Bab 21 Bersikap Profesional

Periode sibuk di kantor kepolisian belum datang, tapi aura menyeramkan keluar melalui celah pintu ruang kerja nomor 21. Di balik daun pintu yang tertutup rapat, Bintang duduk dengan kepala terkulai ke belakang, punggungnya pasrah di sandaran. Sementara Yogi meletakkan sebagian tubuhnya di atas meja. Keduanya merasa lelah sampai asap keluar lewat ubun-ubun mereka.

Semalam adalah malam yang sangat panjang. Tak satu pun dari mereka pulang ke rumah. Setiap detik didedikasikan untuk meneliti perilaku mencurigakan Andi yang tertangkap kamera CCTV tiga minggu terakhir.

Ruangan itu sangat sunyi. Hanya suara detak jarum jam dan napas dua orang yang kelelahan. Di suasana khidmat ini, tiba-tiba pintu dibuka dengan keras. Suara yang familier dan sembrono menyusul setelahnya.

"Selamat pagi, semuanya! Apa kabar kalian? Aku yakin kalian baik, tapi tak pernah sebaik diriku. Hahaha...!"

Dani si orang luar masuk tanpa izin dan memulai keributan. Kepala Bintang berdenyut kesakitan. Dengan sudah payah Bintang mengangkat tubuhnya dan duduk dengan benar. Di sisi lain Yogi tidak bergerak sama sekali.

"Kenapa kau ke sini?" tanya Bintang sambil menopang kepalanya di meja.

"Aku membawa oleh-oleh. Lihat!" Dani mengangkat sekantung plastik putih penuh makanan ringan. "Kalian baik-baik saja?"

"Entahlah. Bagaimana menurutmu?"

"Tidak baik. Yogi, apa kau suka keripik kentang rasa lumput laut dengan ekstra keju?" Satu per satu makanan ringan dikeluarkan dari kantung plastik.

"Hmrngh...." jawab Yogi tidak jelas. Hanya satu ibu jari yang ia angkat sebagai jawaban tambahan.

"Oke." Dani memindahkan beberapa makanan dan membuka satu. Dia melihat Bintang mengambil dua cangkir air putih melalui ekor matanya. Lalu visinya berpindah ke atas meja, memandang sayu dua laptop yang masih menyala. Apa yang sebenarnya kalian lakukan semalaman?"

"Meneliti... mencari... menelusuri... melihat rekaman CCTV di beberapa tempat."

Bintang kembali dengan dua cangkir air. Satu cangkir ia geser ke hadapan Dani. Bintang mengguncang tubuh Yogi dan membantunya duduk. Cangkir air lainnya ia serahkan pada pemuda malang dengan mata panda.

"Apa yang kau temukan?" Sebungkus keripik kentang rasa rumput laut dengan ekstra keju Dani serahkan ke Bintang, lalu ke Yogi secara bergantian. Bintang menggeleng pelan saat keripik kentang dengan bungkus eksentrik itu sampai padanya.

"Tidak ada. Kami mengikuti jejak Andi dari sebuah warnet di dekat XX Mall. Dia berjalan cukup jauh, menelusuri jalan menuju rumahnya. Belum ada setengah jalan tapi sosoknya hilang. Jarak antar dua kamera CCTV cukup jauh dan mungkin dia menghilang dengan memanfaatkan jarak tersebut."

Setelah menyegarkan tenggorokkan, Yogi tidak bersemangat sama sekali. Dia hanya merasa sangat sedikit tersegarkan. Hanya sangat sedikit. Keripik kentang sampai padanya dan dia langsung merebut satu bungkus. Dani merasa lucu dengan tingkah frustasi Yogi dan membiarkan orang muda itu melakukan apa yang dia inginkan.

Satu lagi bungkus keripik dibuka. Sementara tangannya sibuk memasukkan satu per satu keripik kentang BBQ, Dani bergumam dengan tidak jelas. Ketukan ringan terdengar dari pintu yang tertutup. Seorang polisi senior menyembulkan kepalanya dari balik pintu dan mulai menyampaikan pesan.

"Pak Bintang, ada seseorang yang mencarimu."

"Baik. Aku akan ke sana."

