Bab 13 Olah TKP Mandiri

"Kita melakukan olah TKP mandiri?"

Bintang mengangguk dalam diam.

Dalam menangani sebuah kasus yang menyangkut pautkan tempat kejadian perkara, polisi tidak boleh bergerak individual. Harus ada tim yang dibentuk khusus untuk menangani kasus tersebut. Dan bila diperlukan olah TKP, maka polisi yang bertugas di lapangan tidak boleh melakukannya sendiri. Ada divisi khusus yang menangani hal-hal semacam ini.

Kasus ini bukan yang pertama bagi Bintang sebagai pemimpin. Kali ini, Bintang tidak punya pilihan lain. Dia harus melakukan semuanya sendiri.

"Kita catat dulu saja apa yang perlu dicatat. Bawa benda-benda yang sekiranya bisa dijadikan barang bukti dan terlihat mencurigakan. Kita akan diskusikan sisanya di kantor."

"Baik." Yogi menjawab dengan tegas.

Sebenarnya, jauh di lubuk hati Yogi menyadari kesialannya. Awalnya dia sedikit mengeluh karena keadaan yang sangat tidak mendukung. Tapi setelah melihat perjuangan seniornya, dia tidak bisa untuk tidak bersimpati. Nasib ini terlalu kasar mempermainkan seseorang yang jujur seperti Bintang.

Tiga jam berlalu dengan cepat. Bintang dan Yogi tidak menutup pintu depan, tapi juga tidak membuka jendela. Efek panas dari barang-barang yang terbakar mempengaruhi suhu tubuh keduanya. Mereka berkeringat dan merasa lelah. Pemeriksaan dibagi menjadi dua. Bintang mengecek setiap ruangan, sementara Yogi mendapat bagian terbuka dari depan sampai belakang. Setelah pemeriksaan selesai sampai halaman belakang, Bintang memanggil Yogi ke ruang tamu.

"Apa saja yang kau temukan?"

"Hm, aku menemukan banyak hal. Dari halaman depan, tak ada yang aneh. Bahkan satu set meja dan kursi minum teh seolah tak tersentuh sama sekali. Untuk beberapa furnitur, kebanyakan sebenarnya tidak rusak parah oleh api. Yang banyak rusak adalah barang-barang kecil seperti hiasan dinding, peralatan makan, dan pajangan lainnya. Tidak ada foto atau apapun yang menunjukkan identitas pemilik rumah. Di halaman belakang, aku menemukan semacam besi penyangga tangki air. Tapi tidak ada tangki air di sana. Dan setiap sisi rumah bau minyak tanah. Tapi ada yang cukup aneh. Selain perabotan berat seperti kursi dan meja, barang-barang itu terbakar cukup parah namun tidak ada debu bakar dan jejak pembakaran di lantai."

Kening Yogi mengerut. Dia menyampaikan semua temuannya dan merasa sangat janggal. Sementara Bintang hanya memberinya "hm" sebagai tanggapan.

"Bagaimana denganmu, Pak?"

"Aku juga mendapati hal yang sama. Kau tahu, pintu setiap kamar bahkan tidak tersentuh api sama sekali. Di dalam kamar utama, aku menemukan setumpuk abu yang tidak jelas."

Bintang membimbing Yogi menuju kamar utama, dan membuka pintunya. Pemandangan di dalam kamar itu sama seperti tempat lainnya. Hanya saja ruang itu terasa lebih kosong dan setumpuk abu yang menggunung berdiri di tengah kamar.

"Lihatlah. Ada jejak sepatu di lantai. Sepertinya sepatu orang ini secara tidak sengaja menginjak abu dan membuat jejak. Dan ada puntung rokok yang hampir habis juga. Di dalam lemari tidak ditemukan baju maupun berkas penting lainnya. Di kamar lain tidak ditemukan tumpukan abu serupa, namun keadannya sama.

