Bab 15 Roti Stroberi dan Susu Cokelat

"Perspektif."

"Apa--?"

"Kita sampai! Ayo, turun!" Dani memarkirkan mobilnya dengan cepat. Bintang masih ingin bertanya lagi tapi Dani tak memberinya kesempatan.

Dani dan Bintang keluar dari mobil. Sebuah gedung menjulang tinggi di hadapan keduanya. Beberapa mahasiswa yang lewat tertarik untuk menonton dua pria tinggi dengan paras yang jauh di atas rata-rata. Saat Dani dan Bintang masih mengamati gedung, seorang gadis berseragam hitam-putih mendekat.

"Kakak!" panggil gadis itu. Dani segera menoleh dan mendapati gadis berkuncir kuda dengan wajah blasteran yang khas.

Bintang mengamati bagaimana gadis yang memanggil Dani kakak. Di antara keduanya, seperti tidak ada perbedaan sama sekali.

"Kakak sangat lama," keluh gadis itu.

"Iya, maaf. Kakakmu yang tampan ini harus mengajak teman. Bagaimana kalau di jalan banyak mahasiswi yang menggodaku? Bisa gawat nanti." Bintang dan gadis itu memutar bola mata mereka. Di hati mereka, Dani sudah tercatat sebagai orang gila dengan penyakot narsistik tingkat akhir.

"Terserah saja. Paling-paling kau akan pulang ke rumah setelah mendapat banyak luka dari kakak ipar."

"Hahaha! Itu tidak akan pernah terjadi karena aku akan memberimu uang saku tambahan-- aduh...." Sudut lengan Bintang yang tajam menghantam perut Dani dengan keras. Bintang menggerutu dalam hati bagaimana bisa dia kenal orang seperti Dani. "Sakit, tahu. Oh, iya. Jane, ini Bintang temanku. Bintang, ini Jane."

"Bintang."

"Jane."

Bintang dan Jane bersalaman singkat. Setelahnya, Dani mencondongkan diri ke Bintang, mengincar telinganya.

"Dia masih jomblo, loh," bisik Dani. Tentu saja Bintang tahu apa yang orang tidak waras ini pikirkan. Tanpa basa-basi Bintang memelototi Dani yang terus memamerkan deretan gigi putihnya.

"Aku dengar itu, Kak. Sudahlah, cepat saja. Staf administrasi sudah menunggumu dari tadi." Jane menangkat pergelangan tangan Dani dan mulai menyeretnya dengan paksa.

"Jangan hiraukan aku, Bintang! Jalan-jalan saja di sekitar sini! Aku baik-baik saja. Tanganku tidak sakit sama sekali!" Dani berteriak sangat keras. Semua orang di area parkir menatap Dani, lalu ke Bintang.

Kalau saja ada batu bata yang menganggur, Bintang ingin sekali mengambilnya dan melemparkannya ke wajah Dani dengan kecepatan 1000 km/sekon. Pembuluh darah biru mencuat di dahi Bintang. Dia sangat kesal.

Tarikan napas yang dalam membuat Bintang sedikit rileks. Lupakan tentang Dani. Dia tidak mau kakinya kesemutan dan kulitnya terbakar sinar UV matahari dengan tetap diam seperti patung di tempat parkir. Lagi pula alarm perutnya mengeluarkan suara yang cukup keras, membuatnya harus segera mencari kantin.

Kampus PGSD dipisah dari kampus lainnya. Jadi wilayah kampus tidak terlalu besar dan mudah untuk dijelajahi dengan berjalan kaki. Meski begitu, Bintang harus berputar-putar, melewati jalan yang sama setidaknya tiga kali, dan bertanya berkali-kali untuk sampai di kantin yang ternyata berada di sisi selatan tempat parkir. Dari sebuah plang bertuliskan "Kantin Sehat", Bintang bisa melihat mobil Dani yang terparkir rapi. Lalu bagaimana bisa dia menempuh perjalanan sejauh itu untuk menemukan kantin yang sedari tadi ada di depan mata?

Baik, hanya Tuhan dan tukang ramal yang tahu.

