7: Si Penurut
Cinta mengetuk pintu rumah minimalis dua lantai di sebuah perumahan cluster kecil tempatnya tumbuh. Tak lama kemudian, seorang perempuan berusia sekitar akhir 40 tahun membuka pintu.
"Hey, masuk yuk! Bantuin Ibu dulu di dapur sebentar," kata ibu tersebut setelah melihat Cinta.
"Iya, Bu." Cinta tersenyum dan masuk ke dalam rumah. Ayahnya duduk di ruang tengah dengan layar laptop di hadapannya. Pria itu sangat fokus sampai-sampai tak menengok saat sang putri menyalami tangannya.
"Serius banget, Yah."
"Deadline besok, Cin." Sang Ayah lanjut mengetik. Menjabat sebagai Direktur sebuah divisi perusahaan finansual membuat pria itu kerap lembur di rumah. Lucunya, Ayah Cinta lebih suka bekerja di ruang utama, tempat keluarga beraktivitas. Kata sang Ayah, ia bisa lancar mengerjakan pekerjaannya jika mendengar interaksi keluarganya.
Cinta dan sang ibu tertawa sejenak melihat satu-satunya pria di keluarga mereka beradu dengan waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Kedua perempuan itu pun ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
"Nanti setelah siap, kamu mandi dulu ya, Cin. Handuk sama baju udah ibu siapin di kamar kamu," kata ibu Cinta sambil memotong-motong mentimun. Sementara itu, Cinta menyendok kari ayam yang ada di kuali ke dalam sebuah wadah. Cinta sangat suka memakan kari ayam. Mungkin karena itu sang ibu menghidangkan makanan tersebut malam itu.
"Cinta bisa siapin sendiri kok, Bu," protes Cinta. Sudah berulang kali ia berkata bahwa dirinya lebih suka memilih pakaiannya sendiri, meskipun itu adalah pakaian rumah. Namun, si ibu tidak pernah berubah. Perempuan tua itu tumbuh dengan memilihkan semua keperluan putrinya setidaknya selama dua puluh tahun.
Ibu Cinta menggeleng, "Kalau kamu yang ambil, lemari jadi acak-acakan. Ibu nggak suka."
"Ibu ingatnya masih aja kebiasaan aku pas kuliah. Sekarang aku kalau ambil pakaian di lemari udah nggak asal tarik, Bu. "
"Kamu tuh udah enak tinggal bersih-bersih, pakai handuk dan baju yang ibu siapin, kenapa bawel ngebantah ibu sih?"
Cinta tersenyum dan menggeleng. Ibunya masih seperti biasa. Keras kepala dan bermulut pedas. Namun, Cinta tak mengambil hati nada ketus sang ibu. Cinta tahu bahwa itu adalah bentuk perhatian ibunya.
"Kantor gimana, Bu?"
"Yah, biasalah, Cin. Sibuk sama laporan akhir tahun. Ayo, taro di meja terus kamu langsung mandi." Ibu Cinta menunjuk meja makan dengan dagunya.
Cinta tersenyum lebar melihat sang ibu yang begitu fokus pada sajian makan malamnya. Meskipun menjabar sebagai senior manager di sebuah bank multinasional, ibu Cinta paling malas membicarakan pekerjaannya di rumah. Ia lebih senang mengurusi keluarganya.
Perempuan itu selalu Cinta jadikan sebagai panutan. Seorang ibu bekerja yang memiliki tenaga ekstra untuk mengurus keluarga dan kehidupan profesional sekaligus.
Rasa hormat itu membuat Cinta menurut tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ia segera mandi setelah selesai membantu sang ibu. Lalu, Cinta pun memakai kaus rumahan dan celana gombrong selutut. Selesai berpakaian, ia bergabung dengan ayah dan ibunya di meja makan.
Setelah ayah dan ibunya mengambil makanan, Cinta pun mulai menyendokkan nasi ke piringnya.
"Makan yang banyak, Cin. Kamu kok makin kurus sih ibu lihat-lihat?" ujar sang ibu.
"Beratku malah lagi naik loh," jawab Cinta.
"Masa'? Nggak kelihatan ah. Bohong ya kamu?" tanya sang ibu.
"Ih, ibu. Ini gara-gara gen turunan ibu juga nih. Makan banyak, badan tetap kecil," jawab Cinta.
Ayah Cinta tertawa, "Untung bukan gen papa yang nurun. Makan dikit, buncit."
