#PeP9 - Gue Benci Hujan
"Masa lalu gue terlalu menyedihkan untuk diceritakan."
- Karla Quenncy -
🎼
Bel sekolah berdering kencang dan diikuti derap sepatu murid-murid yang berlarian keluar dari kelas. Karla merapikan buku-buku yang berserakan di atas mejanya. Monic masih sibuk menyelesaikan tugasnya yang harus dikumpulkan hari ini juga.
Lagi. Satu pesan masuk muncul di layar ponselnya. Sebuah nomor yang tak tersimpan di dalam kontaknya. Namun, ia tahu kalau pemilik nomor itu tidak lain dan tidak bukan ....
Gue udah di parkiran. Ayo pulang sebelum hujan turun.
"Bawel banget sih. Kalau ikhlas nganterin ya harusnya sabar." Karla berbicara pada dirinya sendiri. "Mon, aku duluan ya."
Lelaki berjaket jeans biru dongker itu tengah berdiri di dekat sepeda motor berwarna hitam. Kaki Karla bergerak lebih cepat ketika lelaki itu sudah menatapnya dari kejauhan. Rio sudah duduk manis di atas motornya saat Karla sampai di hadapannya.
"Udah mau hujan, ayo naik!" seru Rio sambil menyodorkan helm berwarna merah ke depan mata Karla.
Karla memandangi langit yang mulai gelap. Ia mengerucutkan bibirnya dan mendengus. Tangannya meraih helm yang disodorkan Rio. "Gue ngga mau jalan kalau mendung begini."
Rio sesaat memandangi Karla yang tengah memalingkan mukanya karena bete. "Kayak kucing aja lo, takut sama air. Cepetan naik. Gue ngga mau lama-lama di sekolah, nanti gue dikasih tugas lagi sama Bu Danti."
Dengan terpaksa, Karla melawan rasa khawatirnya akan hujan dan menaiki motor Rio. Motor itu mulai melaju, meninggalkan gedung sekolah. Di perjalanan, Rio tak banyak bicara. Mungkin dia adalah tipe orang yang tak bisa membagi fokusnya antara mengendarai motor dengan bercakap-cakap. Karla pun ikut diam menanggapinya.
Tik ... tik .... Suara rintik hujan mulai terdengar jatuh di jalanan aspal itu. Karla menengadahkan telapak tangannya ke atas. Memastikan kalau itu sungguh air hujan yang turun.
Ia memukul Rio pelan dari belakang namun tampaknya Rio tak menghiraukannya. Motor itu tetap melaju mengikuti kemauan Rio.
"Loh? Ini hujan ya? Kita neduh di halte sana dulu deh." Akhirnya lelaki itu menyadari setelah hujan turun cukup deras.
Karla menekuk wajahnya saat turun dari motor. "Kan gue udah bilang, ini pasti hujan. Gue ngga mau jalan kalau hujan gini."
Rio mengernyitkan dahinya, tak paham dengan tingkah Karla yang menurutnya seperti anak kecil sedang mengambek. "Lo kenapa sih? Jadi sewot gitu sama gue?"
Karla menggeleng. Ia melipat kedua tangannya di depan dadanya dan mendaratkan pantatnya di kursi halte yang dingin karena terkena angin hujan.
Rio justru lebih tertarik dengan tetesan air hujan dari langit itu. Ia merentangkan kedua tangannya dan menghirup aroma favoritnya. "Hujan yang indah kayak gini, lo benci. Aneh lo."
Tanpa menanggapi perkataan Rio, Karla lebih memilih untuk menggerakkan jemarinya di layar ponselnya. Lagi. Ia mengeluarkan sebuah headset yang selalu tersimpan di tasnya.
"Lo kenapa sih benci hujan?" tanya Rio, sedikit berteriak karena hujan yang turun cukup deras.
Karla hanya menggoyang-goyangkan kepalanya. Larut dalam alunan lagu yang mengalir dari headset miliknya. Rio kesal dan menarik salah satu headset itu dari telinga Karla. "Gue ngomong sama lo!"
Karla yang merasa terganggu pun mengambil lagi headset itu dari tangan Rio. "Ngomong ya ngomong aja, Yo. Jangan ganggu gue tiba-tiba kayak gitu."
Rio mendelik. Jelas-jelas tadi gue yang dikacangin. Ngga sadar diri banget sih nih cewek. "Gue nanya, kenapa lo ngga suka hujan?"
Kali ini Karla melepas kedua headset dari telinganya. Membiarkan suara-suara yang sangat dibenci Karla itu masuk ke telinganya. "Masa lalu gue terlalu menyedihkan untuk diceritakan. Lo ngga perlu tahu."
"Kalau gue, kira-kira bisa menghilangkan rasa sedih akan masa lalu lo ngga?" tanya Rio yang sedang memutar kunci motor sambil memainkan alisnya.
Karla menanggapinya dengan malas. "Kayak gini aja gue sama lo udah ngga cocok. Lo suka hujan, gue benci hujan. Udahlah lo ngga akan bisa buang rasa sedih gue."
Rio memilih untuk diam dibandingkan harus berdebat dengan Karla. Perlahan, ia mulai mengenal sifat Karla. Cuek dan sedikit tertutup. Ia juga sadar kalau dirinya tak bisa mengubah sifat itu secara cepat. Lagi pula, ini hanya sebatas alasan ia membenci hujan, bukan satu hal yang penting. Mereka saling diam. Menyisakan suara rintik hujan yang bersuara di antara mereka.
