Bab 10 Podium

Pertengahan tahun selalu menjadi waktu yang damai. Sekolah-sekolah telah memulai semester baru beberapa hari yang lalu. Para pekerja kantoran pun kembali pada rutinitas penat mereka. Hari begitu cerah di pinggir Kota Tegal. Sebuah kafe bergaya klasik terlihat cukup ramai oleh pengunjung, meskipun tak sebanyak hari libur.

Lonceng pintu kaca berdenting. Aroma kopi dan cokelat berbaur dengan udara, bau manis dan padanan pahit. Begitu menenangkan bagi seorang pria dewasa seperti Bintang.

Topi baret yang menjulang di kepalanya dilepas. Begitu juga mantel kulit berwarna tanahnya. Puncak kepala Bintang hampir menyentuh bagian atas kusen pintu. Kakinya yang jenjang dan kokoh melangkah semakin jauh ke dalam.

"Selamat datang." Penjaga counter menyapanya. Bintang sedikit tersenyum dan mengangguk. Matanya berkeliaran ke seantaro kafe.

Ukuran kafe itu tidak terlalu besar. Dari pintu, seseorang bisa melihat setiap sudut kafe, kecuali dapur dan sebuah pojokan yang terhalang sekat kayu jati yang terlihat berat. Ukiran berlubang di sana menampakkan seorang wanita dengan rambut hitam panjang tergerai memunggungi pintu masuk. Bintang menghubungi seorang detektif swasta dan membuat janji pertemuan tiga hari lalu.

Bintang mendekat dan dengan sengaja mengeraskan bunyi langkah kakinya.

"Nyonya Borealis?" Bintang menyapa wanita itu hingga dia menoleh. Dari pada dipanggil nyonya, dia terlihat jauh lebih muda.

"Silakan duduk." Balas wanita itu.

"Terimakasih."

Suasana hening sesaat. Keduanya tidak menatap maupun bicara satu sama lain. Bahkan setelah bertahun-tahun, masih ada jejak kecanggungan di sana. Bintang memesan kopi untuk dirinya sendiri dari tempat duduk setelah melihat secangkir cokelat panas di meja seberang. Kebetulan sekat kayu tidak menutupinya dari pandangan counter.

"Ekhem... jadi, apa ada yang perlu disampaikan?"

Bodoh sekali! Bintang mengutuk dirinya sendiri. Dia bahkan tidak bertanya bagaimana kabar wanita di depannya. Terlebih, dia sendirilah yang merancang pertemuan ini.

Wanita itu tersenyum.

"Tentu." Dia meletakkan sebuah koper kecil di atas meja. "Aku mendapatkan beberapa informasi. Tapi sayangnya, masih ada beberapa hal yang kabur."

Koper itu dibuka. Dia mengambil setumpuk kertas lalu memberikannya pada Bintang. Karena efek canggung, Bintang yang biasanya sangat lugas, sekarang hanya bisa diam menurut. Sementara pihak lain sudah melepas segala formalitas.

Kertas-kertas dibalik saat pupil Bintang menelusuri tulisan di permukaannya.

"Bagaimana kabarmu?" Bintang menjatuhkan kertasnya saat wanita di hadapannya bertanya kabar lebih dulu.

"Aku... saya.... ekhem, baik." Bintang kembali membereskan kertasnya.

"Tidak perlu kaku begitu. Kita teman lama. Jangan terlalu sopan. Kau bisa memanggilku Aurora saja dan aku akan memanggilmu dengan jabatan di depan orang banyak." Wanita itu, Aurora, mengambil cokelat panasnya lalu menyesapnya perlahan.

"En. Bagaimana denganmu?" Bintang mulai rileks, meskipun sebenarnya dahinya sedikit berkerut saat membaca ketas di tangannya.

"Aku baik. Sangat baik."

Atmosfer membeku lagi. Penghangat ruangan di dalam kafe bekerja dengan maksimal. Tapi mesin itu tidak mungkin mencairkan suasana dengan panasnya. Beberapa saat kemudian, Bintang selesai.

"Hanya dalam 3 hari, kau bisa mendapatkan data sebanyak ini?" Ada garis-garis kepuasan sekaligus ragu di wajah Bintang saat dia tersenyum.

