Bab 17 Penunjuk Arah dan Teman Cahayanya 2
Kantin sangat ramai, tapi suara bocah laki-laki itu bahkan lebih keras. Empat orang yang duduk di sekitar meja berbentuk persegi menoleh cepat. Seorang siswa dengan tatapan tidak ramah menatap Aurora dengan tajam.
Merasa tak berdosa, Aurora menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan.
"Iya, kamu! Siapa lagi emangnya," bentak siswa itu sambil melotot.
"Ada apa, ya?" tanya Aurora dengan suara lirih.
"Denger, ya jangan mentang-mentang pinter terus kamu bisa ngelakuin apa aja sesukamu. Kamu pikir menyenangkan ya bisa menjelek-jelekkan orang lain?" Seisi kantin terdiam. Mereka lebih tertarik pada perkelahian di depan umum dari pada makanan yang sudah mereka bayar dengan uang saku tak seberapa.
BRAKK
Rena menampar meja dengan kesal. "Jaga mulutmu! Aurora enggak mungkin kaya gitu! Siapa yang udah dijelek-jelekkin Aurora? Mana orangnya? Lagi pula kamu enggak punya bukti yang nyata."
"Masih ngelak aja, ya. Kamu pikir aku di sini ngapain? Nontonin kalian cengengesan setelan menjatuhkan orang lain?"
"Ih, gila, ya. Ngomong apa, sih? Enggak jelas!" bentak Rena. Aurora yang masih tidak mengerti situasi hanya diam. Apa salahnya?
"Iya, kalo kalian cuma mau cari masalah mending langsung ke BK aja! Enggak usah bikin ribut di sini," timpal Lia.
"Oh, jadi kalian yang duduk di kelas unggulan ternyata punya sisi bodoh juga, ya." Siswa lain, dari kelas lain tertawa terbahak-bahak. Jelas mereka punya dendam kesumat pada kelas unggulan, terutama saat pemeringkatan diumumkan. "Kalian ke sini pake teleportasi, ya? Atau terbang, sih? Itu tulisan gede di sana, di mading kalian punya mata enggak, sih!?"
Aurora tersentak. Dia langsung bangun secara refleks. Teman-temannya mulai khawatir kalau Aurora terpengaruh ucapan cowok brengsek ini.
Tapi Aurora tidak. Dia hanya baru saja menyadari apa salahnya. Siswa di depannya, seorang cowok dengan fisik sempurna-- tinggi semampai, tampan, dan berotot sedang dari kelas 3-2, Bintang Utara.
"Aku minta maaf," bisiknya.
Semua orang kaget. Yang paling terguncang adalah Rena dan dua orang lainnya.
"Aurora, ini bukan salah kamu. Kamu enggak perlu minta maaf sama dia." Lia ingin membantu Aurora.
"Iya, hanya karena orang aneh ini tiba-tiba datang dan teriak-teriak, bukan berarti kamu beneran salah." Fei biasanya jadi yang paling rasional, tapi sekarang dia terbawa emosi.
Sementara itu, Rena tetap diam. Dia mengerutkan keningnya, berpikir. Mading sekolah. Baru saja ada yang berniat memulai gosip dan suasana mulai panas. Ingatan Rena tentang Bintang tidak kabur. Tapi itu adalah ingatan dua tahun yang lalu. Siapa yang akan memperhatikan bagaimana seorang anak laki-laki tumbuh menjadi pria sejati? Dia bukan kakak atau ibunya.
"Bukan salahnya? Lalu siapa yang salah? Kamu? Kamu? Kamu? Kalian semua!" Bintang pongah. Dia berbicara dengan nada sarkas yang tidak sopan. Jarinya yang tegang menunjuk Lia, Fei, dan Rena secara bergantian sebelum kedua tangannya merentang ke udara bebas.
"Kamu enggak sopan banget! Kenapa kamu enggak malu dilihat banyak orang berteriak di depan seorang gadis?" Lia sangat marah dengan tingkah Bintang.
"Aku? Malu? Persetan! Aku mau masalah ini selesai! Siapa yang peduli dia gadis atau bukan, sekali berbuat jahat maka dia adalah penjahat!"