Bintang sejujurnya buta arah. Dia sudah hidup di Kota Tegal sejak kecil dan masih bingung jalan menuju tempat-tempat ikonik. Sejak awal dia memang tidak suka bepergian, ditambah pekerjaannya tidak begitu mengharuskan untuk menghafal jalan. Dia hanya perlu menghafal tempat-tempat rawan kejahatan, bukan jalan menuju tujuan.

Punggung tangan Bintang yang kekar ia gunakan untuk menggosok dahi, menyingkirkan peluh yang ada. Seorang mahasiswa dengan seragam hitam-putih seperti Jane, berjalan keluar dari kantin. Sebelum melewati gerbang tanpa pintu, mahasiswa itu tertegun melihat Bintang.

"Baru sampai, Pak?" Di tangan mahasiswa itu ada sekantung plastik penuh makanan dan minuman. Dia adalah orang pertama yang Bintang tanyai pasal lokasi kantin. Kejadian itu sekitar dua puluh menit yang lalu.

Bintang mengatur napas dan menjawab, "Hm. Aku baru sampai."

Mendengar pernyataan Bintang, mahasiswa itu merasa tidak enak. Dia segera meminta maaf terus menerus karena berpikir kalau penjelasannya tidak jelas sama sekali. Bahkan punggungnya sampai membungkuk-bungkuk dan matanya berair karena merasa bersalah. Bintang tidak langsung menerima perminta-maafan mahasiswa itu karena bagaimana pun yang salah bukanlah mahasiswa itu tapi dia sendiri.

Selama beberapa saat Bintang terjebak di gerbang kantin. Setelah mahasiswa itu cukup tenang, temannya membawanya pergi dari area kantin. Bintang merasa lega namun otaknya tetap bekerja. Mahasiswa tadi seharusnya seusia dengan Yogi, tapi kepribadian keduanya sangat berbeda. Mungkin lain kali Bintang harus mengambil setidaknya tiga sampel untuk memutuskan penilaiannya terhadap sesuatu. Ya, sebenarnya itu adalah metode paling umum tapi Bintang terlalu malas untuk melakukannya.

Etalase kaca berukuran kecil diletakkan di atas meja beton. Dari sekian banyak etalase kaca, Bintang menemukan satu yang hanya berisi roti dari atas sampai bawah. Bintang mendekat dan mulai mempertimbangkan sesuatu.

Bintang suka keju. Tapi dia juga suka cokelat. Sebenarnya dia suka buah-buahan seperti stroberi, tapi itu sangat tidak gentle man. Ada beberapa roti isi kacang hijau dan kelapa. Ada juga yang berupa pizza pedas. Dia ingin hampir semua roti yang ada di sana.

"Tuan Rapi, cepatlah! Kau membuatn antrean panjang di belakang." Sebuah suara tiba-tiba muncul di balik counter. Seorang laki-laki gempal memakai celemek menatap Bintang tidak senang.

Diam-diam Bintang melirik ke belakanganya dan benar kata orang itu, antrean panjang sudah terbentuk di sana. Bintang meluruskan punggungnya, dan mendepatai kalau laki-laki di hadapannya begitu tinggi bahkan saat dia berdiri tegak atau bahkan berjinjit.

Bintang berdeham, berusaha mengembalikan wibawa. "Ekhem.... Aku mai yang ini." Dia menunjuk sebuah sebuah roti di sudut etalase.

Kantin adalah tempat yang takkan pernah sepi. Baik di instansi pendidikan maupun lingkungan kerja, kantin selalu menjadi tempat yang paling banyak dikunjungi. Seperti kantin di kampus PGSD salah satu universitas negeri terbaik di Semarang, tidak, Kota Tegal ini.

Meja-meja diatur per set, tidak seperti meja kantin sekolah menengah. Bintang duduk sendirian di set meja empat kursi yang ditutupi lapisan kayu papan tulis putih. Di atas meja tergeletak sebuah roti yang terlihat lembut dengan kulit putih dan bintik-bintik selai stroberi. Dia membeli roti stroberi!

Bagi para pria, memakan hal-hal berwarna merah muda atau hampir merah muda atau apapun yang berbau feminim sangat memalukan. Penjaga counter bahkan menertawainya sesaat.

