Bab 14 Polaris
"Bintang."
Suara lembut yang sangat tidak asing buat Bintang tetdengat. Kepalanya menoleh cepat hingga matanya bersitatap dengan wanita di hadapannya. Wanita ini, Aurora.
"Aurora? Kau... menunggu bus?"
"Ya. Bagaimana denganmu? Bukankah biasanya kau mengendarai mobil?"
Aurora terlihat seperti biasa. Memakai pakaian biasa, tanpa aksesori tambahan apapun, dan masih dengan senyum ramah yang sama.
"Mobilku... dia sedang penat. Tidak ingin ikut denganku pulang ke rumah. Dia ngambek." Bintang tidak bermaksud bertingkah seperti anak kecil. Tapi otaknya benar-benar tidak bisa berpikir dengan benar sekarang. Mengetahui bahwa orang di sekitarnya adalah Aurora, dia sedikit rileks dan menjadi terbuka begitu saja.
Aurora tertawa kecil melihat bagaimana Bintang menanggapinya.
"Bukankah kau juga merasa lelah?"
"Sangat. Sangat lelah." Bintang mengerucutkan bibirnya. Dia sangat lelah. Sungguh sangat lelah.
Aurora tidak mengatakan apapun lagi. Jadi Bintang diam-diam menatapnya, hanya untuk melihat bahwa wanita di sampingnya tersenyum dengan pandangan ke depan-atas. Bintang penasaran. Dia mengikuti garis pandang Aurora. Dia melihat sebuah bintang yang bersinar sangat terang. Sendirian.
"Polaris."
"Polaris."
Bintang dan Aurora mengatakannya bersamaan. Kemudian keduanya saling tatap, dan tertawa bersama.
"Kau belajar astronomi?" Aurora yang pertama membuka percakapan kembali.
"Tidak juga. Hanya kebetulan saja namaku seperti nama bintang. Jadi aku sedikit tahu tentang polaris."
"Seperti bintang? Bukankah namamu memang 'Bintang'?" Tawa Aurora semakin jadi. Bintang juga mengimbanginya.
Perasaan hangat segera membasahi rongga dadanya.
"Ya, maksudku... aku yakin kau tahu apa maksudku," Bintang berusaha mengendalikan tawanya sebelum melanjutkan, "Bagaimana denganmu? Belajar astronomi?"
Aurora juga ikut berhenti tertawa. Matanya kembali menatap bintang yang tampak begitu kesepian di langit utara itu.
"Hm... ya. Aku belajar astronomi. Tapi tidak menekuninya. Aku harusnya menjadi seorang dokter atau semacamnya. Hanya sesekali membaca dan bertanya tentang ilmu perbintangan."
"Begitu, ya."
Sejak tadi, sudah banyak kendaraan yang lewat. Sial sekali, beberapa bus yang melintas rupanya mengarah ke arah yang berlawanan dengan tujuan Bintang dan Aurora.
Langit makin gelap dan gelap. Lampu-lampu jalan menyala secara otomatis, memberikan kota kecil ini sedikit warna kehidupan.
Bahu Bintang sudah tidak tegang. Seluruh tubuhnya kembali segar. Dia sangat senang bisa menemukan teman untuk mengobrol. Namun, beberapa saat setelah keheningan, Aurora malah melemparkan pertanyaan yang mengungkit sumber kepenatannya.
Cahaya lampu memantul di pupil Aurora yang sedikit menunduk. Rambut hitamnya yang dibiarkan tergerai terpengaruh juga oleh cahaya kuning itu.
"Bagaimana kasusmu?"
"Kasusku? Ya, baik-baik saja." Setelah mengatakannya, Bintang merasa tidak nyaman. Akhirnya dia mengatakan semua yang ada di pikirannya.
"Kau tahu, 'kan orang bernama Andi ini. Dia begitu menjengkelkan. Kabur dari rumah entah kapan tepatnya. Membakar barang-barang di rumah padahal sudah membayar uang sewa selama satu tahun. Mengirimu tulisan 'matilah' seolah kata 'mati' bukan apa-apa baginya. Istrinya meninggal dan dia tetap memmbeli barang-barang mewah dari uang asuransi kematian istrinya. Mana bisa mengirim iklan ke koran dengan alamat email yang segera kedaluwarsa setelahnya. Servernya bahkan luar negeri. Argh! Aku sangat kesal!"