Aurora semula hanya menunduk dan mendengarkan. Namun kepalanya segera terangkat saat dituduh berbuat jahat oleh Bintang.
"Apa perlu sampai begitu? Ini hanya masalah kecil! Bukan berarti aku benar-benar sengaja melakukannya atau apa." Aurora kembali angkat suara. Dia tidak terima dengan kata-kata Bintang. Teman-temannya juga sudah berusaha membantu. Kalau dia hanya diam dan mengaku kalah, itu akan berdampak buruk bagi mereka.
"Oh, jadi kamu juga sebenaenya sudah tahu tentang masalah ini tapi tetap diam. Dasar pengecut--!"
PAR
Wajah Bintang berpaling keras. Sebuah tamparan mendarat di pipi kirinya. Bukan Aurora yang melakukannya, itu Rena.
"Jaga mulutmu." Rena berkata dengan nada rendah dan serius.
Panas merambat di pipinya. Rasa karat seperti berbaur dengan minuman bersoda yang ia minum sebelumnya di lidah. Perpaduan rasa itu sangat buruk.
"Kamu memintaku untuk menjaga mulut, maka mintalah temanmu untuk menjaga tangannya untuk berhenti menulis omong kosong!" Bintang kembali berteriak.
Rena sangat kesal. Sebagai seorang siswi yang aktif di bidang olahraga, kekuatannya sebanding dengan siswa yang jarang berolahraga. Setidak itu cukup untuk memberi beberapa pukulan pada Bintang. Baru memasang ancang-ancang, Aurora menahannya.
"Jika itu memang tidak benar, maka biarkanlah. Kamu enggak perlu melakukan perlawanan apapun yang malah membuat orang berpikir kalau apa yang mereka bicarakan benar." Aurora memadatkan padangannya. Dia sekarang yakin. Dia harua berani menghadapi akibat dari perbuatannya.
"Kamu mengatakan untuk tenang karena kamu di posisi yang berbeda. Itu karena kamu yang menulisnya! Coba saja. Aku akan menulis kalau kamu sebenarnya telah disukai oleh seorang paman pemabuk di kota. Dan kalian telah menjalin hubungan sembunyi-sembunyi cukup lama. Apa kamu bahkan masih bisa menyuruh orang lain diam? Kamu pikir saja sendiri dengan otakmu yang super cerdas itu!"
Mata Aurora membelalak. Dia tidak pernah membayangkan masalah akan berkembang ke tahap ini.
"Hei, kata-katamu kasar! Kamu enggak boleh ngomong kaya gitu!" Lia menggenggam tepi meja dengan marah, dia hampir saja akan membalikkannya kalau Fei tidak segera memegang tangannya dengan kuat.
"Katakan itu pada temanmu!" Bintang membentak Lia.
Bisik-bisik mulai terdengar di setiap sudut ruangan. Aurora merasa aliran listrik menyengat pangkal hidungnya. Itu sangat menyakitkan hingga matanya berair.
"Tapi aku tidak menulis hal semacam itu...," ucap Aurora lirih.
"Ya, kamu menulisnya!" potong Bintang.
"Aku tidak--"
"Ya, kamu menulisnya!" Bintang menambahkan bberapa oktaf pada kata-katanya. "Kamu menulisnya dan sekarang tulisanmu terpampang jelas di mading sekolah. Semua orang mulai mebicarakan tentang bagaimana aku dan kamu memiliki hubungan khusus yang dirahasiakan. Itu bohong dan kamu sama sekali tidak berniat menyangkalnya! Apa maumu?!"
"Aku tidak menulisnya! Itu hanya selembar kertas tugas dan kamu mempersalahkannya seolah aku menulis kalah kamu adalah cowok paling kasar di sekolah! Aku tidak menulis tentang kamu! Itu tentang aku dan orang lain. Itu adalah pendapatku. Kamu tidak punya hak untuk menghakimiku!"
Pada akhirnya Aurora tidak bisa menahan ledakan emosi di dadanya. Itu sangat sesak dan menyakitkan.
"Oh, benarkah? Lalu katakan pada mereka kalau mereka salah! Katakan! Bahkan jika tidak ada lagi wanita di dunia ini, aku tidak akan pernah bersama dengan gadis jelek dan tak tahu malu sepertimu!"