Pangkal hidung Bintang sakit. Dia menggunakan dua jari untuk memijat sebentar. Bintang merapikan pakaiannya sebentar dan berjalan keluar.

"Mau ke mana?" tanya Dani dengan mulut penuh.

"Menemui tamu."

"Tidak ke kamar mandi dulu? Kau harus bercermin sebelum menerima tamu."

Rasanya Bintang langsung mengingat kalau dia baru saja bangun. Jadi dia langsung mengerti kalau tidak hanya pakaian yang harus rapi. "Terima kasih."

Di ruang tunggu, Aurora memandang tas kecil di pangkuannya. Sepuluh menit berlalu dan waktu itu lebih dari cukup untuk menajamkan telinga terhadap gosip-gosip. Dan Aurora tidak lengah sedetik pun.

Beberapa menit tambahan kemudian Bintang datang dengan wajah rapi.

"Aurora?" Aurora yang merasa namanya dipanggil segera bangun dari duduk. "Ada apa? Kenapa ke sini?"

Aurora memberi Bintang senyuman tipis. Dia mengatakan dengan samar tujuannya dan Bintang segera membawanya ke ruang kerja. Dua orang di dalam ruang kerja tidak siap dengan kehadiran seorang wanita di sana. Dengan tergesa-gesa Dani dan Yogi membereskan meja dan menampilan masing-masing.

"Aku ke belakang sebentar." Yogi segera melarikan diri untuk merapikan penampilan. Sementara Dani memberi senyuman berarti pada Aurora.

"Jangan hiraukan dia. Hanya orang gila yang lewat." Bintang menarik satu kursi dan mempersilakan Aurora duduk. Kursi yang Bintang serahkan pada Aurora berseberangan dengan Dani, dan sangat terlihat kalau Bintang berusaha menjauhkan Aurora dari Dani.

"Jadi, nona ini teman yang sering Bintang ceritakan, ya. Lebih cantik di aslinya." Dani bertopang dagu menghadap Aurora.

"Jangan percaya. Aku tidak pernah mengatakan omong kosong apapun padanya." Satu lagi cangkir Bintang isi dengan air dan memberikannya pada Aurora. "Apa yang membuatmu ke sini?"

"Tidak ada. Aku hanya ingin berkunjung." Bintang menyipitkan matanya menatap Aurora. Bahkan jika dia tidak pernah menjadi teman yang baik, kepribadian Aurora yang tegas tidak pernah diragukan oleh siapapun.

"Haah... aku yakin kau tidak mau jadi orang tidak berguna seperti dia." Bintang menunjuk Dani dengan dagunya.

"Hei!" Dani mencoba membela diri.

"Katakan saja. Orang ini di pihak kita."

Aurora tersenyum. "Sungguh, aku hanya ingin berkunjung. Dan aku punya beberapa permintaan."

"Apa itu?"

"Izinkan aku bergabung dengan timmu."

Pintu terbuka tepat saat Aurora selesai bicara. Semua orang mendengar dengan jelas apa yang Aurora katakan, kecuali Yogi. Tapi semuanya diam dan Yogi merasa kalau timingnya sangat buruk.

"Tidak," jawab Bintang dengan tegas.

"Kenapa?" Aurora mengeluarkan nada keluhan.

"Karena kau bukan bagian dari kasus ini sejak awal."

"Bagaimana mungkin bukan bagian dari kasus sejak awal? Aku terkait dengan kasus ini dan kau yang paling tahu dengan jelas."

"Tetap tidak."

"Aku akan bergabung."

"Tidak bisa."

Sementara Aurora dan Bintang berdebat, Yogi mengendap-endap duduk di sebelah Dani.

"Apa yang terjadi?" Yogi berbisik. Ekspresi Dani juga tidak begitu baik mengamati perdebatan di depannya.

"Nona ini, siapa kau bilang namanya dulu?" Dani juga berbisik pada Yogi.

"Nona Aurora."

"Ya, dia ingin nergabung dengan tim kalian."

"Apa?! Kenapa?"

"Mana aku tahu." 

Bisik-bisik antara Yogi dan Dani berakhir tanpa mengganggu perdebatan sama sekali.

"Tidak ya tidak."

"Aku tetap akan bergabung."

