Pysco-Kid
Dibuat pada bulan Februari, 2020.
***
Kata Mama dulu, anak kecil sepertiku saat meninggal nanti akan masuk surga karena kami masih memiliki jiwa yang suci.
Dan aku mempercayainya.
Maka, kubunuh semua teman-temanku agar mereka semua dapat masuk surga.
***
Aku tidak mengerti jalan pikiran orang-orang dewasa. Mereka semua jahat.
Mereka tega mengirimku ke tempat menyebalkan ini, memisahkanku dengan Mama yang sangat aku sayangi.
Kasihan Mama, dia pasti kesepian semenjak aku tidak ada di rumah. Papa sudah pergi saat aku masih berumur lima tahun. Sejak saat itu, Mama lah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Padahal, aku belum sempat membuat Mama bahagia. Aku ini anak yang nakal, hanya bisa membuat Mama sedih.
Aku harus pergi dari tempat menyebalkan ini!
Sekarang, aku tinggal di sebuah gedung besar serba putih. Kudengar, orang-orang menyebut tempat ini sebagai "Rumah Sakit Jiwa". Padahal, aku sama sekali tidak sakit.
Jika kusimpulkan dari namanya, rumah ini pastilah berisikan orang-orang yang sakit. Saat aku pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini dua tahun lalu, aku melihat banyak sekali orang unik.
Ada yang selalu tertawa, bahkan ketika berjalan maupun duduk. Dia melambaikan tangannya padaku yang waktu itu sedang dikawal Suster ke kamar baruku―tentu saja dia melakukannya sembari tertawa.
Dalam hati, aku sedikit iri dengan orang itu. Enak sekali ya dia, selalu tertawa bahkan tanpa memerlukan alasan. Pasti hidupnya sangat bahagia.
Ada lagi, aku pernah bertemu wanita yang selalu memeluk boneka porselen bergaya belanda. Saat itu adalah waktu makan siang. Aku tak sengaja mendapatkan kursi di samping wanita yang selalu membawa boneka itu. Begitu kenalan, ternyata namanya adalah Rossela.
Rossela adalah orang yang baik. Dia dengan rela memberikan beberapa potong apelnya untukku. Selama berada di tempat ini, aku cukup akrab dengan Rossela, karena dia memang ramah pada semua orang.
Namun, keramahan Rossela dapat musnah jika ada yang berani macam-macam bonekanya.
Aku pernah bertanya padanya, "Kenapa kamu selalu membawa boneka?"
"Jaga mulutmu, Zai!" bentak Rossela, membuatku tersentak dan mundur beberapa langkah karena takut. "Chaterine ini anakku! Dia bukan boneka!!"
Chaterine adalah nama boneka milik Rossela. Aku jadi merasa bersalah telah menyebut Chaterine sebagai boneka. Maka, aku meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya.
Rossela tersenyum. "Tidak apa, Zai."
Rossela sangat menyayangi Chaterine. Aku jadi teringat dengan Mama. Aku merindukan Mama.
Dua tahun berada di tempat ini, sejujurnya membuatku bosan. Aku ingin kabur, namun ketika aku mencobanya, pasti akan berakhir tertangkap. Yah, sebenarnya aku sengaja tertangkap agar dapat mengetahui seberapa ketat keamanan serta seluk beluk tempat ini. Suatu saat jika aku benar-benar harus pergi dari sini, maka aku akan dengan mudah melakukannya.
Tapi, entah mengapa berlama-lama di sini terasa memuakkan. Para suster itu menatapku dengan tatapan aneh, seakan aku adalah monster.
Aku sebal. Sekarang, aku mengerti perasaan mereka yang sudah tinggal lebih lama di tempat ini.
Mengerikan.
"Zai," panggil Suster dari ambang pintu.
Aku yang tengah duduk di tepi ranjang―menghadap jendela―pun menoleh. "Apa?" sahutku dingin.
"Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu, apa boleh?"
Aku membuang muka, mengayun-ayunkan kakiku yang tidak memijak lantai karena tidak sampai. "Terserah."
Selang beberapa saat, masuklah seorang wanita berjas putih ke dalam ruanganku. Aku mengenalnya, namanya Bibi Yuna. Dia satu-satunya orang baik yang memperlakukanku dengan layak, tidak seperti suster-suster menyebalkan itu. Mereka memperlakukanku seperti orang gila. Kenapa, sih? Padahal aku 'kan tidak gila. Mereka saja yang terlalu berlebihan.
"Zai," panggil Bibi Yuna lembut. Wanita paruh baya itu duduk di tepi ranjangku, menatapku hangat.
"Iya, Bibi!" balasku dengan senyum riang. "Apa yang membawa Bibi ke mari?"
"Bibi boleh bertanya?"
"Boleh!"
"Apa kamu ... yang membunuh kucing milik Suster Ria kemarin?"
