata-kata manis. Sangat memalukan kalau dia tidak membuktikan kata-kata itu secepatnya. Jadi Aurora berpikir keras, membuka mulutnya tanpa bersuara beberapa kali, lalu mengokohkan apa yang ingin ia sampaikan.
"Aku tahu cara menggunakan alat pendeteksi sidik jari. Kalau orang-orang itu tidak mau membantu, maka mungkin bukan masalah kalau kita meminjam beberapa alat?"
Di saat-saat kelam ini, Bintang seolah memunculkan sebuah lampu pijar besar di atas kepalanya. Dia langsung memberi tatapan takjub pada Aurora.
"Benar. Sebelumnya aku meminta garis polisi dan mereka memberikannya. Hanya saja aku tidak jadi memakainya untuk mengurangi perhatian masyarakat. Meminjam barang lain mungkin tidak apa-apa. Kalau begitu, kami akan pergi dulu."
Bintang bangun dari kursinya dan bersiap pergi. Aurora, sebagai orang luar selain Dani, cukup sadar akan posisinya. Jadi dia hanya mengangguk pelan dan menunggu dengan patuh. Sementara itu Yogi menolak keras kata "kami" pada kalimat Bintang. Sangat jelas kalau "kami" berarti Bintang dan dirinya. Dia tidak mau bertemu orang-orang sombong itu!
Tapi takdir memang kejam. Semakin kau menolak, semakin kau dekat padanya. Itulah takdir!
Tubuh Yogi diseret Bintang ke ambang pintu. Penolakan secara fisik tidak berguna. Dia sangat lemah di hadapan seorang senior yang telah berpengalam dalam berbagai macam gulat dengan penjahat. Apalagi perlawanan dengan mulut. Sama sekali tidak berguna.
Pada akhirnya Yogi mengaku kalah. Dia tidak mau diseret sejanjang jalan dengan mulut penuh remah, seperti anak SD yang sangat keras kepala terhadap uang jajan.
Menunggu selama tiga puluh menit tidak membuat Aurora menganggur sampai bosan. Dia mengambil inisiatif untuk meneliti data-data sementara yang sudah terkumpul, berusaha menarik garis keterikatan antara satu petunjuk dengan petunjuk lainnya.
Bintang dan Yogi pergi ke rumah Andi dua kali. Mendatangi kantor koran dan tempat Andi bekerja. Memeriksa rekaman CCTV di mana-mana, bahkan mengecek rekam penerbangan juga. Dan hebatnya, semua yang telah dua orang itu lakukan seolah sia-sia. Mereka menghabiskan waktu begitu banyak untuk kembali dengan tangan kosong.
Andai saja Bintang melibatkan Aurora sejak awal, mungkin kasus ini akan berkembang dengan cepat. Tim ini tidak butuh bantuan divisi lain. Satu-satunya yang mereka butuhkan adalah Aurora. Kenapa teman SMA-nya begitu keras kepala?
Aurora terkikik pelan saat memikirkan betapa bodohnya dia. Memuji diri sendiri. Apa gunanya?
Seperti yang Dani katakan, untuk mengancam seorang aparat kepolisian seseorang harus memiliki keberanian besar dan persiapan matang. Bukan tidak mungkin oelaku bergerak dalam kelompok. Untuk saat ini, Bintang sudah mendaftar beberapa orang yang diduga terlibat.
Pertama, seorang rekan kerja wanita Andi, Mitha. Berdasarkan data yang ada pada kertas, Mitha adalah seorang akuntan senior di perusahaan Andi sebelumnya. Hubungan keduanya cukup baik sebagai kolega. Tapi sepertinya Mitha berharap lebih terhadap hubungan itu. Mengingat kalau istri dan anak Andi sudah meninggal, wajar bagi wanita lain untuk mendekati Andi. Di kertas itu, sayangnya, ditulis kalau Mitha terlihat sangat sedih saat diberi tahu tentang Andi yang hilang. Perasaannya setidaknya telah ada sejak lama, atau dia adalah aktris yang buruk. Rekan kerja takkan begitu peduli seperti itu.