Bintang bicara banyak sampai pada titik yang paling membuatnya bingung.
"Laporan yang kau berikan padaku hari itu. Kau tahu, dia mengambil asuransi kematian istrinya kemudian membeli banyak barang dengannya. Apa dia benar-benar mencintai istrinya atau tidak? Kenapa begitu kejam?"
Aurora menyimak dengan tenang. Ketika mendengar keluhan terakhir Bintang, kelopak matanya layu.
"Mungkin saja kebenarnya memang begitu. Dia tidak mencintai istrinya dengan sepenuh hati. Mungkin juga tidak. Mungkin saja dia melakukan semua ini karena dia sangat mencintai istrinya."
Setelah banyak bicara, kini giliran Bintang yang mendengarkan. Suasana sangat khidmat di antara mereka. Bintang membuka mulutnya. Belum sempat bicara, dia mendengar Aurora mengatakan sesuatu.
"Satu yang pasti, cinta takkan mudah untuk berubah."
CIIIT....
Suara kendaraan yang direm sampai ke gendang telinga setiap orang di halte. Bus yang Bintang dan Aurora nantikan sejak tadi akhirnya datang.
"Ayo!" Aurora bangun dan mengajak Bintang naik bus.
Bintang, di sisi lain masih terpana dengan kata-kata Aurora sebelumnya. Dia merasa seperti ada sesuatu yang lain di balik kalimat itu. Tapi dia menyangkalnya dalam hati. Bintang tidak mau menjadi orang yang terlalu percaya diri hingga malu pada akhirnya. Lagi pula, sudah bertahun-tahun yang lalu sejak kejadian itu. Hanya orang bodoh yang akan terus mempermasalahkannya.
Setelah ajakan Aurora, Bintang tersadar dari lamunannya. "Oh, oke."
Kaki Bintang melangkah memasuki bus. Aurora yang sudah masuk lebih dulu duduk di kursi panjang paling belakang.
Kursi belakang terdiri atas lima buah kursi yang digabung jadi satu dan sandaran punggungnya menempel ke kaca belakang bus. Di depan kursi belakang masih sangat banyak kursi tunggal atau ganda yang kosong. Hanya ada dua penumpang lain selain Bintang dan Aurora, tapi wanita itu melewati semuanya. Dia duduk di sisi paling kiri kursi belakang.
Bintang yang baru saja melewati pintu masuk tertegun. Dia sudah mengobrol banyak hari ini dengan Aurora. Dan Aurora duduk di tempat paling belakang, sendirian.
Sebenarnya Bintang tidak pernah benar-benar suka bersosialisasi. Duduk di kursi tunggal adalah hal yang wajib saat dia naik kendaraan umum. Tapi sekarang dia tidak mungkin melakukannya. Selamanya Bintang akan merasa bersalah kalau duduk di depan. Ada perasaan tidak enak di hati Bintang. Dengan langkah ragu, Bintang berjalan ke bagian belakang bus dan duduk di sisi paling kanan kursi belakang.
Posisi ini terlalu berlebihan.
Diam-diam Bintang menatap Aurora yang menyandarkan kepalanya di kaca bus. Mungkin dia sedang mengamati bintang, pikirnya.
Bintang tidak salah. Aurora, menyandarkan kepalanya pada kaca bus yang hitam karena kaca film. Dia mengamati Bintang. Tapi bukan bintang yang ada di angkasa.
Kaca yang Aurora gunakan untuk bersandar berhadapan dengan kaca tempat duduk Bintang. Dan sosok Bintang tercermin di sana, lalu memantul ke kaca bus di sisi Aurora. Aurora benar-benar sedang mengamati Bintang!
Suasana bus sangat hening. Suara-suara mesin di luar tertahan oleh besi tebal dan pintu kaca. Supir bus tidak menyalakan radionya. Dua kursi di depan Bintang, ada sepasang kekasih yang saling menempel. Menggenggam tangan satu sama lain. Sesekali tertawa cekikikan dengan candaan masing-masing. Bintang tidak bisa menahan perasaan nostalgia. Seorang wanita tua yang duduk di belakang supir tertidur, tidak menyadari kelakuan muda-mudi itu di tempat umum.