Ibu dan Cinta tertawa, apalagi saat sang ayah menepuk-tepuk perutnya. Mereka pun melanjutkan makan malam mereka. Suasana sudah semakin hangat saat Cinta menangkap orang tuanya bertukar pandang.
"Cinta," ayahnya mulai masuk ke inti diskuso mereka malam itu, "Ayah mau kamu bertemu dengan Handi."
Cinta seharusnya sudah menduga kalimat itu saat orang tuanya gigih menceritakan tentang putra kerabat mereka yang hebat itu. Ia juga seharusnya siap saat menerima ajakan makan malam yang sangat dipaksakan oleh ayah dan ibunya ini.
Namun, sebersit rasa kecewa masih mampir di hati Cinta. Ia berharap pertemuan dengan orang tuanya tidak melulu fokus pada pencarian pria untuk ia nikahi.
"Ibu sama ayah ini udah gagal bikin kamu lebih perhatian untuk urusan jodoh, tapi sekarang kami mau memperbaiki itu semua. Handi itu keluarganya baik, kaya lagi. Ibu juga sudah pernah ketemu dia, anaknya santun, Cin."
Biasanya, setelah kalimat pembuka yang merupakan ultimatum dari ayah, cerita panjang lebar dari mulut ibu pun mengikuti.
"Hm ...." Hanya itu yang dapat Cinta utarakan. Dadanya terasa tak nyaman karena mati-matian menahan insting untuk memberontak.
"Udah pokoknya serahin ke Ayah dan Ibu. Susah kalau nungguin kamu dapat pasangan sendiri," ujar ayah Cinta.
"Aku bisa usaha juga, Bu, Yah. Ini Citra ajarin aku pakai aplikasi kencan online." Cinta berusaha mempertahankan posisinya agar masih dapat memilih.
Dentingan keras yang berasal dari alat makan yang beradu dengan piring pun terdengar dari ibu. "Aduh, Cintaaa! Kamu tuh masih temenan sama Citra itu?!"
"Kan dia teman kantor Cinta, Bu. Kita sering kerja bareng buat pitching ...."
"Kamu kok nggak ngerti juga sih?! Ibu sama Ayah kan udah sering bilang kalau Citra tuh perempuan liar."
"Bu, jangan ngomong gitu. Dia itu teman kantor Cinta. Selama ini baik sama Cinta."
"Ibumu benar, Cinta. Lihat, kamu jadi suka ngejawab ayah dan ibu setelah kenal Citra. Perempuan itu nggak bener. Pakaiannya aja suka kebuka-buka, nggak ada malunya." Ayah Cinta mulai maju, membela sang ibu untuk memastikan anaknya paham bahwa orang tuanya benar.
Pria tua itu menggeleng resah. Ia begitu tak suka melihat Cinta yang dekat dengan perempuan yang memiliki pergaulan bebas seperti Cinta. Sementara itu, ibu Cinta memajukan tubuhnya ke arah sang anak.
"Nggak ada perempuan baik-baik bersikap dan berpenampilan seperti Citra, Cin," ujar sang ibu.
"Yah, Bu ...."
"Terus kamu percaya lagi diajarin kencan sama orang yang nggak jelas asal-usulnya. Kalau cowoknya udah nikah gimana? Kalau penjahat kelamin gimana? Banyak loh kasusnya, penipuan dan kekerasan seksual yang berawal dari mainan aplikasi gitu. Kamu nggak takut apa?" Tanpa menunggu penjelasan Cinta, sang Ayah pun mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak ia harapkan jawabannya.
"Tapi, Yah--"
"Pokoknya Ayah nggak setuju." Lagi, ayah Cinta mengeluarkan ultimatumnya.
"Ibu juga. Kami susah payah menjaga kamu sampai sebesar ini, Cinta. Jangan kamu rusak kerja keras kami dengan persikap liar kayak teman liar kamu itu." Lagi, ibu Cinta mengeluarkan pendapatnya.
Cinta bungkam. Ia tak ingin membantah orang tuanya lebih jauh. Mereka jarang makan bersama dan anak semata wayang itu tahu bahwa hanya kepatuhan yang dibutuhkan orang tuanya.
Malam itu, Cinta urung membahas Yugo kepada ayah dan ibunya. Mungkin akan lebih aman untuk memperkenalkan pria itu setelah mereka sama-sama bertemu dan yakin dengan hubungan mereka.
(((Bersambung)))
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top