Aku cemberut. "Bukan aku, Bi. Mana mungkin aku membunuhnya." Yah, aku tak sepenuhnya berbohong. Aku memang tidak membunuh kucing milik Suster Ria, aku hanya merebusnya saja. Tapi, kucing itu malah mati. Huft, lemah. Mau bagaimana lagi, 'kan? Mungkin sudah takdirnya.
Bibi menatapku beberapa saat, lalu tersenyum dan mengusap pucuk kepalaku. "Bibi percaya bukan kamu pelakunya, kok."
Uhh, Bibi Yuna baik sekali. Aku jadi ingin cepat-cepat mengirim Bibi Yuna ke surga.
"Oh iya, Zai. Ini Bibi ada surat dari Mamamu." Bibi Yuna menyerahkan amplop kepadaku. "Jangan lupa dibaca, ya. Pasti Mamamu sangat merindukanmu."
Aku mengangguk patuh. "Iya, Bibi. Aku juga merindukan Mama."
Setelah pengusap kepalaku, Bibi Yuna pergi keluar dari kamar. Dengan perasaan senang, aku segera membuka amplop tersebut dan membaca pesan yang tertulis di sana. Tulisan tangan tegak bersambung milik Ibu adalah hal pertama yang menyapaku.
Dear Zai anakku, apa kabar?
Bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja di sana? Apa kamu bahagia? Mama sangat merindukanmu
Entah ini sudah surat keberapa yang Mama kirim kepadamu, tapi tak pernah ada surat balasan darimu yang Mama terima. Entah apakah surat ini sampai di tanganmu atau tidak, Mama tidak tahu.
Zai, hidup dua tahun tanpamu membuat Mama kesepian. Suasana rumah tak lagi sama seperti biasanya. Mama benar-benar merindukanmu.
Mama ingin sekali mengunjungimu, namun Mama tidak bisa. Ada suatu alasan yang membuat Mama tidak bisa bertemu denganmu. Maaf ya?
Oleh karena itu, sepertinya ini adalah surat terakhir yang bisa Mama kirimkam untukmu. Mama ingin bertemu Papamu. Mama sudah tidak tahan hidup di kelilingi kesepian seperti ini.
Mama mungkin akan merindukanmu. Selamat tinggal, Zai.
Dari Mama yang selalu menyayangimu.
Aku meremas surat yang ada di genggamanku dengan emosi bercampur aduk. Apa maksud Mama ingin bertemu Papa? Mama mau bunuh diri? Kenapa??
Padahal, Mama bilang bunuh diri itu tidak baik. Jika Mama bunuh diri, maka bisa saja Mama masuk neraka dan tidak bisa bertemu Papa yang ada di surga.
Mama bodoh! Mama tidak boleh bunuh diri. Aku harus menghentikannya.
Aku harus pergi dari sini. Aku pasti bisa melakukannya. Umurku 'kan sudah sebelas tahun!
Eh, tapi sebelum aku pergi, aku harus memberikan hadiah perpisahan untuk Rossela dan Bibi Yuna dulu. Bagaimanapun, mereka berdua sudah baik padaku selama dua tahun aku tinggal di tempat ini.
Kulirik beberapa cupcake yang ada di nakas samping ranjangku. Itu dia! Aku bisa memberikan hadiah tersebut sebagai hadiah perpisahan!
Esok harinya, aku memberikan Bibi Yuna dan Rossela cupcake. Aku tidak bilang itu adalah hadiah perpisahan. Aku hanya bilang itu hadiah terima kasih dariku untuk mereka.
Sebenarnya, semalam aku sudah mengolesi cupcake itu dengan obat nyamuk yang berhasil kucuri dari resepsionis. Pasti mereka akan terkejut, hihihi. Aku tak bisa membayangkan wajah mereka saat mengetahui fakta bahwa cupcake tersebut beracun.
Ah, aku ingin sekali melihatnya, tapi aku tidak bisa.
Tekadku sudah bulat. Aku akan kabur dari rumah sakit ini.
Hari ini adalah jadwal pemeriksaan rutinku. Maka, aku meletakkan boneka teddy bear besar yang kudapatkan dari Bibi Yuna setahun lalu di atas ranjang, kemudian menutupinya dengan selimut. Di ujung selimut, aku sengaja meletakkan sepatu agar seolah-olah memang aku lah yang tertidur di sana.
Aku juga menulis surat untuk para suster bahwa aku sedang melakukan permainan petak umpet, agar mereka mengira aku memang sedang bersembunyi dan mereka harus mencariku. Lagi pula, mereka menganggapku gila. Mereka tak akan curiga.
Sempurna.
Jam delapan pagi, aku segera menyelinap ke parkiran rumah sakit dan menaiki mobil box yang akan mengantarku ke arah pusat kota. Aku sudah menghapal rute tiap mobil box serta jadwal datang-berangkatnya. Aku sudah memprediksikan segalanya.
Jam delapan lewat tiga puluh menit, mobil box berangkat. Semua berjalan sesuai rencanaku. Mudah sekali mengelabui orang dewasa.