"Tidak bisa bagaimanapun caranya. Aku yang memimpin di sini."

"Maka dari itu aku mengatakan padamu aku akan bergabung."

"Tidak."

Dani melihat perdebatan semakin buruk dan mencoba menyela percakapan.

"Hei, hei, hei. Tunggu sebentar. Tidak perlu menghabiskan begitu banyak tenaga untuk berdebat. Mari kita selesaikan dengan damai. Nona Aurora, benar? Kenapa Nona sangat ingin bergabung dengan tim penyelidikan ini?"

"Karena saya ingin melakukannya. Saya pernah ikut membantu meberikan informasi dan saya ingin mengikuti perkembangan kasus hingga akhir." Aurora sadar kalau alasannya tidak masuk akal. Tapi sekarang tak ada satu pun ide yang muncul.

"Ekhem, maaf sebelumnya tapi... itu hanya masalah ego. Begitu penting?"

"Ya." Aurora menjawab dengan mantap.

"Jadi... aku minta maaf lagi tapi kualifikasi apa yang ada pada Nona untuk memenuhi standar kami?"

"Saya pernah belajar forensik."

"Itu tidak cukup." Bintang menggantikan Dani menjawab. Lalu perdebatan kembali di antara Aurora dan Bintang.

"Aku seorang detektif swasta."

"Tidak menambah poin sama sekali."

"Aku telah menyelesaikan banyak kasus."

"Tidak masalah. Semua orang bisa menyelesaikan kasus kehidupan sehari-hari."

"Kasus yang kutangani bukan hanya sekitar kehidupan sehari-hari. Aku berpengalaman!"

"Berapa banyak pun pengalamanmu atau betapa tinggi pun posisimu di masyarakat, kau masih hanyalah warga sipil yang tak tahu apa-apa!"

Aurora tidak langsung menjawab. Suasana hening sebentar. Jari-jari Aurora menggenggam tasnya sampai memutih. Kilatan marah melintas di matanya sebentar.

"Aku tahu. Aku tahu segalanya! Memangnya siapa yang menarikku ke dalam kasus ini duluan? Siapa yang meneleponku malam-malam hanya untuk meminta data dari seseorang. Bahkan tidak menyebutkan untuk apa kau memintanya. Dan sekarang masih mengatakan aku sebagai orang yang tak tahu apa-apa. Kau--"

"Woah, woah! Udara sangat panas." Dani segera mengambil tindakan menghentikan amarah Aurora. Hatinya menangis meratapi kawannya yang sama sekali tak tahu cara menghadapi wanita. Mungkin itulah yang membuat Bintang lajang lagi hingga sekarang.

"Yogi, apa pintu sudah tertutup dengan benar?" Dani mengalihkan pembicaraan.

"Ya. Aku sudah menutupnya dengan benar."

"Bagus! Nona Aurora, bukan maksud kami untuk menolak kebaikanmu. Tapi urusan ini benar-benar milik kepolisian."

"Aku tahu. Kalau kalian tidak begitu miskin akan sumber daya manusia, untuk apa aku ada di sini?" Aurora melepas keformalan tanpa sengaja. Dia tidak punya cukup ruang untuk mengendalikan apa yang keluar dari mulutnya.

Kata-kata Aurora menusuk ke titik paling rawan tim penyelidikan itu.

Dani mengerjap, lalu tertawa kering. "Hahaha... kau benar, Nona."

"Itu bukan urusanmu apakah kami kekurangan orang atau tidak." Bintang kembali angkat suara tanpa peringatan. Melihat sinyal merah ini, Dani segera mengeluarkan kata-kata lagi.

"Bukan masalah, bukan masalah. Ayolah, semua orang pasti memiliki simpati. Lagi pula kalian teman SMA. Kenapa harus berdebat begitu hebat tentang masalah sepele?"

Tidak satu pun dari Aurora maupun Bintang menanggapi. Malah, keduanya memalingkan muka satu sama lain. Dua orang lainnya merasakan kecanggungan luar biasa dan Dani mulai mengutuk dirinya sendiri karena terlalu banyak omong.

"Tidak ada hubungannya apakah kami teman atau tidak. Bekerja berarti bersikap profesional. Tidak ada jalan lain." Suara berat Bintang memecah keheningan.