Yang kedua, Gunawan. Kepala bagian iklan di koran Harian Rakyat Tegal. Gunawan, jelas-jelas tahu kalau iklan tersebut melanggar undang-undang tapi dia tetap membuat tulisan Andi lolos terbit. Dalihnya adalah kolom iklan tersebut kini milik konsumen yang telah membayar. Dan ada sebuah perjanjian tertulis dengan materai di mana penulis, yaitu Andi sendiri bertanggung jawab penuh atas konten iklannya. Iklan telah terbit lebih dari sekali. Bintang tidak meminta pemberhentian penerbitan iklan dan Gunawan tidak mengajukannya, padahal dia tahu kalau Bintang dan Yogi adalah polisi.
Ketiga, seorang wanita tua bernama Sunirah. Sunirah ini adalah pemilik rumah kontrakan Andi. Wajar bagi pemilik kontrakan untuk begitu sulit diajak negosiasi perihal orang asing yang ingin masuk ke rumah tanpa izin. Dan Aurora tidak tahu kenapa Sunirah masuk daftar tersangka terlibat. Sedangkan alasan di balik Sunirah sebagai tersangka hanya sebatas begitu sulit mendapat izin untuk masuk.
Hanya ada tiga orang tersangka terlibat untuk saat ini. Sebagai orang yang "tahu segalanya", Aurora mengerti kenapa data diri tersangka terlibat begitu formal.
Tak ada yang mau membantu, tak ada tim, tak ada kewajiban intel. Bintang ingin mengawasi tiga orang ini dengan ketat, serta aktifitas di empat tempat yang diduga memiliki jejak Andi. Rumah Andi, perusahaan, kantor koran, dan warnet. Sayangnya dia tidak bisa.
Tim ini terlalu tidak teorganisir.
Pintu ruang kerja dibuka. Bintang membawa sebuah kotak hitam seukuran dua lengan orang dewasa dan Yogi mengikutinya dengan ekspresi muram.
"Apa yang terjadi?" tanya Aurora setengah berbisik.
"Hanya pertengkaran kecil. Bukan masalah. Jadi bagaimana cara menggunakannya?"
Aurora mengambil kotak hitam itu dan mengambil sebuah persegi panjang yang lebih kecil. Beberapa bagian Aurora buka dan geser dengan perlahan, sebelum sebuah cahay keluar dari persegi panjang yang mirip telepon rumah itu.
"Apa itu?" Wajah Yogi membaik. Sekarang wajahnya penuh dengan rasa penasaran.
"Fingerprint scanner. Ini jauh lebih canggih dari yang kubayangkan," jawab Aurora singkat.
"Lebih canggih dari yang kau bayangkan? Lalu bagaimana caramu menghidupkan benda ini?" Bintang yang selalu teliti mulai membuat ulah.
"Melampaui ekspektasi bukan berarti belum pernah ada. Aku pikir kalian akan berhemat dengan beberapa alat yang lebih murah."
Tak satu pun dari dua polisi di ruang itu yang menyangkal. Memang, beberapa perlengkapan mereka sedikit terlihat murahan.
"Jadi apa yang akan kau lakukan dengan itu?"
"Bawa ke sini barang bukti yang kubawakan hari itu."
Bintang menatap langsung ke mata Yogi, dan pria muda itu mengerti. Sebuah lemari kecil di sudut ruangam Yogi buka. Dia mengambil sebuah koper kecil dan menaruhnya di meja. Koper itu dibuka, Aurora mengambil dua bungkus kecil.
Sarung tangan lateks baru Aurora pakai dan dia mengeluarkan pecahan botol minuma keras. Tangan lainnya yang bebas memegang gagang persegi hitam.
"Menemukan pemilik satu sidik jari bisa memakan waktu berjam-jam. Untuk menghemat waktu, apa ada benda lain yang ingin kalian periksa?"
"Apa tumpukan sidik jari bisa dideteksi?"
Aurora tersenyum pahit. Bintang segera paham dan menundukkan kepala. Orang yang paling muda, Yogi juga tetap bisa mengikuti alur pembicaraan hemat kata-kata ini. Dia ingat kalau kali kedua mereka mengunjungi rumah Andi, Bintang pernah bertanya apa dia memegang kenop saat membuka pintu. Setelah reka adegan itu diulang beberapa kali dalam otaknya, Yogi ingin menyampaikan sesuatu namun dia masih agak ragu.
"Pak, saat di rumah tersangka Anda masuk dengan menggenggam kenop pintu. Tapi saat keluar, pintu di tutup dari luar."