Suara Bintang menggema. Kantin kembali sunyi. Dari counter, penjaga kantin merasa aneh dengan senyapnya ruang makan kantin. Tapi dia tidak ambil pusing dan kembali bekerja.
Beberapa siswa yang memanggil guru untukk menghentikan perdebatan berlarian bersama seorang guru olahraga menuju kantin. Mereka tiba tepat saat setetes air mata Aurora jatuh. Wajahnya menampilkan ekspresi kosong. Rasanya seperti ada seember es yang dituangkan dari kepala saat musim dingin, Aurora mematung di tempat.
Satu tetes air jernih itu tidak membuat hati Bintang lunak. Dia keras kepala dan masih pada pendiriannya yang sebelumnya. Mendengar suara berisik dari pintu masuk, para siswa yang menonton segera membubarkan diri.
Aurora tersadar dan segera menghapus air matanya. Bintang juga segera merilekskan bahunya agar tidak diceramahi panjang lebar oleh guru olahraga.
Rena, memiliki pandangan dan pikiran lain. Matanya segera menangkap basah dua orang siswa yang tadi memiliki niat untuk menciptakan gosip. Mereka rupanya berdiri tidak jauh di belakang Bintang sejak tadi. Rena berpikir, dia sangat ingin menghajar dua orang idiot itu. Dia juga setidaknya bisa meringankan hukuman Aurora, atau menemaninya di saat-saat tersulit.
Jadi dia dengan kasar melompat dan mendaratkan beberapa bogem mentah ke dua siswa itu.
"Kamu kurang ajar! Dasar brengsek bermulut besar!" Rena terus memaki dan memukul.
Aurora dan yang lain kaget. Mereka bergegas untuk memisahkan Rena dan korbannya hingga guru olahraga datang ke meja.
Semua orang yang terlibat masuk ke ruang konsultasi kelompok di BK dan mendapat hukuman singkat setelahnya. Tiga kotak sisa double tape mengering di permukaan kain flanel mading sekolah. Karangan-karangan terbaik segera dilepas oleh organisasi sekolah yang mengurus mading setelah mendengar masalah di kantin.
Guru bahasa Indonesia pun meminta maaf pada Aurora karena telah memasang karangan itu. Wali kelas sampai memanghil Aurora ke ruang guru untuk menenangkannya. Dukungan mental banyak diberikan pada Aurora. Di sisi lain Bintang tak merasakan perubahan apapun pada lingkungannya.
Setelah satu sampai dua minggu semua orang melupakan kejadian menggemparkan itu dan dunia berjalan seolah tak ada hal konyol yang terjadi sebelumnya. Sangat normal.
Aurora dan Bintang tidak pernah bertemu atau berpapasan lagi di jalan. Entah salah satu dari mereka atau kedua-duanya saling menghindari atau memang tidak sengaja.
Waktu berlalu tanpa kejadian menghebohkan lainnya. Ujian nasional selesai. Kebanyakan siswa masih mengurus beberapa prosedur pendaftaran mahasiswa baru sambil berharap pesta pelepasan segera diadakan.
Pesta pelepasan siswa adalah puncaknya perjuangan tiga tahun selama di SMA. Ini adalah acara yang paling dinantikan oleh setiap siswa.
Pada acara ini, akan ada dua sesi, yaitu acara formal dan non formal. Acara formal dilakukan dari pagi hingga siang menjelang sore. Acara formal berisi agenda-agenda resmi pelepasan siswa seperti pesan kepala sekolah, pesan tiap wali kelas, pesan perwakilan angkatan, pemeringkatan paralel berdasarkan hasil ujian akhir, pembagian cendra mata, serah-terima siswa kepada orang tua, dan sebagainya.
Acara formal begitu formal sampai membosankan.
Sebaliknya, acara non formal adalah pesta yang sebenarnya. Acara non formal diadakan oleh panitia ilegal setelah matahari terbenam. Meski panitianya ilegal, acara ini dinyatakan resmi dan aman oleh sekolah.
