○ tiga, cengkerama

Maaf baru bisa apdet sekarang.. Selamat membaca!

———✾

Langit malam dipenuhi bintang menemani [Name] menuju tempat pertemuan yang sudah dijanjikan. Tangannya memegang lampu pijar dalam kotak kecil transparan. Pekerjaan telah diselesaikan lebih cepat demi pertemuan kedua mereka. 

Walau sebatas cengkerama, bertukar cerita diselingi canda tawa, itu lebih dari cukup bagi [Name].

Dia yang terlalu bersemangat dengan teman barunya ini mendengar deras air. Kunci berlapiskan cairan logam khusus —Gaku memberinya agar tidak tersesat lagi— sudah ia goreskan pada setiap batang pohon [Name] lewati. Melirik lewat sudut matanya, cahaya yang berpendar meyakinkan dirinya untuk tidak perlu berbalik memastikan.

"Sudah menunggu lama? "

Pertanyaannya disambut senyum tipis, sedikit malu-malu namun menghangatkan milik teman barunya, Ryuunosuke. Setumpuk kayu kecil di dekatnya terbakar, membuat [Name] mematikan lampu kecil miliknya.

Pria berambut coklat mahoni menggeleng pelan, tangannya bergerak sebagai isyarat untuk menghampiri. Tanpa ragu, gadis bergelang kunci pendar berjalan cepat. Ryuu mengamati penampilan [Name], hampir tidak berbeda seperti pertemuan pertama mereka. Bedanya, tangannya membawa kotak kecil berwarna kelabu. Alisnya juga sedikit mengerut, mirip seperti Tsumugi sebelum menikmati teh mbahnya.

Antusias, [Name] duduk di samping Ryuu. Angin malam di pedalaman benar-benar berbeda dengan hembusan yang selalu [Name] nikmati di tempat tinggalnya. Kehangatan api unggun menambah kesan tersendiri untuk [Name]. Membiasakan dirinya dengan alam membuat [Name] tidak sadar Ryuu mengulurkan tangan ke arahnya. Tanpa izin, Ryuu menyentuh dahinya, memijat pelan diantara kerutan alisnya.

[Name] mengerjap, "Ngapain? "

Ryuu lantas tidak merespon. Butuh dua detik sebelum pemuda ini menjauhkan diri serta menyembunyikan tangan di balik punggung tegapnya.

"B-bukan apa-apa! Ah, itu... "

[Name] menatapnya penasaran.

"...alismu mengerut. Kalau lelah harusnya tidak usah kemari," tutur Ryuu dengan tangan menggaruk leher.

[Name] merengut, bersedekap dada. "Lalu membiarkanmu menunggu di sini? Sendirian? Aku menyelesaikan semua pekerjaanku lebih cepat demi Ryuu, loh. "

Semburat merah tertutup terangnya api unggun, Ryuu tertawa kecil menanggapi.

"Benar juga. Aku juga ingin bertemu [Name]. "

[Name] mengabaikan jantungnya yang melaju lebih cepat dari biasanya. Dia tersenyum lebar, senang atas jawaban teman barunya.

"Kita belum mengobrol lebih banyak. " Tiba-tiba, [Name] kembali berdiri, menarik ujung kain bajunya. "Tapi sebelum itu, izinkan aku berterima kasih kepadamu karena sudah menyelamatkanku. " Dia membungkuk dengan anggun hingga Ryuu diam dibuatnya.

"Ryuu? "

"M-maaf! Aku tidak tahu harus merespon apa.... " Ryuu refleks menundukkan kepala. Rasanya seperti ketahuan mencuri buah petikan Tsumugi yang biasanya Mitsu mengajak, malu.

[Name] terkejut sesaat, tidak berharap teman barunya bersikap demikian. Itu juga menyadarkan [Name] bahwa kini dia ada di hadapan teman barunya, bukan di depan ningrat-ningrat subjek kekesalannya bersama Gaku tiap kabur dari pesta sosial. Gadis ini memalingkan wajahnya.

"Aku juga minta maaf...."

Keheningan melanda kedua insan dari negeri berbeda ini sebelum tawa memecah. Keduanya tertawa, melupakan sejenak apa yang sebenarnya mereka tertawakan.

"Tadi itu cara kita, seorang putri dari Barat, berterima kasih. Bisa dibilang, hal yang sangat jarang karena secara natural bangsawan memiliki harga diri menembus langit."

Ryuu mengangguk paham. Itulah mengapa dia merasakan kekaguman di samping kebingungannya.

"Sangat anggun, cocok sekali dengan [Name]," ucap Ryuu dengan kagum. [Name] tertawa kecil, kembali duduk di samping Ryuu.

"Terima kasih kembali, " katanya sambil berkedip ke Ryuu.

"Jadi, apa terima kasihku diterima, tuan? "

"T-tuan— astaga, [Name]! "

[Name] tertawa kembali, menyenangkan melihat Ryuu yang ternyata mudah tersipu. Pemuda berambut coklat mahoni itu hanya bisa tersenyum sembari mengamati.

