Bab 19 Warnet

Langit masih mendung ketika matahari memanjat dari ufuk timur. Di hari yang dingin ini, begitu sulit bagi sebagian besar orang untuk bangun. Alhasil jalanan dipenuhi suara-suara keluhan mengantuk.

Hal serupa sebenarnya terjadi di bagian paling dalam Polres Tegal Kota. Polisi juga manusia. Tidak pedulia bagaimana pendapat siapapun, hal itu mutlak. Para polisi tidak bisa terus bekerja keras melayani masyarakat tanpa keluhan sedikit pun.

Anehnya, di tengah suasana kusut ini Aurora justru dengan semangat tinggi mendatangi kantor Polres Tegal Kota pagi-pagi sekali. Bintang dan Yogi sudah membuat janji untuk melakukan investigasi terhadap lokasi pengiriman email oleh Andi pagi ini. Menemukan seseorang mencari keduanya, Bintang dan Yogi mendapati seorang wanita sederhana dengan rambut panjang tergerai.

"Siapa yang kapan siapa katai keras kepala?" Bintang berusaha menyindir Aurora yang meneriakinya keras kepala di bus kemarin. Dia sengaja mengaburkan subjek, objek, dan waktunya. Dan tentu saja Yogi yang sangat polos tidak mengerti.

"Aku minta maaf. Lagi pula kemarin kau memang terlalu keras kepala." Aurora merasa sedikit geli mengingat bagaimana Bintang bertingkah kemarin.

Mendengar permintaan maaf Aurora, membuat Bintang tidak bisa tidak mengingat masa lalu. Saat Aurora disudutkan di depan umum dan meminta maaf dengan suara serak. Adrenalin Bintang bergejolak sejenak sebelum sadar kalau Yogi sedari tadi hanya diam seperti seekor anjing kecil yang penurut.

Sebenarnya Yogi tidak begitu asing dengan Aurora. Begitu juga sebaliknya. Tapi keduanya bertingkah dengan sopan dan pura-pura tidak pernah melihat satu sama lain.

"Aurora, ini Yogi. Yogi, ini Aurora temanku. Dia akan ikut dengan kita untuk penyelidikan." Bintang meperkenalkan Aurora dan Yogi, membuat mereka berdua bertukar salam dan sapa.

Yogi cukup cerdas untuk menyadari posisinya sekarang dan bertanya dengan ekspresi terkejut, "Apa? Kenapa? Bukankah kita tidak boleh membawa warga sipil dalam penyelidikan?"

Suara Yogi terlalu keras. Saat itu juga Bintang menutup mulut Yogi dengan tangan kapalannya.

"Ssst.... Jangan keras-keras! Aku tahu ini tidak boleh. Tapi di sini Aurora berperan sebagai nara sumber dan saksi. Anggap saja begitu."

Bintang melepaskan tangannya. Sebuah cincin emas bergerak mengikut tangan Bintang yang turun. Aurora memandang adegan ini dengan mata sayu.

"Tapi... apa boleh begitu?" Yogi memiliki akting yang bagus! Tapi dia terlalu banyak bicara. Bintang mulai berpikir akan mencari cara lain untuk mendisiplinkannya lain kali.

"Boleh, boleh. Aku bosnya di sini. Sudahlah, sebaiknya kita pergi sekarang."

Yogi hanya mengangguk-angguk sebagai balasan. Mobil Bintang sedang berada di bengkel. Yogi tidak ada mobil. Begitu juga Aurora. Menggunakan angkutan umum mungkin menjadi satu-satunya pilihan. Mungkin juga tidak. Aurora menawarkan diri untuk memesan taksi online dan berjanji bertemu di tempat terbuka yang agak jauh dari kantor polres.

Taksi datang dengan segera. Bintang duduk di kursi penumpang depan. Yogi dan Aurora di belakang.

"Ke XX Mall, Pak." Bintang mengarahkan supir taksi.

Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai di tujuan. Taksi berhenti tepat di depan mall. Hal ini mmebuat tiga orang yang turun merasa agak canggung karena tujuan mereka sebenarnya bukan tempat perbelanjaan itu.

"Kenapa tidak langsung ke warnetnya saja?" tanya Yogi.

"Kita harus menyembunyikan tujuan asli kita," jawab Bintang dengan acuh.

"Dari sini kita harus berjalan lima ratus meter. Supir taksi tidak akan tahu apa tujuan kita meskipun kita berhenti tepat di depan warnet. Banyak toko kecil di sekitar sana dan seharusnya baik-baik saja jika di kita berhenti sedikit lebih jauh." Aurora juga mengeluarkan pendapatnya.

Kali ini Bintang kalah. Dia benar-benar terpojokkan! Tapi Bintang tidak suka menampakkan sisi lemah yang telah dikalahkan miliknya. Jadi dia berdehem dan mulai mengatakan untuk bergegas.

