Bab 16 Penujuk Arah dan Teman Cahayanya 1

Bintang tercengang. Judul karangan itu, "Penunjuk Arah dan Teman Cahayanya" bukan lagi familier tapi memang berhubungan langsung dengan dirinya.

Rena diam-diam mengamati perubahan ekspresi sekecil apapun pada Bintang. Dia tidak ingin balas dendam atas apapun, hanya saja dia tidak ingin temannya seolah tidak bisa bergerak maju karena pria sok jantan ini.

"Saat itu aku masihlah seorang gadis SMA. Suatu hari, guru bahasa Indonesia yang sangat membosankan menugaskan semua siswanya untuk membuat sebuah karangan. Isinya adalah asal-usul nama masing-masing. Bukan filosofi. Atau lebih tepatnya disebut dongeng.

"Karena namaku Rena, maka aku hanya asalan saja membuat karangan itu. Kata orang tuaku awalnya aku akan diberi nama Rina. Tapi... karena sudah terlalu banyak yang bernama Rina maka huruf i diplesetkan menjadi e dan jadilah nama Rena. Kalian tidak tahu betapa pusingnya aku waktu itu. Dongeng macam apa yang bisa kubuat dari nama tanpa arti khusus ini?

"Jadi aku hanya menulis sebuah dongeng di mana seorang gadis bernama Anna dan temannya Rain (dibaca rein), hujan. Mereka bertema baik untuk selama-lamanya. Oleh karena itu namaku gabungan dari Rain dan Anna. Rena. Tidak masuk akal memang."

Rena mengawali tawa dan disusul oleh seisi kelas, sekali lagi kecuali Bintang. Kakinya yang ramping bergerak ke sisi kanan dan kiri kelas. Terus begitu sambil berusaha menjaga keseimbangan.

"Tapi teman baikku berbeda. Dia sungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas itu. Dia memiliki nama yang unik dan filosofi yang luar biasa. Bertahun-tahun yang lalu, nama Aurora Borealis menjadi topik perbincangan yang cukup lama."

Kali ini Bintang medengarkan dengan saksama. Walaupun sebenarnya jantungnya berdebar sangat kencang. Bintang tahu cerita ini. Dia terlibat di dalam. Tapi mendengar cerita yang sama dari sudut pandang berbeda membuatnya sedikit gugup.

Melalui jendela yang terbuka, angin panas bertiup masuk. Matahari berdiri megah di puncak kepala setiap orang. Sekelompok gadis berseragam putih abu-abu berkerumun di sekitar meja di bawah pohon beringin yang rindang. Di seberang adalah lapangan basket yang dipenuhi para pemuda dengan seragam tim basket yang berlari ke sana kemari sambil terus mengelap keringat.

Gadis-gadis di bawah pohon tidak memerhatikan lapangan basket atau aula terbuka yang ramai. Mereka sibuk dengan setumpuk soal di atas meja.

"Duh... susah banget. Nomor 16 ada yang sudah?" keluh salah satu siswi dengan kuncir kuda.

"Kan kita bagi tugas. Mana ada yang sudah ngerjain nomor satu pun bagianmu. Sudah, jangan ngeluh terus. Cepetan kerjain," balas gadis bermata sipit yang rambutnya dikepang frustasi.

Sementara teman-temannya ribut, dua gadis lainnya hanya ikut tertawa. Seorang gadia yang rambutnya dibiarkan tergerai sampai punggung menutup buku latihannya dan minum minuman kotak ekstrak sari kacang hijau kesukaannya. Melihat ini, teman-temannya tidak terima dan berusaha protes.

"Eh, Aurora kok ditutup, sih? Emang udah selesai ngerjainnya?" tanya si kuncir kuda.

"Sudah, Lia.... Aku kasih jawabanku kalau kalian sudah selesai," jawab Aurora.

"Wah, cepet banget. Percaya ah sama yang lolos SNMPTN jurusan kedokteran. Universitasnya terkenal lagi!" tambah kuncir kuda. "Ya, 'kan Ren?

Rena, yang tiba-tiba diikut sertakan mengangkat kepalanya. "Ha? Oh, iya, iya. Aku iri banget sama Aurora. Huuh... padahal aku cuma ambil Sastra Indonesia tapi tetep aja enggak lolos."

"Ya, gimana mau lolos. Tugas dongeng kemarin aja kamu asal-asalan," ucap gadis yang rambutnya dikepang.

"Ya! Feifei bener. Kamu juga enggak sadar diri, sih. Milihnya universitas terkenal di beda provinsi. Jelas susah lah, Ren," tambah Lia sekali lagi.

"Ih kalian jahat banget!" Rena tidak terima dilempari begitu banyak kenyataan bodohnya di masa lalu.