Sekitar setengah jam perjalanan, mobil berhenti. Aku mendengar suara bising dari luar, yang mana berarti mobil ini telah tiba di tujuan. Semudah membalikkan telapak tangan, aku menyelinap ke luar dari mobil box tanpa diketahui.
Mobil ini berhenti di sebuah tempat pembuangan sampah. Pantas saja dari tadi aku mencium bau tak sedap. Ah, sudahlah. Aku tak memiliki banyak waktu untuk memusingkannya.
Aku berlari ke luar dari tempat pembuangan sampah, berjalan mengikuti trotoar hingga aku tiba di jalan yang familiar di pandanganku.
Memakan waktu cukup lama hingga aku menapakkan kaki di depan rumahku. Rasanya, ada sesuatu yang meluap di dadaku. Aku sangat merasa senang bisa melihat rumah yang telah lama tak kujumpai. Segera, aku membuka pintu yang ternyata tak terkunci. Rumahku tak begitu besar, hanya ada ruang tamu tepat di pintu utama, dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu dapur beserta ruang makan. Semua itu dicangkup oleh satu lantai saja. Mungkin rumahku ini terlihat kecil, tapi bagiku rumah ini adalah tempat ternyaman yang ada di dunia.
Aku segera berhambur masuk ke dalam rumah. Firasatku mengatakan bahwa Mama berada di Dapur, dan benar saja. Mama tengah berdiri di sana, menatap hampa meja makan yang begitu kosong.
Di tangan Mama, terdapat pisau yang begitu runcing. Di sepanjang lengan Mama, terdapat banyak luka sayatan. Mama pasti sangat sedih, sampai-sampai dia melukai dirinya sendiri.
Dapat kulihat Mama mengarahkan mata pisau ke lehernya. Sebelum Mama menyayat leher, aku sudah lebih dulu menarik tangan Mama dan berteriak, "Mama! Tolong hentikan!!"
Mama terkejut begitu melihatku, hingga tak sengaja menjatuhkan pisau yang ia genggam. Mama mencekeram erat pundakku dengan mata berbinar cerah. "Z-Zai ...?" Mama menyentuh pipiku. Tangan hangat Mama terasa menembus kulit, rasa yang telah lama tak kurasakan. "Zai, itukah kamu?"
Aku mengangguk. "Iya, Ma. Ini aku, Zai."
"Zai anakku." Mama langsung memelukku, menangis tersedu-sedu. "Mama sangat merindukanmu."
"Aku juga rindu Mama," balasku, "kenapa Mama melukai diri sendiri?"
Mama yang masih terisak pun menjawab, "Mama lelah tinggal di kehampaan ini. Mama ingin bertemu Papa."
"Tapi kata Mama dulu, kalau bunuh diri itu dosa dan bisa masuk neraka. Kalau Mama masuk neraka, mana mungkin Mama bisa menemui Papa yang berada di surga?"
Mama hanya diam tak menjawab, masih terisak pelan.
Aku menghela napas panjang. "Makanya, aku datang ke sini."
"Eh?"
Jleb.
Mama melepas pelukanku, lalu menunduk, menatap perutnya yang sudah tertancap pisau. Darah segar menyeruak keluar dari perut Mama, menetes lebat di lantai. "Z-Zai?"
"Mama ingin bertemu Papa 'kan?" Aku tersenyum. Tadi tanpa Mama sadari, aku berhasil meraih pisau tersebut dan menusuk perut Mama. "Maka, biarkan aku yang mengirim Mama ke surga. Dengan begitu, Mama pasti bisa bertemu Papa."
Mama menatapku dengan pandangan sayu. Detik berikutnya, tubuh Mama ambruk ke lantai. Aku hanya tersenyum melihatnya.
"Selamat tinggal, Mama. Semoga Mama bertemu Papa dan bahagia di atas sana."
***END***
Ih asli, tulisan macam apa ini? Ketahuan banget gak riset. 😭😭😭🙏
//sungkem.
Bentar, Vara maw numpang ngebacot dulu sebentar.
Yang gabut silakan baca bacotan Vara, gak mau baca juga gapapa karena ini emang bacotan unfaedah.
(Halah, kapan sih bacotan kau berfaedah, Var.)
Jadi kan Vara mau ngelanjutin syndromes, tapi Vara salah ngetik. //hah
Kan syndromes pakek PoV 1, sudut pandangnya si Anise, tapi Vara malah bikin di chapter terbaru itu PoV 3. 😭😭😭😭😭😭
//nanges.
Aselik, gara-gara keseringan bikin cerpen dan (sedang) bikin cerita PoV 3, cerita-cerita lama yang pake PoV 1 ikut kebawa PoV 3. 😭🙏
Pengen dibenerin tapi mager, udah mwah itu chapternya. 😭👉👈
Dah lah, nunggu mood ngebenerin aja. Niat hati mau update, malah keundur lagi. 😭🤲
Dah lah. Makasih yang mau baca curhatan unfaedah Vara. //sungkem.
🐣🐤🐥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top