"Tiga hari adalah waktu yang lama. Aku bahkan membawa beberapa oleh-oleh untukmu." Aurora mengeluarkan jam tangan perak, pecahan kaca hijau, dan 5 bungkus obat. Semuanya dibungkus rapat dengan plastik berbeda.

"Apa ini?" Bintang terlihat semakin curiga.

"Jam tangan ini milik pelaku. Digunakan sekitar bulan Agustus 2 tahun lalu, dibuang bulan Januari kemarin. Toko dan struknya masih ada. Kaca itu dari botol bir yang dibeli 1 minggu yang lalu. Untuk bungkus-bungkus ini, kau bisa membawa dan memeriksanya sendiri." Aurora menjelaskan sambil menunjuk satu per satu benda di hadapannya.

"Narkoba?" Bintang mencoba menebak.

"Begitulah."

"Kau punya bukti transaksinya?"

Aurora mengeluarkan beberapa lembar foto yang agak buram. Bintang melirik foto-foto itu sebentar, lalu beralih pada Aurora lagi. Wanita di depannya terlihat begitu muda. Penampilannya biasa-biasa saja dan tidak rumit. Sulit untuk mengatakan kalau dia menyembunyikan sesuatu di balik kain bajunya. Rambut hitam sepunggungnya lurus searah gravitasi tanpa aksesoris apapun. Tatapan Bintang menyelidik dan terlihat sekali kecurigaan yang begitu besar.

Foto-foto di atas meja itu, tidak hanya bukti transaksi, juga pemakaian.

"Dari mana kau dapatkan semua ini?"

Aurora tersenyum tipis. Bintang mengambil alih semua benda di atas meja, termasuk kopernya. Ini adalah pertama kalinya Bintang meminta bantuan orang luar untuk menangano sebuah kasus.

Biasanya bagi seorang opsir meminta bantuan kepada departemen lain adalah hal yang sangat mudah dan masuk akal. Tapi sayangnya, angin dan hujan tahun ini membawa kabar buruk bagi Bintang. Dalam masa promosi, begitu banyak orang yang cemburu sehingga kesulitan bagi seseorang untuk meminta bantuan. Apalagi, kasus yang ditangani melibatkan dirinya sebagai salah satu pihak yang berpotensi menjadi saksi. Atasannya pun bahkan dengan sengaja melimpahkan kasus ini sepenuhnya padanya. Benar-benar ketidakberuntungan yang sulit.

Alunan biola menggema dari radio yang setengah rusak. Asap tipis dari gumpalan aroma terapi yang dibakar menguar, mematikan aroma almond pada setelan Bintang.

Satu seruputan lagi dari cangkir kopi Bintang.

"Jadi, apa kau sudah cukup lama menjadi detektif swasta?" Mata Bintang menatap langsung ke kedalaman mata Aurora. Meski hanya basa-basi, setiap orang yang memandangnya pasti tahu bahwa dia sedang berusaha mengorek informasi.

"Tidak terlalu lama. Baru hampir 2 tahun, mungkin." Sebenarnya Bintang sudah mengevaluasi latar belakang Aurora. Mencari tahu jenis kehidupan apa yang dijalani wanita di depannya sejak terakhir mereka bertemu saat SMA.

"Bukankah itu lumayan lama? Kasus seperti apa yang biasanya kamu tangani?"

"Kasus-kasus ringan seperti menguntit," Bintang menunjukkan wajah terkejut sambil memiringkan kepalanya. Aurora tidak bisa menahan senyumnya mengembang. "Beberapa orang akan merasa curiga kalau pasangan mereka bertingkah aneh. Jadi kebanyakan dari mereka menyewa kami, para detektif swasta untuk menguntit dan memastikan apakah dugaan klien benar atau tidak."

Bintang mengangguk-angguk paham. Masalah seperti itu, tidak mungkin dibawa ke kantor polisi, kan? Detektif swasta cukup berguna juga di masyarakat.

"Lalu, apa ada kasus berat yang pernah kamu tangani sebelumnya?"

"Mm... tidak bisa disebut berat sih, tapi aku pernah diminta mengatasi masalah yang sebenarnya cukup kotor. Seperti mencari informasi tentang seorang pejabat. Juga sebuah kasus dimana aku diminta menyelidiki penyebab kematian seorang kakek yang meninggal 20 tahun yang lalu. Masalahnya sebenarnya bisa kubilang sepele. Itu hanya perseteruan harta warisan. Salah satu dari anggota keluarga yang mendapat bagian sedikit mengira kalau surat wasiat telah dipalsukan dan sang kakek dibunuh oleh pihak lain. Benar-benar merepotkan." Aurora tertawa ringan setelah sedikit bernostalgia.