"Kau bilang kau kesulitan melacak alamat email," ucap Aurora dengan suara rendah. Meski Bintang berada di sisi seberang, dia tetap mendengar dengan jelas apa yang Aurora katakan.
"Ya. Aku tidak bisa menemukan orang yang dapat membantuku melacaknya." Bintang menjawab sambil mengalihkan perhatiannya pada Aurora. Dia tidak ingin kelewatan satu kata pun dari Aurora. Namun tiba-tiba Aurora tersenyum dan balas melihat Bintang.
"Kau sudah menemukan satu."
Butuh waktu beberapa detik bagi Bintang memahami apa yang Aurora maksud. "Oh!" Bintang langsung duduk tegak dan wajahnya berseri.
"Ya. Aku akan membantumu malacak alamat email itu." Aurora merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah note book dan pena. "Tulis saja di sini. Aku akan mengabarimu kalau sudah selesai."
Bintang mengambil note book dan mulai menulis alamat email Andi. Dia segera mengembalikan note book kecil dengan sampul biru itu pada Aurora setelah selesai.
"Aku sangat berterima kasih padamu. Aku akan mentransfer uangnya nanti." Bintang merasa senang, seolah beban di pundaknya berkurang hampir sepenuhnya. Aurora tertawa mendengar bagaimana Bintang sekarang.
"Tidak perlu. Ini bonus karena telah menggunakan jasaku sebelumnya."
"Sungguh?"
"Ya."
"Baiklah, terima kasih banyak. Tapi... apa kau sering memberikan bonus pada klienmu? Itu tidak baik untuk bisnis."
"Aku tahu. Aku tidak pernah memberi bonus pada siapa pun sebelummya. Kau yang pertama."
"Wah, terdengar seperti keberuntungan berlipat ganda!" Bintang dan Aurora kembali bercengkrama.
Bintang tertawa lepas tanpa hambatan apapun saat berbicara dengan Aurora. Biasanya dia akan sangat ramah saat menghadapi masyarakat, dan tak akan enggan untuk mulai percakapan lebih dulu sambil terus tersenyum sepanjang jalan. Tapi Bintang yang sekarang berbeda. Dia merasa seperti... bahkan jika dia tidak tersenyum orang di depannya tidak akan keberatan sama sekali. Hal ini lah yang membuatnya bisa menunjukkan sisi lain dari dirinya, yang sebelumnya hanya satu orang saja yang pernah melihatnya.
Satu per satu penumpang bus telah turun. Bahkan wanita tua yang semula tertidur sudah bangun dan memarahi supir karena halte yang seharusnya jadi tempat pemberhentiannya terlewat. Tinggal Bintang dan Aurora yang masih sibuk dengan perbincangan hangat mereka. Saat halte berikutnya terlihat, Bintang bangkit dan segera menuju pintu.
Bus kota bergambar burung elang di sisi kanan dan kiri itu berhenti. Bintang menoleh ke arah belakang bus. Dia tersenyum singkat dan turun. Pintu bus tertutup dan mesin mulai bekerja ekstra kembali. Ketika sisi belakang bus melewati halte, Aurora mengangkat tangan dan melambaikannya. Bintang yang di bawah membalas melambaikan tangan.
Periode bulan mati membuat satelit bumi itu tak tampak di langit malam Kota Tegal. Sebagian orang akan berpikir kalau malam ini adalah malam yang kelam bagi bulan. Namun sebaliknya, malam ini adalah malam yang tepat bagi bintang-bintang unjuk gigi, bersaing menjadi yanh paling terang tanpa gangguan benda angkasa lain.
Saat matahari terbit pagi selanjutnya, itu adalah akhir pekan. Malam sebelumnya Bintang tak memikirkannya sama sekali. Dia sengaja begadang untuk menyelesaikan tantangan terakhir game onlinenya dan naik level bersama teman satu guild. Jadi dia belum bangun saat sinar matahari memaksa masuk, memenuhi kamar gelapnya dengan cahaya kuning telur yang khas.