"Semua benda yang dibakar, terutama kayu masih cukup kering dan sebagian sangat terlihat masih baru. Sedangkan menurut kesaksian pemilik kontrakan, pengontrak meninggalkan meninggalkan rumah sekitar tiga minggu yang lalu, dan tidak pernah terlihat datang atau sekadar lewat di dekat sini. Jadi, kemungkinan seseorang datang ke sini di saat lingkungan sepi. Juga, masalah tangki air. Keran di kamar mandi masih lembab. Sepertinya belum lama ini telah digunakan. Tapi sekarang tak ada air ditemukan di mana pun."

Rumah itu hening sejenak. Hanya ada suara kendaraan yang lalu lalang. Bintang berpikir sementara Yogi menatapnya dengan bingung. Bukan berarti Yogi tidak bisa mengambil kesimpulan apapun. Dia hanya menunggu perintah selanjutnya.

Benar saja, tak lama kemudian Bintang menatapnya dan bertanya, "Bisakah kau mengambil beberapa kesimpulan?"

Mata Yogi berbinar. Dia akhirnya bisa mengatakan semua yang ada di pikirannya.

"Menurutku, kesimpulan yang bisa diambil adalah... satu, rumah ini tidak dibakar atau kebakaran baik dari dalam, apalagi dari luar. Kedua, barang yang hangus, semuanya tidak dibakar di tempat kecuali benda besar dan berat. Ketiga, sepertinya orang yang membakar di rumah ini ingin menyembunyikan atau menghilangkan sesuatu.

"Keempat, masalah tangki air. Karena keran masih lembab, berarti kemungkinan tangki air diambil saat seseorang berada di sini sebelum kita, yaitu orang yang membakar semua barang di dalam rumah. Kelima, orang yang datang ke sini sebelum kita jelas ingin menyembunyikan identitas dan tindakannya. Keenam, orang ini datang sekitar tengah malam. Ketujuh, kurasa orang ini sengaja meninggalkan bau minyak tanah untuk mengelabui kita. Tumpukan abu ini juga! Aku yakin dia sengaja menimbunnya."

Setelah Yogi menyelesaikan semua analisisnya, dia mengharapkan banyak pujian dari seniornya. Sayangnya, Bintang tak menanggapi sama sekali. Dia hanya memadang dengan tidak fokus ke arah lantai.

"Sudah?"

"Sudah." Yogi bersemangat karena akhirnya mendapat respon.

"Jadi?" Raut wajah Bintang biasa saja. Tak ada perubahan sama sekali. Bahkan tak ada jejak terkesan di sana. Hal ini membuat Yogi tegang. Apa dia baru saja mengatakan hal yang salah?

"Jadi...?" Semangat Yogi turun. Dia tidak mengerti apa yang dimaksud Bintang sama sekali. Semua hasil analisis yang ada di pikirannya sudah dikeluarkan dengan detil. Dia anak baru. Harusnya semua ini cukup untuk membuktikan bahwa dia di atas rata-rata. Apa ini masih kurang untuk menggerakkan hati seniornya?

"Apa kesimpulannya?" Hati Yogi runtuh mendengarnya. Bukankah semua yang tadi ia jelaskan adalah kesimpulan? Yogi tidak pernah mendengar kalau akan sesulit ini untuk bergaul dengan seorang senior di kepolisian.

"A... aku..."

"Baik. Analisamu cukup bagus."

Di mata Bintang, semua ini hanya cukup!?

"Apa kau tidak mengecek jendela?"

Di siang hari seperti ini, matahari sangat cerah. Tapi bagi Yogi, rasanya seperti ada perit yang menyambar tepat di samping telinganya. Itu benar! Dia lupa melihat jendelanya!

"Aku akan mengeceknya sekarang!" Yogi sudah berjalan beberapa langkah sebelum dihentikan oleh Bintang.

"Tidak perlu. Aku sudah melakukannya."

Bintang menggiring Yogi kembali ke ruang tamu.

"Aku sudah melihatnya. Semua jendela dalam keadaan terkunci dari dalam dan tidak ada jejak pembobolan. Jadi, orang yang menyebabkan semua kegosongan ini terjadi masuk lewat pintu depan atau belakang. Bagaimana keadaan pintu belakang?"

"Terkunci dari dalam."