"Tapi kamu menyelesaikan kasunya, kan?" Bintang juga ikut tertawa.

"Ya, tentu saja."

"Bagaimana akhirnya?"

Aurora tersenyum lagi. "Aku tidak bisa mengatakannya."

Seolah baru mengingat sesuatu, Bintang berkata, "Ah! Kode etik. Maafkan aku."

Seorang detektif adalah konselor. Mereka tidak boleh menceritakan tentang klien kepada siapapun. Itu termasuk kode etik dan sebenarnya Aurora sedikit kelepasan sebelumnya. Atau mungkin tidak.

Kaca kafe sebenarnya tidak tipis, namun juga tidak tebal. Pintu pun beberapa kali dibuka. Oleh karena itu, saat sekelompok siswa SMA lewat, suara mereka cukup terdengar sampai meja Bintang dan Aurora.

"Wah, keren! Aku tidak tahu kalau pin perwakilan angkatan akan sekeren ini."

"Iya, benar. Kalau aku tahu sebelumnya, pasti aku akan mengajukan diri sebagai perwakilan angkatan."

"Dia bahkan dipasangkan dengan siswi yang sangat cantik. Sangat tidak adil!"

"Katakan saja apa yang ingin kalian katakan. Bukankah keberuntunganku luar biasa, hm?"

Empat siswa dan siswi berjalan sambil mengerumuni seorang pemuda yang mengenakan tanda khusus di dada kiri blazernya. Tanda itu berupa pin dalam bentuk bintang dan logo sekolah di bagian tengah. Ada tulisan "Perwakilan Putra Angkatan 20xx/20xx" yang bengkok dari kiri ke kanan. Pin ini hanya diperuntukkan bagi siswa yang terpilih sebagai perwakilan di angkatannya. Setiap perwakilan angkatan dipilih dengan teliti oleh guru, dan memegang jabatan itu selama tiga tahun penuh. Tak ada hak istimewa, para perwakilan angkatan hanya akan diberi tugas khusus untuk menyampaikan pidato singkat di aula saat awal tahun ajaran. Tradisi ini sudah berjalan selama bertahun-tahun.

Aurora dengan refleks menatap kerumunan itu. Bintang juga menyadari kehadiran mereka.

"Bukankah mereka lucu?" Tanya Aurora tiba-tiba.

Bintang yang tak tahu kenapa Aurora mengatakan itu, "Apanya?"

"Bukankah mereka tampak seperti kita saat SMA?"

Seorang pelanggan baru saja keluar melalui pintu masuk. Angin dingin dari luar memaksa masuk dan berembus pelan melewati punggung Bintang. Ada perasaan merinding dan aneh yang memenuhi dadanya.

"Ah... hm." Bintang hanya menjawab dengan ambigu. Dia tidak kenal Aurora saat pertama kali menjadi siswa SMA. Kalau bukan karena tugas essay itu, mungkin Bintang takkan pernah mengenalnya.

Denting gelas dan suara air mengalir datang dari counter. Kemudian disela dengan mendadak oleh embusan pelan napas Aurora.

"Sayang sekali. Orang-orang yang berdiri di atas podium bisa melihat semua orang. Tapi mata semua orang hanya tertuju padanya."

Bintang terdiam. Dia sama sekali tidak mengerti apa maksud dari kalimat Aurora. Bintang pernah menjadi perwakilan angkatan saat SMA. Dan tidak pernah ia dengar teori semacam itu.

Beberapa menit kemudian, pertemuan selesai. Bintang mengucapkan salam perpisahan dan terima kasih pada Aurora di depan kafe, kemudian menyeberangi simpang empat lalu menghilang ditelan kerumunan. Di sebuah gang kecil dengan lampu jalan yang nati, seorang pemuda berjaket jeans bersandar pada dinding. Langkah kaki Bintang menggema, membuat pemuda itu bangkit dan mengangkat topi nilanya.

"Bagaimana, Pak?" Tanya pemuda itu.

