#PeP6 - Andreas, Apa Kabar?
"Mengharap seseorang yang sudah lama tak ditemui untuk kembali lagi bukan hal yang salah, kan?"
- Author -
🎼
"Kapan sih orang itu lulus? Dia itu ada dimana-mana dan pasti mengganggu kesenanganku," keluh Karla sambil berjalan menyusuri lorong menuju gerbang sekolah. Langit sudah berhenti menurunkan hujannya. Ia memutuskan untuk segera pulang sebelum hujan membasahi tanah lagi.
Karla melambaikan tangannya pada sekumpulan ojek yang selalu memarkirkan motornya di ujung gang sekolahnya. Sore itu jalanan cukup ramai. Mungkin karena jam pulang Karla hampir sama dengan jam pulang kerja. Sungguh, hujan itu memang sangat mengganggu dan menghambat apa yang seharusnya dilakukan. Itu juga menjadi alasan lain bagi Karla yang tidak menyukai hujan, selain masa lalunya yang kelam.
"Ma, Karla pulang," ujar Karla. Wajah lesu sangat terlihat pada dirinya. Mata yang sudah setengah mengantuk, rambut yang sedikit berantakan, dan perutnya yang terus berbunyi karena belum makan siang.
Mamanya menghampiri Karla yang sedang duduk di sofa ruang tamu. "Ya ampun, sayang. Kamu pulangnya sore banget. Nunggu hujan reda ya?"
Karla meraih lengan mamanya dan menempelkan kepalanya di lengan itu. "Iya, hujan terus. Karla ngga bisa pulang, Ma."
"Ayo makan dulu. Pasti kamu belum makan dari siang, kan? Mama udah menyiapkan makanan di ruang makan."
Mendengar kata 'makanan' membuat cacing di perut Karla loncat kegirangan. Ia pun segera berjalan menuju ruang makan, seperti yang mamanya pinta. Dahinya mengerut seketika saat melihat seorang perempuan berambut panjang dan memakai jaket kulit berwarna cokelat itu duduk di meja makan.
"Kak Mozya?" Karla refleks menyebutkan nama perempuan itu. Ia mempercepat langkahnya dan memeluk perempuan itu.
"Karla, Kakak lagi makan. Kalau kamu langsung begitu, bisa-bisa aku tersedak." Senyuman di wajahnya membuat kedua lesung pipi di kedua sisi pipinya muncul.
Mozya Ricolo, kakak dari Andreas Ricolo. Nama yang saat ini sangat dirindukan oleh Karla. Sudah dua tahun, lelaki itu meninggalkan dirinya dan saat ini hanya Mozya yang tersisa untuk menghibur di kala hatinya rapuh.
Karla masih memeluk Mozya dengan erat, membuatnya susah bergerak, namun Karla masih enggan melepasnya. Suara dehaman seseorang berhasil membuat Karla berdecak kesal karena momen pertemuannya dengan Mozya menjadi terganggu. "Sama Mozya, lo kayak gitu. Ke abang sendiri, boro-boro lo mah, Dek."
Tangan Karla berpindah ke bahu Mozya dan menyandarkan kepalanya. "Gue kan baru ketemu Kak Mozya, wajar kangen. Lah sama lo? Gue ketemu tiap hari, Bang, sampai bosan."
Mendengar perkataan Karla, Mozya pun tertawa. Lagi, lesung pipi itu terlihat lagi. Kali ini, matanya juga menyipit. "Duh, udah lama aku ngga tertawa puas gini sama kamu, Kar. Kalian ini emang jagonya bikin aku tertawa sejak dulu," kata Mozya sambil meletakkan tangannya di atas tangan Davon, "sabar-sabar menghadapi adik kayak gini ya, Dav, tapi lo beruntung kok punya adik kayak Karla gini."
"Jangan baper, Bang, tangan lo dipegang Kak Moz," ledek Karla sambil menepuk punggung tangan Davon. Ia kembali meraih tangan Mozya. "Kak, kita ngobrol di ruang tamu aja, yuk!"