"Itu artinya hanya ada satu jalan, yaitu pintu depan. Yang berarti...?" Bintang sengaja tidak melanjutkan kalimatnya untuk memancing Yogi agar berpikir. Siapa sangka kalau Yogi bahkan tidak bisa menebaknya.

Yogi memiringkan kepalanya, terlihat bingung. "Yang berarti?"

Akhirnya Bintang menyerah. Pria kecil ini benar-benar harus diajari dari nol. Napas yang berat berembus dari hidung mancung Bintang. Bunyinya menggambarkan kelelahan yang begitu dalam.

"Maksudku adalah semua kekacauan ini dibuat oleh orang yang memegang kunci rumah, mengingat kita butuh kunci dari pemilik kontrakan untuk memasuki rumah. Dilihat dari sisi mana pun ini bisa berarti jebakan atau prlaku terlalu bodoh. Tapi sepertinya lebih orang ini benar-benar berusaha sekuat tenaga mengelabui kita. Orang itu tahu kalau satu-satunya orang yang bisa memasuki rumah ini selain dirinya adalah pemilik kontrakan.

"Sementara itu, kepribadian pemilik kontrakan sangat halus. Beliau sangat menjunjung nilai dan norma serta privasi pelanggan. Jadi sangat tidak mungkin pemilik kontrakan untuk masuk ke sini. Dia juga tahu cepat atau lambat kita akan datang ke sini. Masalahnya adalah penempatan waktunya terlalu tipis. Kemungkinan besar orang ini memang sengaja menuntun kita ke arah yang salah."

Bintang menaruh jeda lagi setelah penjelasannya. Dia terlihat memikirkan sesuatu selama beberapa detik lalu seolah jiwanya baru saja ditarik ke alam nyata.

"Oke, untuk sekarang kita kembali dulu ke kantor."

Bintang mengeluarkan kunci rumah dari sakunya. Satu tangannya menarik kenop pintu dari luar. Dia memasukkan kunci lalu memutarnya dua kali. Setelah itu, Bintang langsung menyerahkan kunci rumah tersebut kepada pemilik kontrakan.

Saat hendak memasuki mobil, Bintang berhenti tiba-tiba di depan pintu yang sudah terbuka. Yogi yang semula hampir duduk pun kembali berdiri dengan tegap.

Bintang terlihat linglung dan bertanya, "Apa tadi aku membuka pintu rumah itu dengan tangan?"

"Ya. Kau bahkan menggenggamnya, Pak." jawab Yogi dengan santai. Dia masih tidak menyadari apa yang salah. Sementara itu Bintang hanya menunjukkan ekspresi yang rumit dan kembali sadar untuk menyetir.

Selama perjalanan menuju kantor, Yogi hanya diam. Dia berusaha mengingat dan mencatat baik-baik pelajaran yang hari ini dia dapatkan dalam otaknya. Saat mobil diparkirkan di halaman parkir, Yogi ingat tentang penyebab kemarahan singkatnya saat melakukan olah TKP. Bintang sudah melepas sabuk pengamannya, namun tidak langsung keluar tatkala melihat juniornya murung.

"Ada apa?"

"Apa aku boleh izin? Aku benar-benar tidak ingin melihat wajah mereka yang sangat sibuk."

Sekarang Bintang benar-benar tidak tahu bagaimana cara menangani para remaja di zaman ini. Tidak, Yogi harusnya sudah lebih dari dua puluh tahun sekarang. Tapi pikirannya sangat sempit. Dia tidak tahu apakah harus menangis atau tertawa.

"Ya, boleh saja. Tapi alasanmu terlalu konyol. Lagi pula kau tidak harus bertemu mereka. Kau hanya harus keluar dari mobil, berjalan menunduk, dan langsung masuk ke ruang kerja kita. Bagaimana?"

Yogi tidak langsung bereaksi. Beberapa detik kemudian, dia mengangguk dan kembali pada semangat masa mudanya.

"Baik."

Sepertinya yang direncanakan Bintang sebelumnya, mereka mendiskusikan beberapa hal di kantor. Keduanya tenggelam terlalu dalam pada perbincangan, sampai lupa waktu dan tidak keluar untuk makan siang.

