6: Match yang Nyata
"Good job semuanya. This is a huge win karena kita mendapatkan kontrak kerja sama untuk lima tahun. Saya harap effort kalian akan tetap maksimal dalam memfasilitasi NusaGo sebagai klien kita nanti."
Tepukan tangan memenuhi ruangan besar yang mirip aula setelah Dharma mengumumkan kemenangan pitching dengan perusahaan NusaGo. Saking senangnya dengan kemenangan ini, Direktur, CEO, dan COO perusahaan memutuskan untuk mengadakan jamuan makan siang di kantor.
Jajaran makanan prasmanan yang menggugah selera memancing senyum bahagia para karyawan. Satu per satu mereka mengambil makan dan menyantapnya sambil bersenda gurau.
"Wow, thai saladnya enak banget!" Citra yang sedang duduk bersama Cinta menunjuk piring berisi salad dengan garpunya. Cinta mengangguk bersemangat.
"Di restoran, seporsi seratus ribu. Ini all you can eat gratis. rezeki nomplok nih," timpal Cinta. Citra terkekeh mendengar sahabatnya dan berkata, "berasa menang banyak kita."
"Eh, gue mau ngambil bakso. Lo mau?" tanya Cinta. Citra mengerutkan dahi.
"Cepet banget lo makannya. Boleh deh," jawab Citra.
"Cinta, Citra, ke ruangan saya habis makan." Perintah Dharma itu membuat langkah Cinta terhenti. Keduanya kompak mengangguk.
"Buruan dihabisin." Cinta menyikut lengan Citra.
"Cin, Bapak bilang habis makan. Kita makan bakso dulu lah, baru ke ruangannya," protes Citra.
"Gue nggak enak kalau Pak Dharma sampai nungguin."
"Sebentar aja kok, kan bukan makan nasi. Udah sana ambil baksonya. Makin lama lo ambil, makin lama kita biarin Pak Dharma nunggu."
"Ya udah, sebentar ya."
Citra menyelesaikan saladnya sementara Cinta mengambilkan keduanya seporsi bakso. Keduanya menikmati makanan berkuah itu tanpa bicara. Mereka berusaha makan dengan efisien dan bergegas menuju ruangan Dharma.
"Masuk," ujar Dharma setelah melihat kepala Citra melongok ke dalam ruangannya. Citra dan Cinta pun duduk di hadapan atasannya itu.
"Saya mau memberitahu bahwa NusaGo harus diurus langsung sama kalian. Owner-nya meminta kita untuk memastikan bahwa pencetus ide campaign untuk tahun depan akan mengurusi mereka secara langsung lima tahun ke depan. Karena ide itu munculnya dari kalian, kalian juga yang taking control dan supervision untuk proses campaign tersebut."
Citra dan Cinta langsung memasang wajah serius ketika Dharma mengungkapkan tugas mereka berdua.
"Kita harus prepare untuk meeting dengan owner NusaGo. Dia punya beberapa visi yang ingin di-support lewat media campaign. Kalian berdua harus bisa providing kebutuhan itu," lanjut Dharma.
"Meeting-nya kapan kira-kira, Pak?" tanya Citra penasaran. Dahi Dharma berkerut.
"Kok nanya saya? Kan baru saya kasih proyeknya ke kamu dan Cinta," balas Dharma dengan nada ketus. Citra memanyunkan bibirnya. Mana dia tahu bahwa rapat yang dimaksud itu ternyata belum ditentukan waktunya?
"Nanti saya hubungi pihak NusaGo untuk meeting sama owner mereka, Pak." Dengan cepat Cinta berinisiatif bicara agar Dharma dan Citra tidak sibuk adu mulut.
"Good, Cinta. Saya, Iwan, dan Gading tidak ikut ya. Kalian bawa anak buah kalian aja. Masing-masing bawa satu bisa, buat bantu catat," titah Dharma.
"Oke, Pak," balas Citra sementara Cinta mengangguk serius. Ponsel Dharma berbunyi.
"Delish? Lagi meeting sebentar ya. Nanti aku telepon. Oke, video call. Iya. Iya. Ehm, ada Citra sama Cinta di hadapan aku ...." Dharma menatap kikuk kedua anak buahnya sebelum berucap pelan, "I love you, Delish."
Dharma meletakkan ponselnya. Pipi Cinta memerah sementara wajah Citra seolah sudah mau meledak saking gemasnya.
"CIE BAPAAAK! Paling suka nih saya kalau Bu Delish udah telepon!" Seruan dan ledakan tawa Citra memenuhi ruangan Dharma. Atasannya itu hanya melirik risih.
"Berisik kamu." Dharma menjadi salah tingkah. Pria itu memang paling tidak bisa menolak permintaan sang istri kapanpun, di manapun. Termasuk saat Delisha -- istri Dharma -- meneleponnya karena rindu tadi.