Setidaknya, kerutan alisnya berubah menjadi tawa lepas yang menghangatkan hati Ryuu.

"Tentu saja. Itu bukan hal yang besar, kok. Sekarang, boleh ceritakan lebih banyak tentang negerimu padaku?"

"Dengan senang hati! "

[Name] bercerita dengan semangat. Dari kerajaan, bangsawan, rakyat di negerinya, bagaimana kehidupan di sana hingga segala keluh kesah tentang mereka yang menyalahgunakan wewenang namun tidak bisa ditindaklanjuti karena kalahnya suara. Tangannya bergerak bebas memeragakan segala objek yang dia sebutkan. Ryuu sesekali merespon, sama antusiasnya. Mereka tenggelam dalam diskusi ringan yang mengasyikkan.

"Tidak semua bangsawan di negeriku seperti itu, omong-omong. Kakak— maksudku, Ratu yang memimpin saat ini sangat bijak. Ryuu paham bukan dari ceritaku, rasanya tidak biasa jika Raja mengabaikan permintaan para bangsawan hingga masalah terkecil saja. "

Ryuu menyentuh dagu dengan kepalan tangan, "Tapi, rasanya aku mengerti. Walau terlihat tidak adil, sebenarnya Raja juga memikirkan nasib rakyat. Apa kamu pernah mendengar permintaan bangsawan langsung disetujui begitu saja? "

[Name] membuka mulutnya, terdiam. Matanya bergerak ke atas, mengingat semua kebijakan yang ia hafal, kemudian menggeleng.

"Kan? " Ryuu tersenyum tipis.

"Iya, sih. " [Name] memanyunkan bibirnya, "tak jarang juga Ratu ikut andil dalam rapat kebijakan, walaupun tidak semua. "

"[Name]? "

Gadis ini menunduk lesu. Pemuda di hadapannya mulai panik. Dia menoleh ke kanan dan kiri, mencari apa yang membuat [Name] kembali tersenyum.

Tiba-tiba, [Name] dengan lantang berkata, "Baiklah! Aku akan belajar lagi nanti setelah pulang! "

Ryuu tentu terkejut, namun dia mengelus lembut kepala [Name].

"Memikirkan yang terbaik untuk rakyat saja sudah hebat, [Name]. "

Wajah [Name] menghangat, dia memanyunkan bibirnya kembali.

"Benarkah? Tapi Ryuu lebih hebat. Padahal kamu hanya mendengarkan cerita dariku dan semua pendapatmu seperti seorang yang sudah berpengalaman bertahun-tahun. "

Haruskah Ryuu menjawab 'Aku terlalu memperhatikanmu, merekam segala gerak dan ceritamu agar kau tidak merasa tidak nyaman bersamaku'?

Ryuu melirik ke arah lain.

Itu terlalu memalukan.

"Mungkin karena aku sering diajak paman dalam rapat seperti yang kamu ceritakan. "

Mata [Name] berbinar mendengar alasan temannya ini. Dia membusungkan dadanya, menatap kagum Ryuu.

"Tuh, kan! Aku saja hanya bisa mendengar dari Gaku dan kakak— maksudku, Ratu! Gadis sepertiku tidak diperbolehkan ikut, bahkan, menonton. Mereka selalu menatapku aneh setiap aku bertanya tentang hasil rapat kebijakan."

[Name] bersedekap. Kesal sekali mengingat dia selalu diremehkan tentang persoalan yang katanya wanita takkan pernah paham. Ryuu menjadi ingat dengan perjodohannya dengan Killa. Gadis di sukunya juga begitu, mereka tidak bisa membantah jika dijodohkan walaupun tak ingin. Segala keputusan ditangan pihak laki-laki, seakan pihak perempuan hanya pajangan. Padahal, pernikahan adalah peristiwa sakral yang melibatkan kedua manusia yang saling mencintai.

Rambut halus itu kembali diusapnya, Ryuu menyunggingkan senyum bangga. "Aku yakin kamu bisa menyuarakan pendapat-pendapat brilianmu kelak. "

"Itu sudah pasti! "

[Name] mengembungkan pipinya, membuat tangan Ryuu beralih mencubit pelan pipi [Name]. Tak mau kalah, gadis ini mengulurkan tangan untuk menangkup kedua wajah Ryuu.

Ryuu berhenti mengunyel-unyel pipi [Name]. Telinganya memerah. "[N-name]?"

Kemudian, [Name] balik menarik pipi Ryuu, gemas.

"Aduh— H-hei! Hwenhihan! (Hentikan!) "

[Name] mengamati sebelum tertawa menyadari bahwa Ryuu tidak menepis tangannya. Jika ada yang berkata kebahagiaan itu bisa menular, mungkin benar adanya. Karena Ryuu menjadi ikut tertawa, menyuarakan gembiranya berhasil membuat [Name] kembali senang.