Itu dia! seru Bintang dalam hati.
"Anak pintar!" puji Bintang pada Yogi. "Tidak ada saksi mata terhadap pembakaran isi rumah. Kenop pintu bagian dalam seharusnya bisa memberi kita petunjuk lain."
Lampu biru yang memancar dari gagang hitam itu redup. Aurora mengemasi barang-barang di atas meja dengan cepat. "Kalau begitu, ayo."
Lagi-lagi ketiga orang itu memesan taksi online untuk sampai ke tujuan. Untungnya jalanan tidak macet. Jadi mereka bisa sampai dalam waktu kurang dari tiga puluh menit.
Karena sebelumnya pernah masuk, Bintang berdalih pada pemilik kontrakan kalau ada barangnya yang tertinggal. Kunci rumah diberikan dan alat scan mulai bekerja pada kenop pintu bagian dalam.
"Dapat."
Satu sidik jari berhasil didapat. Dalam perjalanan pulang, Aurora menatap layar kecil di kotak hitam itu terus menerus. Sampai di kantor polres, Aurora melanjutkan scanning pada pecahan botol minuman keras dan jam tangan milik Andi.
"Oke, kita hanya perlu menunggu. Sementara aku mengawasi alat ini kalian lakukanlah apapun yang kalian inginkan," ucap Aurora.
"Sungguh?" Yogi yang paling antusias bertanya balik. Aurora mengangguk ringan dan tanggapan Yogi berlebihan. "Yes! Yes! Aku mau mencari tempat untuk tidur."
Setelah mengatakan apa yang perlu dikatakan, Yogi langsung kabur. Lalu di ruangan itu hanya tinggal Aurora dan Bintang.
"Kau terlalu memanjakan orang," keluh Bintang.
"Apa? Tidak. Kalau kau mau istirahat juga tidak apa-apa. Lagi pula memanjakan sesekali bukanlah hal yang salah. Kau harus lebih banyak berinteraksi dengan anak kecil, Pak Bintang." Aurora memakai nada mengejek di akhir kalimat.
"Aku punya satu adik laki-laki," jawab Bintang ketus.
Aurora memasang ekspresi terkejut yang berlebihan. "Oh, benarkah?"
"Lupakan. Aku akan mencari udara segar."
Bintang keluar dari ruangan. Sejujurnya, Aurora tak benar-benar berharap kalau Bintang akan pergi.
Mengitari taman beberapa kali, Bintang berjalan tanpa tujuan. Saat sedang berjalan di atas palang bambu yang disangga di bagian paling depan dan paling belakang, Bintang melihat seorang polisi senior yang membawakannya surat waktu itu. Bintang segera turun dan menghampirinya.
"Aku mau tanya, apa kau ingat bagaimana wajah pengirim surat waktu itu?" tanys Bintang sambil berjalan di sampingnya.
"Aku tidak melihatnys, apa lagi ingat. Dia memakai masker dan helm. Hanya mengatakan kalau ada surat untukmu. Aku tidak memperhatikannya dan dia sudah pergi begitu aku kembali ke pos jaga," balas polisi itu, berusaha membuat Bintang percaya dan berhenti bertanya.
"Apa kau yakin? Lalu bagaimana ciri-ciri tubuhnya? Apa dia tinggi atau tidak?"
"Aku benar-benar tidak tahu. Jangan tanya aku terus."
"Tapi hanya kau yang melihat orang itu mengantar surat. Aku tidak punya pilihan lain."
Sambil berjalan, Bintang terus mendesak polisi itu. Dia tidak segan menjadi penguntit selama seharian.
Di ruang kerja, scanning selesai. Pemindai sidik jadi dilakukan berdasarkan e-KTP. Siapapun yang sudah mendaftarkan e-KTP maka profilnya akan keluar saat sidik jari selesai discan. Kenop pintu dan jam tangan menunjukkan satu sidik jari yang sama. Nama Andi Rudi terpampang jelas di layar. Pada botol minuman keras itu, sidik jari Andi juga ditemukan di sana. Tapi sidik jari itu tidak menjadi satu-satunya. Ada satu lagi sidik jari di sana.
Tangan Aurora bergerak cepat. Sesaat kemudian pofil tambahan itu sudah hilang dari layar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top