SMA Budi Karya selalu menjadi salah satu SLTA terbaik di Kota dan Kabupaten Tegal. Tiap tahunnya selalu ada setidaknya sepuluh siswa yang diterima di PTN jalur rapor atau SNMPTN. Tahun ini, Aurora menjadi salah satunya. Meski sudah dipastikan diterima di sebuah unversitas, Aurora dan teman-temannya masih harus belajar untuk ujian nasional dan ujian sekolah.

Beberapa mata pelajaran masih rutin memberikan tugas sebagai bahan latihan. Minggu sebelumnya, angkatan kelas akhir mendapat tugas membuat dongeng dari nama masing-masing. Tapi sampai sekarang nilai belum keluar. Beberapa siswa resah karena bagi mereka nilai adalah segalanya di sekolah.

Karena tinggal menanti tanggal ujian, entah kenapa suasana sekolah menjadi lebih tegang sekaligus lebih santai. Apa lagi dua kelas termuda yang sangat menantikan libur ujian. Semangat menggelora di setiap sudut sekolah. Di tengah keramaian halaman sekolah, seorang siswi berlari menyeberangi luasnya lapangan basket untuk sampai di bawah naungan pohon beringin yang besar. Siswi itu sampai dengan terengah-engah. Dia mulai mengatur napas sambil membungkuk memegangi lutut.

"Hhaah... haah.... Aurora... itu... mading... haah...." Siswi-siswi yang tengah duduk segera menarik siswi yang baru datang itu, mengajaknya duduk dan memberinya minum.

"Pelan, pelan, Ke. Ada apa? Kenapa dengan madingnya?" tanya Rena mendahului.

"Itu... tulisan Aurora dipajang di mading sekolah!" Aurora tercengang mendengarnya. Sementara tiga yang lain malah bersorak gembira, seolah masa depan sudah mereka prediksi sebelumnya.

"Benar, 'kan kataku. Tulisan Aurora pasti dipajang di sana!"

"Aku tahu itu! Kita semua tahu bagaimana si hebat Aurora akan berkembang dalam tiga tahun!"

Meski Rena juga ikut bersorak, dia merasa ada sedikit rasa pahit di hatinya. Dia menurunkan sudut bibirnya sebentar. Hanya sebentar sebelum sebuah senyum penuh ketulusan kembali mengembang.

"Karena tulisa Aurora dipajang di dinding, berarti dia masuk tiga peringkat teratas karangan terbaik. Peringkat berapa tulisan Aurora, Re?"

"Umm... aku kurang tahu juga. Tadi sangat ramai jadi aku hanya melihat sekilah kalau milik Aurora ada di sana."

Rena, Lia, dan Fei segera saling menatap mata satu sama lain. Bibir mereka menunjukkan senyum yang seram. Seperti ada rencana jahat dengan kekehan menakutkan.

"Ayo!"

Rena segera menarik tangan Aurora dan mereka berempat berlari dengan kecepatan suara menembus angin, menuju tempat mading sekolah berada. Sementara itu, siswi baik hati yang menyampaikan berita penting itu diabaikan. Dia ditinggal sendirian di bawah pohon beringin dengan tumpukkan soal matematika.

"Ah, aku lupa kalau ada tugas. Aku bahkan belum melihat soalnya sama sekali!" Siswa itu bicara sendiri dan segera pergi dari sana.

Mading sekolah berada di koridor yang menghubungkan area kelas dan perpustakaan dengan kantin dan tempat ibadah. Letaknya strategis sehingga setiap siswa hampir berhenti dan melihat isinya setiap hari. Biasanya mading tidak begitu sesak, beberapa orang yang membaca sambil berjalan atau hanya berhenti sebentar. Namun hari ini kebalikannya.

Banyak siswa dari semua kelas yang berkumpul di depan kaca bertutup kaca itu. Aurora dan yang lain sampai di depan kerumunan dan tidak melihat celah untuk masuk.

"Sangat padat. Bagaimana kita bisa melihat madingnya?" Lia mengeluh sambil mengentakkan kakinya ke lantai, menghasilkan bunyi khas sepatu pantofel bertemu ubin keramik.

Rena juga merasa kesal. Padahal bintang dari mading itu tepat di belakang kerumunan tapi orang-orang itu tidak mau minggir. Di tengah kekesalan ini seketika Rena mendapar ide. "Orang-orang ini seperti tembok. Dan apa yang kau lakukan jika ingin menembus tembok?"

Tiga orang lainnya saling memandang bingung. Memangnya apa yang kau lakukan jika ingin menembus tembok?

Lia berpikir keras. Dia punya jawaban tapi masih ragu. Meski begitu dia tetap mengutarakan pendapatnya. "Menjadi hantu?"

"Kamu sakit." Fei menanggapi.