"[Name] sangat dekat dengan Ratu, ya? " Tanya Ryuu. [Name] mengangguk cepat. Sorot matanya berubah sendu.

"Ratu— "

Gadis ini menoleh ke kanan dan kiri. Ryuu menatapnya, tatapan seakan ada penyusup di sini, bingung.

Dia tersenyum sambil menggaruk pipinya dengan jari telunjuk. Ryuu mengelus kepala [Name] dan hanya menerima respon hm.

"Sudah biasa bagiku memanggilnya kakak. Dulu kakak juga yang sering bercerita kepadaku tentang hal seperti ini sebelum menjadi ratu. "

Suasana [Name] berubah murung, Ryuu tidak suka. Pemuda itu hendak meminta maaf sebelum setitik cahaya menarik perhatiannya. Ryuu melirik ke seberang sungai, mendapati siluet semak-semak dengan beberapa titik cahaya kecil.

"Hei, mau melihat keajaiban? "

[Name] mendongak, menatap horror Ryuu yang mematikan api unggun. Warna oranye liar padam, terganti secercah cahaya rembulan redup dan lautan permata langit. Tidak terlalu gelap, namun [Name] merasa takut.

"R-ryuu?

[Name] mencari keberadaan sang pemuda lewat bantuan rembulan. Digenggamnya tangan besar nan kasar itu seketika, menyalurkan kehangatan juga ketenangan yang dia cari. Sesaat kemudian, Ryuu menggenggam balik tangan [Name].

Pandangannya menangkap goresan tipis di wajah Ryuu.

"Coba lihat seberang. "

Ragu-ragu, [Name] menoleh perlahan. Titik-titik bercahaya dari balik semak, pikirannya tertuju pada kemungkinan terburuk.

"H-hewan buas? Ryuu, berbahaya— "

Angin berhembus kencang menyerbu mereka. [Name] memejamkan mata, keinginan berlari mundur tak berhasil karena genggaman erat Ryuu.

Percaya bahwa Ryuu tidak berbohong, [Name] perlahan membuka kelopak matanya.

Segerombolan serangga bercahaya berterbangan di sekitar mereka. Cahaya berpendar dari kelompok serangga ini membuat segalanya lebih indah. Bagai lampu-lampu kecil yang biasanya digunakan untuk menghias pesta outdoor di malam hari, cahaya dari serangga yang [Name] belum pernah tahu namanya lebih bergerak bebas. Gadis itu mengulurkan tangannya, menyambut seekor serangga di jarinya.

"Indah, bukan? Kami menyebutnya kunang-kunang."

"Kunang-kunang..."

Matanya berbinar, ketakutannya berubah menjadi rasa ingin tahu. [Name] menoleh ke arah Ryuu, menyaksikan pemuda itu juga di kelilingi kunang-kunang. Dia berbalik, menatap air terjun yang penuh dengan cahaya kunang-kunang.

"A-aku tidak pernah melihat ini di negeriku. " [Name] mengepal kedua tangannya di depan dada, gugup juga antusias memenuhi hatinya.

"I-ini, i-ini... sangat, sangat— "

Gadis ini sampai tidak bisa menyelesaikan ucapannya. Ryuu tertawa kecil, mengusap kepala [Name] untuk kesekian kali.

"Ajaib, kan? "

[Name] membalas dengan senyuman lebar dan anggukan riang.

"Benar-benar ajaib! "

"Lalu, [Name], saat itu— Ah, sudah tidur? "

Ryuu menoleh, [Name] sudah mendengkur halus di pundaknya. Dia tidak bisa menahan bibirnya untuk tersenyum kembali. Menyelesaikan kewajibannya sebagai kepala ekspedisi lebih cepat demi pertemuan mereka malam ini, bercerita juga bermain bersama kunang-kunang pasti membuatnya sangat lelah.

Wajah damai [Name] menyakinkan Ryuu bahwa dia sangat senang malam ini. Bulu matanya yang lentik, bentuk wajahnya yang terlihat seperti ukiran terbaik sang dewa membuat Ryuu tenggelam dalam pemikiran mengagumi [Name].

Saat perhatiannya tertuju ke bibir, Ryuu merasa darah mengalir deras ke kepalanya. Spontan dialihkan kepala untuk menghapus angan-angan yang tak pasti. Mereka hanya teman yang baru bertemu kemarin siang, tidak lebih.

Ryuunosuke mengabaikan jantungnya yang berdegup kencang.

"Membawamu ke suku tidak apa-apa, kan? Aku belum menunjukkanmu tentang keindahan sukuku. "

Manik emasnya menatap dalam gadis yang bersandar di pundaknya. Dia menyelipkan tangan kokohnya perlahan. Ryuu mengangkat [Name] yang kini bersandar di dadanya. Menuju jalan yang berlawanan arah dari [Name] datang, Ryuu melangkah.

Senyumannya tersorot cahaya rembulan sebelum menghilang dibalik gelapnya hutan.

✾———✾

Tidak. Kalian tidak diculik.


...

Mungkin?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top