"Ekhem... tidak apa-apa. Warnet akan buka sebentar lagi. Kita harus cepat. Anggap saja olahraga singkat untuk pagi ini. Cepat, cepat!" Bintang menggiring dua orang dewasa menjauh dari mall.

Tanpa rasa malu tiga orang dewasa mengabaikan pintu mall yang ramai, bergegas menjauh. Seorang pegawai yang menjaga pintu terdiam dan menggerutu saat Bintang dan yang agak jauh. Ini bukan yang pertama kali. Mungkin berhenti dengan kendaraan umum di depan suatu tempat tapi malah menuju tempat lain sedang trend untuk mengerjai dengan cara seperti ini.

Lima ratus meter jalan kaki tidak memakan waktu yang lama. Sebuah warnet dengan ukuran ruang yang cukup besar baru membuka satu pintu. Seorang pria dewasa terlihat tengah bolak-balik membereskan sampah di warnet.

Bintang dan dua orang lainnya mendekat.

"Permisi, apa ini Warnet YY?" tanya Bintang untuk mengonfirmasi.

Penjaga warnet yang sedang mengurusi pintu kedua berbalik. "Ya, itu benar. Ada apa?"

"Apa Anda seorang penjaga warnet atau pemilik?"

"Keduanya. Ada apa sebenarnya?" Penjaga warnet itu mulai curiga dan bersiap berteriak jika sesuatu terjadi. Meski masih sangat pagi jalanan di kota tidak pernah sepi. Berteriak sekuat tenaga sudah cukup untuk menarik perhatian.

"Kami ingin meminta bantuan. Bisa bicara di dalam?"

"Tidak. Tidak bisa. Hal apa yang tidak bisa dikatakan di luar dan harus di dalam?"

Bintang tahu ini akan terjadi. Dia bisa saja datang lebih siang dan berpura-pura sebagai pengunjung yang penasaran dengan bagaimana warnet bekerja. Tapi itu tidak akan efektif karena Bintang menginginkan penyelidikan yang detail. Jadi dia merogoh sakunya dan mulai mengeluarkan dompet berisi lencana polisinya.

"Ada sesuatu yang harus kami konfirmasi di sini. Bukan berarti usaha Anda melanggar hukum dan ini bukan pemeriksaan usaha. Kami hanya ingin melakukan beberapa hal. Boleh?" Secepat kilat Bintang membenamkan dompetnya dalam saku lagi.

Tidak seperti orang-orang biasa yang kemudian takut ketika didatangi polisi, penjaga warnet ini hanya memberikan ekspresi terganggu di wajahnya.

"Terserahlah. Kalian punya waktu dua puluh lima menit untuk melakukan apapun itu," balas penjaga warnet tak acuh.

Meski terlihat tidak peduli, sebenarnya penjaga warnet itu sangat waspada. Dia pernah mendengar kasus pencurian dengan modus seperti ini. Dengan sengaja dia tidak membuka seluruh pintu dan berjaga di ambang pintu pertama.

"Sebelumnya, apa kau pernah melihat orang ini?" Bintang mengeluarkan potret formal Andi. Penjaga warnet menyipitkan mata malasnya dan segera beralih pada Bintang.

Penjaga warnet memutar bola matanya, menganggap pertanyaan Bintang sangat konyol. "Bung, warnetku didatangi oleh lebih dari seratus orang tiap hari. Tidak sedikit yang hanya mampir lalu pergi, dan ada banyak yang sudah berlangganan. Apa kau benar-benar berharap aku mengingat wajah setiap pelanggan yang datang? Jika orang yang kau maksud benar-benar pernah datang ke sini, maka aku tidak ingat."

Dijawab dengan kasar, Bintang tidak tersiggung. Dia sudah biasa menghadapi tipikal orang seperti ini.

Setelah memasuki warnet, pandangan Bintang menyebar. Dia melihat tumpukan kabel di mana-mana dan dua buah kamera CCTV di bagian depan dan belakang warnet.

"Boleh kami memeriksa isinya?" Bintang menunjuk kamera CCTV. Penjaga warnet menghela napas dan berjalan mendekati komputer induk.

CPU dihidupkan dan monitor komputer menyala. Beberapa folder dibuka dan menyisakan tumpukan besar folder yang diurutkan berdasarkan tanggal.

Bintang menyebutkan empat tanggal satu hari sebelum masing-masing iklan terbit. Video rekaman diputar dari pukul 00.00 sampai hari berganti, dipercepat dengan percepatan paling cepat sehingga video dua puluh empat jam menjadi dua puluh lima menit.

Di saat-saat terakhir sebelum warnet ditutup sosok Andi memasuki warnet. Dia menghabiskan satu jam di bilik warnet lalu keluar. Hal ini terjadi selama empat hari yang Bintang sebutkan.