"Hhaaah...." Bintang menghela napas berat. Dia mengambil sekotak susu cokelat, memasukkan sedotan putihnya dengan kasar, dan mulai mengisap isinya. Karena sudah dibeli, sangat tidak mungkin bagi Bintang untuk membuang roti stroberi itu. Jadi dia membukanya dan mulai menjejalkan roti lembut itu ke mulutnya.

Bintang duduk sendiri dan tak mengenal siapa pun di sana. Sementara di meja lain duduk berbagai etnis mahasiswa. Ada beberapa meja yang disatukan dan para mahasiswa itu seperti koloni yang besar. Di sekitar Bintang sangat berisik. Semua mahasiswa sibuk dengan obrolan atau gosip mereka.

Sesekali Bintang menajamkan telinga untuk menguping beberapa topik perbincangan yang menurutnya menarik. Misalnya bagaimana cara mendapatkan item khusus pada game yang sedang ia mainkan, menu diet sehat, sampai tips dan trik mendisiplinkan hewan peliharaan yang nakal.

Roti di tangan Bintang sudah mau habis saat samar-samar ia mendengar percakapan yang tidak biasa.

"Setelah ini matkul wajib, ya?" tanya seorang mahasiswa untuk memastikan.

"Iya. Kenapa kita harus jadi bahan percobaan matkul wajib? Ini tidak adil!" keluh yang lain.

"Mau bagaimana lagi. Rektor sudah mengeluarkan surat keputusan kalau mulai tahun ini akan diberlakukan matkul wajib."

"Tapi setidaknya jangan sastra Indonesia. Nilai bahasa Indonesiaku jelek saat SMA."

"Nilai bahasamu jelek? Memangnya sehari-hari kau pakai bahasa apa kalau bicara?"

"Bahasa daerah! Tapi kau tahu belajar bahasa itu bukan hanya tentang bicara. Kita disuruh membuat puisi, esai, cerpen, menganalisis ini lah, menganalisis itu lah. Belum lagi teori-teori yang sangat menjengkelkan. Bikin pusing aja."

"Sudahlah, lupakan keluhanmu. Semua orang juga menyayangkan hal ini. Ayo, pergi. Sebentar lagi kuliah dimulai."

Bintang menyelesaikan gigitan terakhir. Dia agak penasaran dengan "matkul wajib" ini. Bintang tidak pernah kuliah sebelumnya. Dia menghabis masa mudanya di Akademi Polisi tepat setelah lulus dari SMA. Kemudian langsung memenuhi syarat pendaftaran dan mengikuti ujian kepolisian. Keberuntungan seolah mengikutinya ke mana-mana. Bintang tidap perlu mengeluarkan uang lebih dari standar dan dia langsung lulus pada percobaan pertama.

Tidak pernah kuliah bukan berarti Bintang tidak tahu bagaimana kehidupan perkulihana itu. Sepotong pengetahuan tentang perkuliahan ia dapatkan dari sebuah novel yang tak pernah dia habis baca. Hanya sesedikit itu. Bintang tidak pernah suka menonton film atau membaca buku remaja. Sejak dulu dia sangat tidak suka karakterisitik remaja yang terlalu labil. Karena dia sendiri pernah melakukan kesalahan karena kelabilan itu.

Plastik roti yang telah kosong masuk ke tempat sampah bersama kotak susu yang juga kosong. Seperti yang Dani katakan, dia akan mencoba untuk berjalan-jalan. "Jalan-jalan" ini sebenarnya lebih mirip menguntit. Dia mengikuti dua mahasiswa yang berbicara tentang matkul wajib ke ruang kuliah.

Jurusan PGSD menuntut mahasiswanya untuk memakai seragam hitam-putih. Tapi di ruang kuliah itu ada banyak yang tidak memakai seragam. Bintang tidak yakin apa mereka benar-benar mahasiswa PGSD atau bukan, tapi dia tidak peduli. Yang dilakukan Bintang hanyalah berjalan ke kursi paling belakang.

