11: Kesan Campur Aduk
Cinta berdiri kaku meskipun senyuman manis tersemat di wajahnya. Desiran kuat mengalir di sekujur tubuh kala melihat Yugo yang tak berkedip menatapnya. Pria itu tampak penuh karisma di mata Cinta.
Pria itu tampak gagah dan tampan. Sama seperti Cinta, Yugo kelihatan tengah menganggap pertemuan ini sebagai hal yang serius.
"Halo, Bu Cinta. Eh, panggil Mbak aja kali ya?" Suara head project membuat Cinta tersadar. Ia memberi senyum kepada perempuan yang terlihat sepantaran dengannya itu.
"Hai, Cinta." Yugo berdiri. Ia merentangkan tangan pada Cinta yang langsung disambut dengan jabat tangan yang kuat.
"Halo. Akhirnya ketemu juga," balas Cinta.
"Loh, ini pertemuan pertama kalian?" tanya head project madam rose. Yugo dan Cinta saling tatap, lalu kompak bertukar senyum.
"Iya," jawab Cinta.
"Pertama kali ketemu langsung," tambah Yugo.
Kekompakan pasangan tersebut membuat insting head project untuk membuat narasi dalam dokumentasi itu muncul. Ia pun segera membuka acara kencan tersebut dengan menyuruh Cinta dan Yugo duduk berdekatan.
"Kurang dekat Mas dan Mbaknya. Coba geser lagi," kata si head project dengan penuh semangat. Kameramennya pun tak kalah semangat mengambil gambar pasangan rupawan di hadapannya.
"Anu, ini udah nempel banget, Mbak," jawab Cinta malu-malu.
"Coba dirangkul Mbak Cinta-nya, Mas." Lagi, pihak madam rose itu pun masih semangat memanas-manasi.
"Sudah lewat waktu makan malam. Kapan kita bisa mulai?" tanya Yugo dengan nada tegas, membuat head project dan kameramen sama-sama segan.
"Ma- maaf, seru banget pengambilan gambar kali ini. Kalian cocok banget!" Head project itu mengangkat kedua ibu jarinya. Cinta mendengkus pelan, menahan tawa. Lumayan, karena ulah head project itu, ia jadi tak begitu gugup berdekatan dengan Yugo
Head Project itu memberi kode kepada pelayan di luar, lalu berkata, "Saat ini, chef yang akan memasak di hadapan kalian sedang dipanggil. Di lima menit pertama beliau masak, kami akan mendokumentasikan kegiatan kencan ini. Interaksi kalian, ekspresi kalian. Tapi, jangan tegang, nggak usah jadi dibuat-buat gelagatnya. Pokoknya santai aja ya."
Yugo tersenyum mengiyakan sementara Cinta mengangguk pendek. Rasanya aneh. Menegangkan sekaligus menantang.
Tak lama kemudian, seorang chef datang dan memperkenalkan diri. Dia adalah chef yang akan melayani pasangan dari madam rose itu Cinta melihat resah sekelilingnya, lalu mencondongkan tubuh pada Yugo untuk berbisik pelan, "Go, kita pesan makannya gimana ya?"
Yugo tersenyum, "Tadi saya tanya ke pelayannya, katanya sudah disiapkan oleh pihak madam. Kita tinggal makan aja."
"Saya nggak pernah ke restoran kayak gini, tapi kayaknya ini tipe yang chef-nya masak di depan kita itu ya?"
Yugo mengangguk, "It's fun, you'll gonna love it."
"Kamu udah pernah makan di restoran seperti ini?"
"Pernah, sama keluarga saya."
"Oooh ... saya mainnya kurang jauh nih berarti. Hehehe."
"Paling jauh mainnya ke mana?"
Pertanyaan Yugo terpotong karena chef di hadapan mereka sudah mau mulai memasak. Dengan cekatan chef tersebut mempersiapkan bahan masakan dan memanaskan minyak di atas penggorengan. Cinta bersemangat melihat alas penggorengan berdesis dan sedikit terpekik saat api muncul di atas penggorengan. Yugo menikmati tiap ekspresi Cinta, apalagi saat perempuan itu bertepuk tangan pelan melihat chef melempar-lemparkan masakannya ke udara.
Head project dan kameramen puas mengambil gambar dua sejoli yang saling mencuri tatap itu. Setelah beberapa menit berlalu, mereka benar-benar pamit dan membiarkan pasangan itu menikmati sisa acara kencan mereka.
"Good luck ya, Mas dan Mbak-nya," ujar sang head project sebelum pergi. Bertepatan dengan itu, makanan pertama Yugo dan Cinta pun sudah jadi. Mereka bersiap menyantap makanan.