Video menunjukkan Andi mengenakan kaus oblong dan jelana kain serta sandal jepit. Kecuali celana dan sandal, kaus yang Andi gunakan berubah warna setiap kali dia datang. Bintang mengerutkan keningnya lalu meminta penjaga warnet memutar video rekaman CCTV di area parkir depan warnet. Empat hari itu, Andi hanya berjalan kaki sampai tidak terlihat.

Dalam empat hari itu, Andi memasuki bilik yang sama. Tatapan mata Bintang fokus pada bilik di sudut kiri ruangan. Dia segera mengambil inisiatif untuk meminta izin kepada penjaga warnet.

"Boleh kami melihat komputer sebelah sana?"

"Bilik yang pojok? Silakan. Aku akan menunggu di sini dan membuka warnet." Penjaga warnet itu masih tak acuh. Dia tadinya hanya memberi waktu orang-orang itu dua puluh lima menit. Siapa sangka dirinya akan tergoda untuk melihat bagaimana para polisi ini bekerja.

Bintang dan yang lain tidak keberatan dengan warnet yang dibuka. Lagi pula ini masih sangat pagi. Tidak banyak orang yang punya waktu menghabiskan waktu dan uang mereka berseluncur di komputer pinjaman. Paling hanya para remaja yang bolos sekolah.

Yogi, yang dianggap paling mampu menjalankan produk teknologi zaman sekarang dimandati untuk mengoperasikan komputer. Layar monitor menyala dan Yogi mulai meraba-raba jejak penelusuran. Dia juga melihat semua folder dan file di komputer. Semua hasil penelusuran dan file serta folder pengunjung masih utuh, kecuali milik Andi.

"Pasti sudah dibersihkan. Dia sangat teliti," ucap Yogi sambil mengempaskan punggungnya ke dinding.

"Andi hanya datang empat kali ke sini. Dia hanya berdiam sekitar satu jam, lalu pulang." Bintang tenggelam dalam pikirannya.

Di samping pintu bilik, Aurora memandang dua orang lainnya memegang dagu masing-masing.

"Bukankah kalian terlalu fokus pada perangkatnya? Meski sudah agak lama, setidaknya ada beberapa hal yang seharusnya tertinggal. Ayo kita coba bersihkan bilik ini dulu," saran Aurora.

Seketika dua pria dewasa di bilik itu menatap Aurora penuh arti. Sangat bodoh. Sangat memalukan. Dua orang polisi reserse lupa memeriksa TKP! Adegan konyol apa ini? Bintang dan Yogi mengutuk diri sendiri dalam hati.

Ketiganya segera keluar dari bilik. Saat Bintang akan masuk, Aurora menghentikannya.

"Tunggu! Apa kamu pernah membersihkan TKP sebelumnya?" tanya Aurora.

"Hm, tidak bisa dibilang pernah juga, sih. Tapi tenang saja. Aku sudah sering melihat tim lain bersih-bersih jadi aku bisa melakukan beberapa hal." Bintang menjawab dengan yakin.

Aurora menggeleng pelan.

"Tidak perlu. Biar aku membantu."

Dari tas selempang cokelat kecil, Aurora mengeluarkan sepasang sarung tangan lateks. Sarang tangan itu terbuka dan membiarkan tangan ramping Aurora mengisi rongga kosong di dalamnya.

"Tidak perlu. Aku bisa--"

"Bintang, aku mantan calon dokter forensik. Jangan memandangku rendah!"

Aurora mendengkus dan meletakkan kedua tangannya dipinggang, membungkam Bintang sepenuhnya. Bintang ingat kalau Aurora memang mengambil jurusan kedokteran setelah lulus SMA, lalu melanjutkan spesialisasi sebagai dokter forensik.

Apa-apaan dengan "mantan calon" itu? Bintang menghela napas. Aurora keluar dari kuliah sebelum dia menyeledaikan studinya sebagai calon dokter forensik.

Bintang dan Yogi hanya terdiam di luar bilik, menunggu Aurora selesai membersihkan TKP. Yogi merasa kalau suasana agak canggung saat beberapa orang mulai memilih bilik untuk diri mereka sendiri.

Tiba-tiba indera penciuman Yogi menangkap bau sedap yang pahit. Bau kopi hitam! Yogi memalingkan pandangannya ke luar warnet dan benar saja, seorang penjual kopi keliling tengah mampir di toko di sebelah warnet.

Yogi dengan jelas mengingat kalau seniornya suka kopi. Dengan ide cemerlang, Yogi menarik napas untuk menawari Bintang kopi. Namun usahanya sia-sia saat Aurora mengeluarkan suara setelah sekian lama.

"Ah, aku menemukan sesuatu!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top