"Lancar. Ayo kita pergi." Bintang memimpin jalan sementara pemuda kurus itu mengikuti di belakangnya.

Dari depan pintu kafe, Aurora memperhatikan semuanya. Meskipun jalan ramai dengan orang-orang, mustahil baginya melewatkan kesempatan ini. Setelah Bintang dan rekannya benar-benar hilang dari pandangan, Aurora mengangkat tangannya untuk menghentikan sebuah taksi. Dia masuk ke kursi penumpang dan mengarahkan jalan pada supir.

Indonesia hanya memiliki dua musim tiap tahunnya. Tidak ada yang namanya terlalu panas atau terlalu dingin untuk beraktivitas di luar ruangan. Namun Juni tahun ini benar-benar kejam dengan Kota Slawi. Angin begitu kencang dan gerimis jatuh setiap hari, hampir selama 24 jam per hari. Ditambah dengan letak geografisnya yang cukup dekat dengan banyak pegunungan, atmosfer seolah akan membuat siapapun merinding kedinginan.

Masyarakat tidak biasa dengan penghangat ruangan. Jadi satu-satunya pilihan mereka adalah menutup rapat semua pintu dan jendela. Semakin sore, cuaca semakin parah. Hujan mulai lebat, menyatu dengan angin yang menggoyangkan ranting.

Di luar begitu ramai oleh unsur Bumi. Tapi Bintang begitu tenang menatap semua berkas di meja kerjanya. Suara air yang mengalir mengisi ruangan 5×7 meter itu. Asap panas mengepul dari dispenser yang menyala dengan warna merah. Pemuda rekan Bintang berjalan pelan ke arahnya dengan segelas kopi.

Pemuda itu mengikuti garis pandang Bintang dan bertanya, "Apa dia menemukan lebih banyak dari kita, Pak?"

Bintang yang masih tenggelam dalam pikirannya hanya menjawab, "Hm."

"Sungguh? Apa yang bisa dia temukan tapi kita tidak?"

"Hm? Apanya?" Bintang tersadar dan memandang pemuda di depannya dengan linglung.

"Kau bilang dia menemukan lebih banyak dari kita?" Pemuda memastikan apa yang dia dengar. Pasalnya, dia tahu persis kebiasaan seniornya ini. Kala sedang serius dengan suatu urusan, Bintang yang ditanya akan jadi seperti orang setengah tidur setengah sadar. Menjawab dengan asal-asalan tanpa tahu apa yang sebenarnya ditanyakan.

"Ah, ya. Tidak juga." pemuda itu semakin bingung.

Setelah cukup lama, Bintang kembali mengeluarkan suaranya.

"Sama persis, namun ada beberapa tambahan," Bintang meraba tiap saku yang melekat pada tubuhnya, namun tidak menemukan apa yang ia cari, "Yogi, ambilkan aku pulpen."

Yogi, pemuda itu, berbalik ke meja kerjanya dan memgambil sebuah pulpen hitam lalu memberikannya pada Bintang. Tindakannya penuh ketulusan namun Bintang menerimanya bahkan tanpa menoleh sedikit pun.

Tangan kekar Bintang menggenggam mantap pulpen hitam itu. Jari-jarinya yang panjang dan kurus menggerakkan ujung pulpen dengan tegas. Lingkaran demi lingkaran dibuat di tepi beberapa kata. Bintang mengoreksi lembar itu dengan teliti. Setelah mencapai bagian terbawah, Bintang akhirnya mengangkat kepala.

"Simpang Lima, hotel, asuransi, motor, dan setelan jas. Tiga bulan yang lalu, pria ini menginap di hotel di daerah Simpang Lima selama beberapa malam. Kemudian mendatangi kantor asuransi yang ada di sana. Dia mengambil uang asuransi dari kematian istrinya tahun lalu. Lalu uang itu ia belikan motor impiannya dan setelan jas hitam baru. Apa para akuntan membutuhkan setelan jas untuk bekerja?" Bintang mengangkat alisnya pada Yogi.

"Ya, selalu ada event formal yang tak mungkin cukup hanya dengan kemeja polos, kan?" Yogi menjawab dengan ringan lalu meminum kopinya perlahan.

Pintu ruangan dengan pencahayaan redup itu tiba-tiba terbuka. Kepala seorang pria menyembul dengan senyum merekah.

"Tok, tok, tok."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top