Tiap kursi merupakan set individual dengan meja kecil. Bintang menarik satu kursi dan duduk dengan tenang. Ruang kuliah itu tergolong kecil. Hanya muat sekitar seratus atau seratus lima puluh orang. Mahasiswa-mahasiswa lain mulai memenuhi ruangan, namun tak benar-benar penuh. Masih ada beberapa kursi yang kosong.

Tak lama kemudian seorang wanita berpakaian longgar masuk ke ruang kuliah. Wanita itu langsung menata barangnya di meja dosen dan berdiri di depan kelas.

Dari tempatnya duduk, Bintang tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah dosen ini. Hanya saja dia bisa memastikan kalau dosen matkul wajib ini pasti sedang hamil tua. Perutnya membengkak maksimal. Jalannya pun agak kesusahan. Meski begitu, dia tetap menyapa mahasiswanya dengan senyum hangat.

"Selamat pagi, semua," sapa dosen.

"Pagi, Bu Rena," balas mahasiswanya. Tentu saja Bintang hanya membungkam mulutnya di belakang. Tapi dia merasa cukup akrab dengan nama Rena. Ya, tentu saja di dunia ini banyak yang bernama Rena. 

Rena, seorang wanita yang telah menjadi dosen selama bertahun-tahun tentu mengenal mahasiswanya dengan baik. Meski dia baru saja mengajar di kampus ini, Rena yang masih belia bisa dengan mudah akrab dengan mahasiswanya. Jika ada mahasiswa yang tidak menyapanya di jalan, maka dia yang akan menyapa duluan.

Kelasnya diwajibkan sejak awal semester ini, diresmikan oleh rektor dengan tujuan untuk mengembangkan pengetahuan mahasiswa dalam hal budaya dan sastra Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai tanggapan masalah penyalahgunaan karya sastra untuk tindak kriminal yang terjadi sebelumnya, sehingga pihak tertingi menginginkan mahasiswa mereka tetap bersih dan mengetahui dengan baik tujuan dari sastra.

Rena mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Matanya terkunci sejenak melihat seseorang dengan jas kulit hitam di belakang kelas. Dia kenal orang itu.

Ekspresinya berubah sebentar. Hanya sebentar, lalu kembali pada ekspresi hangat seperti biasanya. Rena menyalakan laptop dan proyektor, lalu mulai mengajar. Di sisi lain, Bintang yang tak punya tujuan sama sekali hanya duduk sambil mengawasi proses pembelajaran. Dia menemukan fakta kalau proses pembelajaran di tiga tingkat sekolah yang lebih rendah jauh berbeda dengan sistem kuliah.

Waktu berjalan cepat. Kuliah Rena sudah hampir selesai. Di akhir kuliah, Rena mengatakan kalau dia ingin memberi mahasiswanya contoh dari karya fiksi.

"Kalian tentu pernah membuat karangan berupa fiksi saat masih sekolah menengah, bahkan sekolah dasar. Jadi harusnya materi hari ini tidak terlalu berat. Aku punya sebuah karangan yang bagus untuk kubagikan. Karangan ini dibuat oleh seorang gadis SMA dan pernah mendapatkan peringkat tiga besar karangan terbaik dari satu angkatan."

Suasana kelas begitu khidmat. Bintang merasa kalau dosen bernama Rena ini sebenarnya memiliki bakat terpendam yaitu mendongeng.

"Dulu, karangan ini dibuat demi memenuhi tugas bahasa Indonesia yang mewajibkan untuk membuat sebuah cerita fiktif asal-usul dari nama masing-masing siswa."

Perasaan tidak nyaman hinggap di hati Bintang. Dia merasa tidak nyaman dengan ciri-ciri karangan yang disampaikan Rena.

"Karena masuk tiga besar, karangan ini cukup populer dan mendapat banyak tanggapan positif. Tapi bukan berarti tidak ada yang menanggapinya dengan pikiran sempit."

Bintang mengatur ulang posisi duduknya. Dia mulai gusar dan curiga atas identitas dosen ini. Telinganya menajam, ingin mendengarkan kepastian.

"Judul karangan ini adalah 'Penunjuk Arah dan Teman Cahayanya'."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top