Pada acara non formal biasanya diadakan di lapangan sepak bola yang luas. Acaranya hanya berupa pembukaan lantai dansa atau sebenarnya tarian asal-asalan dengan pengeras suara besar, pesta barbeque, dan puncaknya adalah kembang api kelulusan.
Setiap siswa kelas akhir akan memiliki satu tongkat kembang api kelulusan. Biasanya mereka akan menempelkan sebuah kertas berisi harapan akan masa depan pada sumbu. Saat sumbu dinyalakan dan kembang api meledak di langit, mereka berharap kerta harapan setelah kelulusan itu akan terbang bersama kembang api menuju langit, lalu meledak menjadi serpihan kecil kebaikan di udara.
Bukan mitos, ini hanya tradisi kelulusan tanpa dasar yang sudah dilakukan dari generasi ke generasi.
Hampir tengah malam saat count down diumumkan oleh panitia lewat pengeras suara.
"Ayo semuanya hitung bareng-bareng!" seru seorang panitia penuh semangat.
"Satu!"
Setiap orang bahagia dengan semangat yang membara. Bintang mau tidak mau ikut terpengaruh. Tapi dia agak kesal saat dirinya harus berdesak-desakkan menuju sebuah lingkaran besar di sekeliling kembang api utama yang begitu besar.
"Dua!"
Bintang tidak ikut bersorak. Suasana hatinya agak tidak teratur malam ini. Dia merasa masam tapi juga manis. Konsep rasa yang aneh baginya. Jantungnya berdebar kencang tanpa sebab. Dia tidak gugup karena kembang api atau terlalu bahagia karena telah lulus.
"Tiga!!!"
DUAAR... DUAAR... DUAAR....
Kembang api utama dan beberapa kembang api sampingan meletus hampir bersamaan. Warna-warna berganti secara acak. Bintang menoleh ke atas sesaat sebelum kembali menatap ke bawah.
Sudah kelulusan tapi rasanya ada yang salah, pikir Bintang.
Para siswa yang baru lulus itu segera menyebar. Membuat susunan kerumunan agak longgar, dan sesekali merapat. Sangat tidak teratur.
Bintang ditabrak seseorang dan tongkat kembang apinya jatuh ke samping. Dia menunduk untuk mengambilnya.
Saat kembali berdiri dan mendongak, mata Bintang melihat bayangan yang tak asing baginya. Seorang gadis dengan rambut terurai yang panjang.
Kembang api-kembang api itu tidak mau berhenti. Begitu ramai namun juga sepi bagi Bintang. Gadis di matanya sangat jauh, tapi dia merasa dekat. Cahaya-cahaya yang disebabkan ledakan kembang api menyebar, memutar dari satu warna ke warna lain saat sampai di wajah ayu Aurora.
Dia tersenyum.
Gadis berambut lurus yang selalu tampak tenang itu tersenyum. Tidak, dia bahkan tertawa. Bintang merasa waktu berhenti sesaat. Dia secara tidak sadar terdiam seperti sebongkah patung kayu yang kaku.
Aurora sangat menikmati momen-momen terakhir masa SMA-nya. Dia senang. Saat menatap langit yang penuh warna, Aurora merasa tengah diawasi. Jadi dia sedikit menggerakkan kepalanya dan melihat Bintang di seberang lautan manusia tengah menatapnya melalui celah-celah.
Bintang yang tertangkap basa mulai gugup. Dia baru saja akan tersenyum saat senyum di wajah pihak lain menghilang, begitu juga sosoknya. Aurora berhenti tersenyum dan memilih untuk bersembunyi di antara banyaknya siswa yang sedang merayakan kebahagiaan.
Rasa masam dan sedikit manis hilang. Digantikan dengan rasa pahit. Bintang merasa sangat bodoh saat berpikir akan memberikan senyuman pada gadis itu.
Kebahagiaan di hatinya turun drastis. Dia tidak lagi menginginkan pesta kelulusan ini. Jadi yang perlu Bintang lakukan selanjutnya hanyalah pulang dan melupakan segalanya. Dia sudah lulus dan akan tinggal di asrama. Dia akan punya lingkungan baru dan hanya perlu fokus pada masa depannya.
Masa lalu berada di belakang. Untuk apa terus menoleh ke belakang kalau itu hanya akan membuat lehermu sakit?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top