Pelipis Dani gatal karena rasa sakit. Dani mengambil banyak udara ke rongga dadanya, lalu mengembuskan begitu banyak karbondioksida di saat berikutnya.

"Oke. Nona Aurora, aku ingin mendengar penjelasan yang sesungguhnya. Kenapa Nona sangat ingin bergabung dengan tim ini? Meski kelihatannya sepele, tidak ada yang benar-benar tahu risikonya. Pelaku jelas menargetkan seorang polisi. Untuk memiliki keberanian sebesar itu, tidak mungkin orang awam datang tanpa persiapan matang."

"Aku tahu. Itu sebabnya aku di sini. Aku akan membantu sebisaku. Koneksi dan uang bukan masalah. Bukankah meminta bantuan tim Labfor sangat sulit? Aku seorang pelajar forensik. Aku bisa membantu," jelas Aurora setengah memohon.

"Apa Nona tidak takut?"

"Tidak sama sekali. Jika aku takut, aku tidak akan pernah menjadi detektif swasta seperti sekarang. Atau bahkan belajar forensik. Untuk apa semua itu kalau aku hanyalah seorang penakut?"

Kepala Dani mengangguk-angguk. Keterampilan Aurora jelas sangat dibutuhkan. Wanita ini bahkan menawarkan diri secara suka rela. Apa lagi yang Bintang inginkan?

"Apa Nona membantu hanya karena kasihan?"

Sekali lagi, Aurora terdiam. Meski terlihat tenang, sebenarnya sel-sel otaknya sedang jungkir balik memikirkan alasan.

"Aku.... Aku sudah menjadi seorang detektif swasta cukup lama. Bukan semata-mata karena aku tidak bisa menemukan pekerjaan lain. Ini memang hanya ego, tapi ini penting bagiku. Sebelumnya, kasus-kasus yang aku tangani tidak begitu serius. Sekarang, saat aku punya kesempatan untuk menguji kemampuanku di lapangan... aku tidak mau melewatkannya begitu saja.

Kalau tim ini hanya berisikan orang-orang yang asing, mungkin aku akan menyerah. Tapi aku punya koneksi sekarang. Dan... dan bantuanku pasti akan sangat berguna. Tolong, terima aku."

Kebohongan putih. Sebagian yang Aurora katakan jelas adalah nyata tapi sebagian lainnya hanyalah bualan. Meskipun Aurora adalah seorang detektif swasta, dia tidak bisa menyembunyikan semua detail kecil dari Dani.

Secara harfiah Dani tahu mana yang kebohongan dan mana yang kejujuran. Dia hanya tidak mau peduli. Aurora ini teman SMA Bintang. Apa yang para penjahat harapkan dari teman yang setia?

Kalaupun pada akhirnya Aurora berkhianat, itu tidak akan sangat terlambat. Dani akan bertanggung jawab dan menghentikannya.

Bagi Dani, pertunjukan ini sangat menarik. Seorang kolega yang membantu tanpa pamrih. Drama yang luar biasa!

Dani menarik napas dan mengumumkan keputusannya.

"Sudah kuputuskan! Mulai sekarang, Aurora adalah bagian dari ruang kerja nomor 21! Hahaha!"

"Apa maksudmu? Kita tidak bisa membuat orang luar bergabung." Bintang berdiri dan merasakan lonjakkan hasrat membekap mulut Dani.

"Orang luar apa? Lihat! Dia rekan kerja kita mulai sekarang!"

Aurora senang. Begitu juga Yogi. Apa lagi Dani. Bintang menatap Dani dengan tatapan yang seolah berkata "kau hama!"

Tatapan keras Bintang terasa jelas. Dani segera mencari alasan untuk kabur dari ruang kerja.

"Oh, hari ini aku harus menginvestigasi lokasi. Aku pergi dulu. Sampai jumpa!"

Ruang kerja itu akhirnya sedikit tenang. Hanya tinggal tiga orang yang tersisa.

Meski sebelumnya sangat menentang, pada akhirnya Bintang tetap menerima kehadiran Aurora dengan baik. Tidak ada yang berubah dengan sikapnya sama sekali. Seolah perdebatan hebat tadi tidak pernah terjadi sama sekali.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top