"Ya. Periksalah ke rumah sakit jiwa." Rena menambahkan. Sementara itu Aurora hanya terkekeh pelan. Aurora selalu menjadi yang paling dewasa dan paling diam. Dan tak seorang pun dapat meragukan kepintarannya.

"Jika kalian tidak mau berdesak-desakkan, kita bisa melihatnya sepulang sekolah." Aurora memberi jalan keluar.

"Atau saat bolos," timpal Lia.

"Atau saat kita pura-pura meminjam buku ke perpustakaan," tambah Rena yang sama-sama memiliki otak nakal.

Fei menghela napas lelah. Aurora merasa tingkah teman-temannya mulai melewati batas. "Kita akan melihat mading setelah sekolah sepi sore ini. Lagi pula apa yang perlu kita lihat? Aku sudah memperlihatkan tulisanku pada kalian, bukan?"

"Tidak! Sensasinya beda!" sangkal Lia.

"Benar, benar!" Rena mengangguk keras dan Fei juga setuju.

Bel kemudian berdering. Keempat siswi itu harus berlari ke pohon beringin di samping lapangan basket dan kembali lagi untuk masuk ke kelas. Saat mereka sampai, mereka melihat guru mapel baru saja menaiki tangga. Keberuntungan yang bagus.

Di antara waktu paling panas dalam sehari, SMA Budi Karya memberikan waktu istirahat lebih panjang untuk staf dan siswanya. Istirahat selama hampir satu jam ini ditujukan untuk beribadah, makan siang, dan istirahat. Karena sudah memasuki masa SMA, kebanyakan siswa tidak suka membawa brkal dari rumah karena hal itu kekanak-kanakkan menurut mereka. Jadi saat bel istirahat panjang ini berbunyi, hampir semua semua siswa mendatangi kantin dengan berbondong-bondong.

Koridor menuju kantin masih sangat sesak. Beberapa komentar mengenai isi mading terdengar dari jarak beberapa meter. Bahkan ada juga siswa yang memulai gosip baru.

"Yang itu yang nomor satu. Di kelas 3-1 emang ada yang namanya Aurora, 'kan?" tanya salah satu siswa.

"Ya. Di kelas 3-2, kelasmu maksudku ada yang namanya Bintang juga, 'kan?"

"Iya, iya. Apa mereka punya hubungan?"

"Ah, masa. Kalau mereka berpacaran pasti satu sekolah sudah tahu."

"Bagaimana kalau mereka menyembunyikannya? Lalu tiba-tiba pihak perempuan memiliki perasaan yang terlalu dalam dan malah menulisnya di tugas ini?"

"Hm, bisa juga ceritanya gitu, sih. Tapi 'kan adik kelas juga ada yang namanya Bintang."

"Dih Bintang di kelasku namanya Bintang Utara. Kamu enggak baca, ya isi karangan itu apa? 'Polaris'. Bintang Utara. No doubt."

"Iya juga, ya." Kedua siswa itu mengangguk bersama-sama.

Rena, yang kebetulan lewat mendengar semuanya dengan jelas. Dia memperlambat langkahnya untuk mendengarkan dan malah tertinggal.

"Renren, cepat!" seru Lia di kejauhan. Rena mendongak dengan ekespresi rumit. Matanya langsung beralih pada Aurora yang menunggunya dengan senyuman.

Mereka berempat berada di kelas yang sama. Kecuali Lia dan Fei, mereka pernah berada di kelas 1-4 dulu. Itu adalah kelas acak setelah diterima di sekolah. Dan nama Bintang Utara masih segar di pikiran Rena.

Dua tahun terakhir, bukannya Bintang menjadi anak nakal atau ketua geng penindas yang menyeramkan. Rena hanya merasa buruk jika gosip konyol tadi menyebar. Dia berbalik ke kerumunan untuk menemukan dua orang yang mengobrol tadi, tapi dia tidak menemukan mereka.

Wajahnya sedikit linglung saat tiba-tiba tangan kanannya ditarik lembut.

"Ayo, Renren. Aku sudah lapar, nih." Tak berdaya, Rena hanya pasrah saat dibawa ke kantin. Hatinya masih tidak tenang. Kepalanya belum jernih sepenuhnya.

Kantin sekolah menyediakan banyak makanan. Mulai dari makanan ringan, buah, makanan berat, sampai minuman. Makanan instan juga tersedia. Aurora dan tiga temannya biasa memesan makanan yang sama untuk makan siang. Kali ini mereka memutuskan untuk memesan bakso isi telur dan es teh manis.

Mangkuk masing-masing sudah hampir kosong. Gelas mereka juga tinggal setengah. Selama makan keempatnya mengobrolkan banyak hal menarik ala-ala remaja SMA. Di tengah obrolan, tiba-tiba suara berat dari anak laki-laki memotong perbincangan, membuat semuanya diam dan menoleh ke sumber suara di belakang Aurora.

"Heh, kamu!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top