Mozya mengangguk. Karla membawa sepiring nasi dengan ayam bakar bersamanya menuju ruang tamu. Mamanya dan Davon hanya menggeleng-gelengkan kepala. Pasalnya, memang sudah menjadi kebiasaan Karla untuk tidak makan di ruang makan.
"Kak Moz kapan sampai di Jakarta?" tanya Karla sambil memasukkan suapan pertamanya ke dalam mulut.
"Seminggu yang lalu tapi baru sempat main ke sini." Mozya memandangi Karla yang sedang lahap-lahapnya menyantap makanan itu. Tangannya meraih sebuah kotak yang sengaja ia simpan di dalam tasnya. Sebuah kotak bening dengan pita berwarna merah. "Ini buatmu, Kar."
Karla meletakkan sendok yang dari tadi ia pegang dan mengambil kotak itu sambil menelan makanannya yang masih berada di dalam mulut.
Satu mimpi kamu akan terwujud ya. Kamu hebat dan akan selalu hebat di mataku. Matahari yang tak pernah lelah memberikan kehangatan bagi orang lain. Hadiah ini mungkin sederhana tapi rasa sayangku padamu tak sesederhana itu. Dalam, sungguh dalam. Bawa barang ini bersamamu untuk selalu mengingat diriku. Tetap semangat pianis kesayangan dan favoritku!
With love,
Andreas Ricolo
"Andreas?" Satu kata yang terucap dari bibir Karla membuatnya terdiam dan hanya memandangi sebuah kotak musik berbentuk piano dan sebuah lukisan kecil dirinya dan Andreas.
"Ah, dia memang pintar menggambar." Senyum dan tangis Karla menyatu, seolah membuat gadis itu terlihat berusaha untuk lebih tegar.
"Waktu kamu tampil di perlombaan itu, Andreas ngga bisa datang tepat waktu karena dia masih ingin mempersiapkan kado yang spesial untuk kamu. Sayangnya, Tuhan justru ngga mengizinkan Andreas memberikan kado ini dengan tangannya sendiri."
Air mata mengalir di kedua pipi Karla. Tangannya memegang lukisan pemberian Andreas dan berbicara padanya. "Andreas, kamu apa kabar di sana? Kamu harus tahu kalau rinduku ini tak terbendung lagi. Terima kasih untuk hadiah terakhir yang indah ini."
Mata Karla berpaling memandangi seseorang yang ada di sampingnya. "Makasih ya, Kak Moz, udah bela-belain datang ke sini untuk ngasih kado ini."
Mozya tersenyum dan memeluk Karla. "It's okay, Kar." Tangannya bergerak menghapus air mata yang jatuh dari mata berwarna cokelat tua milik Karla. "Jangan sedih lagi. Andreas paling ngga suka lihat gadis pujaan hatinya menangis. Ingat apa yang selalu dia bilang?"
"Air matamu adalah berlian yang ngga boleh kamu buang dengan mudahnya," balas Karla sambil tersenyum, berusaha menghapus kesedihan yang selama ini selalu datang di hidupnya.
"Kalau kamu nangis terus, nanti kamu diterkam sama Andrelion." Mozya berusaha mencairkan suasanya dengan lelucon yang biasa dibuat oleh Andreas.
Karla tertawa meskipun masih ada tetesan air mata yang keluar dari matanya. Ia ingat, Andreas memang selalu memanggilnya dirinya sendiri dengan sebutan Andrelion. Katanya, kalau ia marah, ia bisa berubah menjadi singa dan menerkam siapapun yang membuatnya naik pitam. Lelucon itu selalu bisa membuat hati Karla luluh dan mengurungkan amarahnya pada Andreas.
"Gitu dong ketawa. Oh iya, Kakak masih harus ke kantor Ayah. Kapan-kapan kita main lagi ya." Mozya berpamitan pulang dan melambaikan tangannya.
Tuhan, salahkah kalau aku masih tak percaya bahwa Kau bisa secepat itu membawa orang yang berarti dalam hidupku? Andreas, kembalilah.
🌂🌂🌂
Sejauh ini, bagaimana ceritanya menurut kalian? Kalau mau beri saran, sangat terbuka kok. Laff❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top