"Kar, hujannya udah mulai reda. Mau lanjut gue antar sekarang atau gimana?" tanya Rio.
Karla melirik jam tangannya. Sudah mulai sore. Mau tak mau, Karla harus segera pulang supaya mamanya tidak khawatir. Pasalnya, ponsel milik Karla sudah mati karena kehabisan baterai sejak setengah jam yang lalu jadi ia tak bisa memberikan kabar apapun. "Ya udah, ayo jalan lagi. Gue ngga boleh terlalu sore pulangnya."
Rio menyalakan motornya kembali. Motor itu kembali melaju menerobos hujan rintik-rintik yang masih setia turun. Sepanjang perjalanan, Karla memberikan arahan untuk Rio supaya dapat sampai ke rumahnya dengan cepat.
Sesampainya di rumah, Karla mengembalikan helm itu kepada Rio dan bergegas masuk ke dalam rumahnya. "Kar! Lo mau kemana? Buru-buru banget. Ngobrol dulu kali sini, sebentar aja."
Karla menoleh dan kembali berjalan menuju Rio dan motornya. "Kenapa lagi? Gue capek, mau istirahat. By the way, thanks."
"Kalau kapan-kapan gue main ke rumah lo, boleh? Atau mungkin hanya sekadar jemput lo untuk berangkat ke sekolah?" Rio tersenyum.
Karla menatapnya heran. Bener-bener aneh anak ini. Aku jadi makin curiga sebenarnya apa yang dia mau.
"Terserah lo aja," jawab Karla singkat.
"Gue anggap itu sebagai jawaban 'iya', Kar. Oke, gue balik dulu."
Karla membalikkan tubuhnya setelah menutup pagar rumahnya. Matanya mendapati sepasang mata yang melihat ke arahnya dari dalam rumah. Firasatnya benar.
"Dek, itu tadi pacar kamu? Gitu dong, move on dari Andreas. Dia juga ngga kalah ganteng sama Andreas, baik juga," ledek mamanya. Sekarang, wanita paruh baya itu memainkan jemarinya di bawah dagu Karla.
Karla mendecak kesal. "Bukan, Ma. Andreas masih jauh lebih baik dan ganteng daripada dia. Mana bisa orang yang udah bikin anak Mama basah kuyup kayak gini dibilang baik?"
"Jangan manyun gitu dong, sayang. Nanti kalau cantiknya luntur, kamu protesnya ke Mama," ujar mamanya, berusaha menghibur.
"Ah, Mama ini." Karla menepuk pelan dengan manja ke mamanya. Hanya mamanya yang mampu meredakan rasa kesal Karla. "Adek mau ke kamar Bang Davon dulu."
Karla mengetuk pintu berwarna cokelat yang dipenuhi dengan stiker berbentuk not angka dan kunci nada. Ia pun masuk ke dalam setelah mendengar suara abangnya.
"Gue lagi kesal, Bang." Karla membanting tubuhnya di atas kasur. Davon yang sedang duduk di kursi belajar pun refleks memutar kursinya ke arah Karla.
"Terus?" sahut Davon dengan santai.
"Dengerin cerita gue dong, Bang." Karla mengambil bantal dan meletakkannya di atas perutnya. Karla tahu kalau bercerita pada Davon bukan memecahkan masalah justru menambah masalah. Kenyataannya, Davon lebih sering meledek Karla ketimbang memberinya solusi. Hanya karena ia dua bersaudara, jadi cuma Davon yang bisa diajaknya bercerita.
"Ada satu kakak tingkat yang super nyebelin, Bang. Namanya Rio. Catat namanya, Bang, siapa tahu lo bisa melampiaskan kekesalan gue ke dia kalau ketemu. Dari awal, dia sering banget ngeledekkin gue, bikin gue malu, dan baru aja dia bikin gue semakin benci dengan hujan. Super nyebelin pokoknya. Melebihi lo, Bang." Karla menceritakannya panjang lebar, tanpa memberikan kesempatan bagi Davon untuk berbicara.
"Tunggu. Lo cerita tentang cowok? Akhirnya, adek gue normal lagi setelah bertahun-tahun ngga bisa move on dari Andreas." Davon bangkit dari kursinya dan duduk di samping Karla. Ia mencubit kedua pipi adiknya. Gemas rasanya mendengar Karla bercerita tentang lelaki.
"Ah, emang benar-benar percuma curhat sama lo. Males gue, Bang, malah jadi bahan ledekan. Udah, gue mau mandi aja." Karla bergegas bangkit dari tempat tidur milik Davon namun tangannya lebih dulu tertahan.
"Dia cuma mau kenal lo lebih jauh. Semua orang punya cara masing-masing dan itu cara yang dia pilih," ujar Davon kemudian melepaskan genggaman tangannya dari lengan Karla.
🌂🌂🌂
Gue berhasil tahu rumahnya Karla, hebat kan gue, Yon? Lo salah banget kalau taruhan sama gue.
Sent.
"Ah, cuma menjalankan misi kayak gini doang dari Leon mah kecil." Rio menjentikkan jarinya dan melemparkan ponselnya ke atas kasur.
"Kar, sorry gue ngga ada maksud buat mempermainkan hati lo kok," ujarnya lagi.
🌂🌂🌂
Hai, gimana cerita di part ini? Masih tertarik untuk lanjut baca ke part selanjutnya kan ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top