"Pertanyaan saya tadi belum di jawab." Yugo pun berinisiatif membuka kembali percakapan mereka.
"Eh? pertanyaan apa?" tanya Cinta setengah panik. Untung dia pandai menyembunyikan kepanikannya, sehingga saat ini ia tetap terlihat tenang dalam menghadapi lawan bicara yang tak habis-habis membuat jantungnya berdetak kuat.
"Main kamu yang paling jauh. Ke mana?"
Hmm ...," Cinta menatap langit-langit, mengingat-ingat sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Jogja."
"Jogja?"
"Iya. Saya wisata kuliner di sana sampai perut begah berhari-hari. Belum lagi tempat wisatanya yang macam-macam. Goa Pindul, Kalibiru, seru banget main ke sana!"
"Kamu ngomong seolah itu achievement besar buat kamu."
"Well, kalau kamu dibesarkan dengan orang tua yang bahkan nggak ngasih izin anaknya pergi tour ke kebun raya, liburan ke Jogja sama teman-teman memang akan menjadi achievement tersendiri."
"Kamu tahu? Pulau Jawa itu luas loh. Ada Surabaya, Wonosobo, Magelang ...." Yugo menatap Cinta sambil menahan dirinya agar tak memberitahu perempuan itu tentang apa yang telah dilewatkan sepanjang hidupnya.
Cinta tertawa, "Pelan tapi pasti, Yugo. Begitu cara saya meyakinkan orang tua bahwa saya bisa menjaga diri sendiri."
"Orang tua itu tidak akan melepaskan kita kalau kita tidak secara tegas berdiri di atas kaki kita sendiri," balas Yugo cepat. Ia merasa tak nyaman mendengar Cinta mengungkapkan cara perempuan itu dalam menghadapi orang tuanya.
"Yugo, kita mau lari menjauh juga nggak akan membuat orang tua melepaskan kita. It's their nature."
"To control us?"
"To protect us."
Yugo menahan napas. Tenggorokannya tercekat. Ia tak memahami Cinta sama sekali.
Cinta jelas kehilangan banyak hal dan dalam hidupnya demi memenuhi ego ayah dan ibunya. Bagi Yugo, hal itu sangat tidak masuk akal. Tidak seharusnya orang tua membawa-bawa kebahagiaan anak demi kepuasan pribadi mereka. Ia kasihan pada Cinta dan keterkungkungan perempuan itu.
Akan tetapi, kesabaran perempuan itu, serta kepatuhan Cinta terhadap orang tuanya, semua terasa menyerang Yugo saat itu juga.
Chef mulai memasak makanan selanjutnya, namun tanpa atraksi. Ia dapat melihat bahwa tamunya tengah melakukan percakapan yang cukup serius sehingga ia pun memutuskan untuk tak mengalihkan perhatian tamunya dengan berusaha menjadi pusat perhatian.
"Kamu tahu Yugo? They can't help it. Sejak kita lahir, keinginan untuk melindungi dan mempertahankan kita itu juga lahir di hati mereka." Cinta yang menangkap ketidaksetujuan yang disimpan Yugo mencoba menjelaskan kembali apa maksudnya.
"Tapi, orang tua tidak seharusnya berekspektasi bahwa kita terus mengikuti jalur yang mereka tentukan. Kita manusia, bukan robot," balas Yugo tetap tak mau kalah.
"Mungkin kamu benar, tapi saya lebih suka mengabarkan hal itu secara perlahan. Menumbuhkan kepercayaan dalam hati mereka sampai akhirnya mereka tenang melepas kita."
"Apa hal itu bisa berhasil?"
"Saya tinggal sendiri di sebuah apartemen dan pernah berjalan-jalan ke Jogja tanpa mereka. Semua hal ini nggak berani saya bayangkan saat SMA. But I grow and eventually they realize it."
"Tapi, belum terlalu menyadari bahwa putrinya sudah cukup dewasa untuk naik pesawat atau kapal?"
Cinta tersenyum, "Mereka pernah berada dalam masa di mana kita memasukkan jari ke colokan listrik, atau kipas angin. Masa di mana kita berlari menuju selokan. Kita nggak terlahir dalam kondisi menyadari bahaya di depan mata."
"But we learn and realize there are some risks we're willing to take."
"And we tell them that. Nicely. Saya nggak bilang itu adalah hal yang mudah. Tapi, itu bukan hal yang mustahil, Yugo."
Wajah Yugo kebas. Ia belum bisa memutuskan apakah dirinya menyukai atau justru membenci sudut pandang teman kencannya. Satu yang pasti, tiap penjelasan Cinta sukses menamparnya berkali-kali.
(((Bersambung)))
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top