Matahari terus bergerak dan akhirnya meluncur ke bawah. Bintang dan Yogi keluar dari ruang kerja dengan tas masing-masing. Di pantry, tersedia beberapa gelas kertas, termos air panas, dan berbagai macam jenis kopi. Tanpa ragu Bintang menyeduh dua gelas kopi hitam. Satu untuknya, dan satu untuk Yogi. Kalau ada penghargaan senior paling baik, mungkin Bintang akan menempati setidaknya peringkat tiga besar. Tapi kalau ada penghargaan senior paling menakutkan dengan segala ketenangannya, Bintang juga akan menempati setidaknya tiga besar.

Dispenser dalam ruang kerja kehabisan air. Dan belum waktunya untuk mengganti galon dengan yang baru.

"Kau akan langsung pulang?" tanya Bintang sembari menyerahkan segelas kopi pada Yogi.

"Ya. Aku sudah memesan taksi online untuk datang ke sini."

Bintang bergeming lagi.

"Apa kau tidak punya SIM?"

"Tentu saja punya."

"Lalu kenapa...?"

Rasanya Bintang tak tega melanjutkan. Dia sangat ingin tahu kenapa Yogi memilih untuk menggunakan jasa taksi online dari pada membawa kendaraan sendiri. Tapi dia juga tahu pertanyaan ini agak sensitif.

Di sisi lain, Yogi tak keberatan sama sekali untuk menjelaskan keadaannya yang sejujurnya.

"Aku belum punya cukup uang untuk membeli sepeda motor. Di rumah hanya ada satu sepeda motor dan bapakku lebih membutuhkannya untuk pergi ke tempat kerja."

Dua gelas kertas yang sudah kosong masuk ke tempat sampah dengan damai. Bintang ingin menawarkan tumpangan kepada Yogi. Tapi sepertinya sudah terlambat karena pria kecil ini sudah bertindak preventif dengan cepat.

Di halaman parkir, hanya tinggal mobil Bintang sendirian. Bintang mendekati mobilnya yang kesepian. Dari jarak sepuluh meter, Bintang merasakan keanehan.

Tinggi mobilnya tidak benar.

Bagian depan mobil Bintang agak miring. Bintang segera memeriksa dan menemukan bahwa sepasang ban depan mobilnya sudah kempes. Tak tersisa udara sedikit pun di sana.

Langit makin gelap. Hanya sedikit orang yang berlalu-lalang di jalan. Yogi juga sudah pergi sedari tadi. Meminta bantuan pada rekan kerja di saat-saat seperti ini bukan pilihan yang bagus. Selama mobilnya terparkir sempurna di area Polres, maka rangkaian besi besar itu akan aman.

Jadi pilihan terakhir sekaligus terbaik bagi Bintang adalah meninggalkan mobilnya di kantor dan pulang dengan kendaraan umum.

Rumah Bintang tak begitu terpencil. Dengan bus, butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai di halte terdekat dari rumahnya. Kemudian berjalan kaki dari halte selama lima belas menit untuk benar-benar sampai.

Sayangnya, dari kantor menuju halte bus terdekat jaraknya cukup jauh. Kira-kira lima ratus meter jaraknya.

Bintang berjalan dengan tertatih-tatih menuju halte bus. Dia memang polisi. Berjalan di jalan sepanjang lima ratus meter memang bukan apa-apa baginya. Tapi masalahnya adalah dia tidak sedang berada dalam mood yang baik.

Tubuhnya lelah. Otaknya bahkan lebih lelah lagi. Energinya terkuras habis untuk diam dan berpikir seharian penuh.

Bintang sampai di halte bus tepat saat cahaya oranye terakhir dari matahari terbenam. Di halte dengan kursi-kursi berderet, Bintang menemukan seorang wanita muda duduk sendirian menunggu bus. Dia mengambil jarak dua kursi dan duduk di sana.

Awalnya Bintang tak ingin bertegur sapa dengan siapa pun wanita ini. Tapi orang itu malah menyapanya duluan.

"Bintang."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top