Sementara Bintang masih belum mengerjap sama sekali, suara klakson mobil sudah mengganggu tetangga rumahnya. Mau tidak mau Bintang bangun dan bergegas keluar rumah untuk memarahi si pembuat onar di halaman depan rumahnya.
"Oi! Berisik!" teriak Bintang segera setelah pintu dibuka. Bukannya menemui sekelompok anak atau remaja nakal, Bintang malah melihat sebuah senyum konyol di wajah Dani. Sepagi ini? Serius?
Hari ini Bintang shift siang setelah jam dua belas. Wajar baginya untuk tidak bersiap-siap pagi-pagi. Tapi Dani sudah mengganggu waktu istirahatnya yang sangat berharga.
"Yo! Kau tidak lupa dengan janjimu, bukan?" Dani membalas Bintang dengan teriak juga. Rasa kantuk Bintang seketika menghilang. Sebelumnya Dani mengajaknya ke kampus adik Dani di akhir pekan, jam sembilan.
Entah kenapa Bintang merasa tidak enak. Jadi dia menoleh ke arah jam dinding yang tergantung di atas pintu. Jam sembilan! Dia tidur terlalu lama hari ini.
"Baik, aku akan bersiap-siap. Masuklah."
Dani masuk ke dalam rumah Bintang dan duduk manis di ruang tamu. Bintang mengambil air minum untuk Dani dari dapur.
"Hanya minum? Mana makanannya?"
"Tidak ada. Aku tidak punya camilan apa lagi makanan berat. Sudah lah. Syukuri saja apa yang kau dapat hari ini. Aku akan mandi."
Dani tertawa tanpa suara. Beberapa menit yang lalu dia adalah hot daddy yang dilirik banyak wanita. Dan sekarang dia telah menjelma menjadi tamu yang diterlantarkan oleh tuan rumah. Dunia berputar sangat cepat.
Bintang selesai dalam beberapa menit. Dia segera keluar dengan Dani dan mengunci pintu.
"Jadi di mana tepatnya adikmu berkuliah sekarang?" Bintang duduk di kursi penumpang depan. Hari ini Dani mengajak Bintang pergi dan dia membawa mobil. Jadi Bintang hanya perlu menumpang padanya.
"Semarang. Universitas Semarang."
Bintang terkejut mendengar jawaban Dani. "Semarang?! Itu jauh!"
"Ya, jauh. Kita bisa kembali ke sini lagi sebelum matahari tenggelam." Dani mulai memutar kemudi, mengeluarkan mobilnya dari kompleks perumahan.
"Ha? Butuh waktu satu minggu untuk bolak-balik Tegal-Semarang." Bintang merasa dibodohi. Dia kesal dan cemas. Kalau harus pergi selama satu minggu, lebih baik dia tinggal di rumah hanya untuk bermain game.
"Hahahaha.... Tidak, aku janji kita akan kembali sebelum matahari hari ini tenggelam." Dani tertawa puas karena telah mengelabui Bintang.
"Memangnya kau bisa teleportasi apa."
"Hahaha.... Tenang. Adikku ambil PGSD." Tawa keras kembali terdengar dari Dani. Tapi tak lama sebelum dia kembali fokus pada jalan.
Jurusan PGSD Universitas Semarang tidak berlokasi di Semarang. Sebuah kampus khusus dibangun di Kota Tegal untuk jurusan ini.
Suasana hening di mobil itu. Bintang juga tidak mengajukan protes lain. Dani menghela napas lelah. "Kau tahu, ada pepatah mengatakan bahwa langit berwarna biru karena kau berpikir begitu."
"Aku tidak pernah mendengarnya. Tidak pernah ada pepatah seperti itu."
"Ada, tentu saja. Kau harus leih hati-hati di masa depan." Mobil Dani melesat memasuki sebuah gang di dekat pusat perbelanjaan. Tadinya Bintang tak menganggap serius tentang apa yang Dani katakan. Tapi setelah kalimat berikutnya keluar, Bintang merasa sedikit aneh.
"Apa maksudmu?" Bintang melihat Dani dengan tatapan curiga.
"Perspektif."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top