Dharma memang rutin lembur selama sebulan ke belakang demi laporan tahunan para klien sehingga jarang bertemu anak dan istrinya di rumah. Hal itu membuat Delisha menjadi lebih manja dari biasa. Namun, tak peduli bahwa keadaannya bisa menjadi begitu memalukan, Dharma tak pernah mengabaikan keinginan sang istri.
"Dibilangin apa sama Bu Delish, Pak, sampai nekat bilang cinta di hadapan anak buah?" ujar Citra sambil menaik-naikkan alis. Perempuan ini paling senang jika Dharma yang galak ditaklukkan istri sendiri. Setidaknya Citra masih bisa melihat sisi manusiawi Dharma.
"Cit ...." Cinta menyenggol bahu sahabatnya dengan sikut. Situasi terasa begitu canggung baginya.
"Kamu semangat banget ya pagi ini? Bagus-bagus, bisa compiling annual report semua klien dong ya?" ujar Dharma pada Citra.
"Dih, kok saya? Tugasnya Mas Iwan kan itu?" kilah Citra.
"Sekarang tugas kamu."
"Ini belum tahun baru ya, Pak. Belum ada annual report." Citra pun menolak dengan sengit.
"Sampai Q3 nggak masalah. Now, go. Do your job."
Perintah Dharma sudah final. Citra hanya bisa kembali manyun. Dia ke luar dan hendak disusul Cinta.
"Cinta," panggil Dharma.
"Ya, Pak?" Cinta yang sudah dekat pintu keluar berbalik menghadap sang atasan.
"Kalau nggak sibuk, bantuin Citra. Kerjain report bagus untuk kalian lebih mengenal relasi dengan klien."
Cinta tersenyum dan menjawab, "Baik, Pak."
Cinta menyusul Citra yang kini berjalan menuju ruangannya. Wajahnya sudah sangat kusut.
"Tenang, nanti gue bantuin. Kerjain di ruangan lo aja ya?" ujar Cinta tanpa diminta. Citra mendengkus dan melipat tangan di depan dada.
"Sensi banget si Bapak. Ketahuan cinta-cintaan di kantor gitu tuh ...."
Cinta tak menjawab. Ia hanya tersenyum melihat Citra bersikap layaknya remaja nakal yang baru saja dihukum ayahnya. Ia bisa saja bilang kepada sahabatnya bahwa Dharma sedang mengasah mereka menjadi seorang planner dan investment yang hebat, tapi hal lain membuatnya tetap bungkam.
Saat ini, ada yang lebih memenuhi kepala Cinta ketimbang pertengkaran ala ayah-anak tadi. Ucapan terakhir Citra membuatnya mengingat seseorang.
"Lo kenapa, Cin? Tumben kalem, nggak ngebelain Pak Dharma," tanya Citra, membuyarkan pikiran sahabatnya.
Cinta menggeleng. Dia masuk ke dalam ruangan Citra, menarik napas panjang, lalu berucap cepat, "Gue ... kayaknya gue jatuh cinta sama match gue."
"What?!" ujar Citra tak percaya.
"Iya!"
"Ah, serius lo, Cin ...."
Cinta mengangguk, "Gue nggak pernah ngerasa kayak gini sebelumnya."
"Wait, apa lo nggak terlalu cepat ngambil kesimpulan? Feelings could fade, nggak peduli sekuat apa pun rasanya."
"Tapi, yang ini rasanya beda, dan gue suka. It's worth a try, isn't it?"
Citra khawatir. Meskipun bernama Cinta, sahabatnya itu benar-benar polos tentang perasaan itu. Cinta berkali-kali didekati laki-laki dan tanpa sadar menolak tiap pria yang datang. Alasannya macam-macam, tapi yang jelas insting percintaan perempuan itu memang tumpul.
Namun, Citra tak ingin rasa khawatirnya menutup kesempatan Cinta untuk mengeksplorasi diri dan emosi. Citra pikir, ada baiknya Cinta mulai menghadapi urusan personal ini.
"Do what you think right. Gue pasti support kok, Cin."
"Nanti malam gue nginap di tempat bonyok. Gue mau ceritain match gue ke mereka."
"Semangat! Ingat, kalau mereka nggak setuju, belum tentu itu jadi hasil akhir hubungan lo."
Cinta mengangguk, mengiyakan ucapan Citra tadi. "Gue akan pelan-pelan ceritain tentang cowok ini. I want it so bad, Cit ...."
Citra memeluk Cinta, mencoba memberikan kekuatan untuk mempertahankan keinginan itu di hadapan orang tua sahabatnya nanti, "Good luck, Cin."
Cinta tersenyum bahagia. Pelukan dari sahabatnya itu bagai obat penenang yang membuatnya lebih berani.
"By the waaay, tahu nggak? Madam rose itu lagi bikin event loh." Citra merangkul dan menggiring sahabatnya untuk menuju ke ruangannya.
"Event?" tanya Cinta.
"Kalau lo sama match lo ikutan daftar, kalian bisa ditraktir dinner gratis sama si madam. Tahun lalu gue kebagian jatah dinner itu. Tahun ini lo coba aja, seru banget loh. Hari ini last day submit form-nya," jelas Citra dengan penuh semangat.
"Oooh ...." Cinta membalas tanpa antusias.
"Dih, kok gitu doang reaksinya? Lo mau ketemu nggak sama match lo?"
"Nggak tahu. Gue video call sama dia aja rasanya kayak jantungan, Cit."
Citra tertawa, "Cinta, berapa cowok yang bisa bikin lo ngerasa kayak gitu so far?"
Cinta berpikir, lalu mengangkat satu jari telunjuknya.
"Then you should do this. You owe it to yourself. Mana hape lo?"
Cinta memberikan ponselnya pada Citra. Dengan cepat Citra mengisi formulir pendaftaran event yang berjudul "DINNER WITH MADAM ROSE". Data diri, alasan mendaftar, serta pengalaman berkencan Cinta ia ketik dengan lancar. Cinta hanya mengamati sambil menatap kagum. Dirinya mungkin butuh satu sampai dua jam sendiri untuk mengisi formulir online tersebut.
"Eh, nama match lo siapa nih? Biar gue tag," ujar Citra. Buru-buru Cinta ambil ponselnya dari tangan sang sahabat.
"Gue aja!" kata Cinta sambil buru-buru membelakangi Citra untuk menyembunyikan layar ponselnya.
"Iiih ... malu-malu. Basi lo Cin."
"Biarin." Cinta mencari nama Yugo dan segera menekan tulisan "Submit".
"Good luck ya, abege tua," ujar Citra sambil menepuk-tepuk kepala Cinta.
"Meanwhile, ayo kita kerjain annual report."
"Nooo ...." Citra meringis sementara Cinta menarik tangannya. Sepertinya sisa hari itu akan sangat melelahkan bagi si kembar dari Adplus ini.
***
"Jangan lupa nanti malam ya, Go." Suara Keigo dari seberang telepon membuat Yugo mendesah panjang. Nanti malam. Kalau bukan karena adiknya, sudah pasti ia memilih melupakan acara tersebut dan menikmati waktu santai di apartemennya sendiri.
"Kakek datang?" tanya Yugo memastikan.
"Pasti datang lah. Kan mau ngomongin rencana nikahannya gue sama Vannya."
"Emang dia masih sudi ketemu gue?"
"Go, please. Lakuin buat Mama sama Papa. Kasihan mereka."
Yugo memejamkan mata. Ia tak bisa membayangkan perasaan orang tuanya, terbelah antara anak dan satu-satunya orang tua yang masih hidup.
Kakek Agam memang luar biasa. Kuat, berkuasa. Bahkan setelah pensiun, pria tua itu tetap berdiri gigih memimpin keluarganya. Hanya satu anggota keluarga yang tak bisa ia atur, yaitu Yugo.
"Go?" Panggilan Keigo membuyarkan lamunan Yugo tentang keluarganya.
"Gue nggak mau datang ke acara lo nanti justru karena kasihan sama Mama dan Papa, Kei. Lo kan tahu gimana hubungan gue sama Kakek sejak tujuh tahun lalu."
Bukannya prihatin, Keigo malah tertawa. "Nggak mungkin lupa, Go! Bukannya mikirin nikah dan ngambil alih perusahaan, lo tiba-tiba mutusin cabut dan ngerintis bisnis sendiri. Plot twist banget!"
"Gue masih inget gimana ngamuknya Kakek waktu itu. Lo pikir dia akan melunak kalau lihat gue di acara keluarga nanti?"
"Go, ini Kakek Agam. Nggak usah terlalu berharap. Tapi, gue tahu satu hal. Mama sama Papa mau lo mencoba memperbaiki hubungan sama Kakek."
Yugo mendesah, "I'll do my best then."
"By the way, gimana tuh cewek madam?" tanya Keigo. Paham bahwa kakaknya tengah merasa berat hati, Keigo mencoba meringankannya dengan mengajak sang kakak membicarakan petualangan dalam mencari pasangan. Senyum Yugo langsung mengembang. Seketika ia teringat Cinta.
"Cewek yang lo pilihin waktu itu, gue udah dua minggu lebih ngobrol sama dia," jawab Yugo. Nada suaranya masih tenang, tapi senyumnya lagi-lagi mengembang.
"How is she?"
Yugo menatap langit-langit ruangan kantornya. Wajah Cinta yang tersenyum salah tingkah terbayang jelas di bidang polos itu. Pria itu merasakan desiran di dadanya. Dengan setengah menerawang, ia berkata,
"I think this one is my real match."
***
Haloha~
Aku mau mengabarkan bahwa besok kemungkinan libur update dulu ya.
Sekian kabarnya. Hahaha ....
See you on next chapter~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top