#PeP20 - Gue Sayang Lo, Karla

"Karena gue ngga mau jauh sama lo. Gue ngga mau lo jadi benci kayak gini."
- Rio Zakaria -

🎼

"Lo masih ngga bisa jawab, Yo? Oke, gue balik." Karla benar-benar beranjak dari kursinya. Tak peduli berapa banyak orang yang sedang memandanginya dengan ekspresi wajah yang tak biasa.

"Kar, tunggu, Kar!" teriak Rio sambil sedikit melangkah. Belum terlalu jauh, ia mampu meraih lengan Karla.

Gadis itu masih berusaha melepaskan genggaman tangan Rio dan membalikkan tubuhnya untuk menatap lelaki itu, sekali lagi. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bagian bawah bibirnya, berusaha menahan amarah. Semakin menatap wajah Rio, membuatnya semakin ingat dengan kejadian masa lalu.

"Bahkan lo tahu cerita masa lalu gue. Gue benci sama orang itu. Kenapa lo ngga berusaha jujur waktu gue sempat jelasin itu?" bentak Karla. Air mata mulai mengalir di pipinya.

Rio menatap Karla dengan penuh penyesalan. Ia hanya menggeleng, mengelak untuk mengakui perbuatannya. "Karena gue ngga mau jauh sama lo. Gue ngga mau lo jadi benci kayak gini."

"Kalau udah kayak gini. Justru gue tambah benci karena lo ngga mau mengakui kesalahan yang sebenarnya. Rasa yang pernah mampir ke hati gue pun sepertinya udah luntur bersama kebencian ini."

Karla melepaskan tangan Rio dengan paksa. Ia pergi dengan langkah yang cepat. Tak memedulikan Rio yang masih terdiam di belakang.

Gue sayang sama lo, Karla. Gue peduli sama lo. Ngga mau masa lalu itu menghantui kehidupan lo lagi makanya gue ngga mau cerita apapun. Rio menatap punggung Karla yang semakin lama semakin jauh dari pandangannya.

Tak lama, ia tersadar dari lamunannya. Rio pun mengambil tasnya dan mengabaikan pelayan yang baru saja datang membawa pesanannya. Ia tak tahu kemana Karla pergi, ia hanya mengikuti kata hati dan gerakan kakinya.

Kakinya menggowes sepeda itu mengikuti jalan yang tadi mereka lewati untuk menuju ke Eattorant. Sejauh mata memandang, ia masih belum bisa menemukan sosok Karla. Mendung. Rio membatin sambil mengamati langit biru yang semakin lama semakin tertutup dengan awan abu-abunya.

Sementara, Karla terus melangkahkan kakinya menyusuri jalanan. Sesekali ia menutup wajahnya. Membiarkan air mata itu mengalir di sela-sela jarinya. Karla menghentikan langkahnya dan memilih untuk istirahat sejenak di pinggir trotoar.

Benda berbentuk persegi panjang itu dikeluarkannya dari tas. Foto yang ditampilkan oleh layar datar itu kembali membuat Karla tak mampu menahan tangisnya. Sama seperti yang biasa ia lakukan, jemarinya mengelus lembut foto itu.

"Ndre, ternyata Rio yang pernah aku ceritain ke kamu itu adalah orang yang sama dengan dia yang memicu hancurnya mimpiku." Karla berusaha menyeka air matanya. Meskipun ia tahu kalau air mata itu tak akan membuat semuanya kembali seperti semula, namun ia tetap meneruskannya.

"Pasti dia berusaha dekat denganku juga mau balas kesalahannya dulu. Ngga ada yang benar-benar tulus sepertimu, Andreas. Kamu ... kembalilah."

🌂🌂🌂

"Yon, lo bilang apa sama Karla tentang kejadian dua tahun lalu?" teriak Rio di telepon.

"Karla? Bahkan gue ngga ketemu dia akhir-akhir ini. Emm ... gue pernah keceplosan sih tapi bukan sama Karla," balas Leon dengan nada takut.

"Siapa?" Pertanyaan singkat itu justru semakin membuat Leon terdiam cukup lama. Meskipun Rio adalah tipe orang yang senang bergurau, ia akan tetap bersikap tegas dan menyeramkan jika sudah marah.

"Yon, siapa?" ulangnya lagi.

"Monica," balasnya singkat.

"Kan gue udah pernah bilang ke lo, jangan sekali-kali lo cerita hal itu ke siapapun."

"Sorry, Yo. Gue keceplosan. Namanya keceplosan kan ngga sadar." Leon membalasnya namun langsung mengalihkan pembicaraan. "Btw, nyokap gue manggil, Yo. Udahan ya."

Pembicaraan di telepon itu terputus. Bahkan saat Rio belum bertanya pada Leon secara detail. Tapi bagaimana pun, sahabatnya itu tak akan bertahan jika diinterogasi terlalu lama.

"Sial! Dia yang keceplosan, gue yang nanggung akibatnya. Emang dasar itu anak ngga bisa dipercaya!" Rio menendang ban sepedanya. Membuat sepeda itu terjatuh menimpa aspal. "Sekarang gimana caranya gue minta maaf sama Karla? Atau setidaknya, gue harus bisa nemuin Karla dulu. Cowok macam apa gue ini yang membiarkan seorang cewek pulang sendirian?"

Ia menaiki lagi sepedanya. Mengayuhkannya menyusuri jalanan sambil melemparkan pandangannya ke seluruh penjuru. Karla. Karla. Karla. Nama itu memenuhi pikirannya. Tanpa sadar, gadis itu sudah begitu berarti baginya. Sampai-sampai ia tak mau ada kejadian buruk yang menimpa orang yang disayanginya.

Si cewek suara fals, gadis pemain piano, si cewek jutek. Begitu banyak sebutan yang ditujukan untuk Karla tapi mulai sekarang, Rio hanya menyebutnya dengan satu istilah. Gadis pemikat hati.

🌂🌂🌂

"Ngga ada gunanya aku nangis kayak gini. Ngga ada gunanya aku nunggu di sini. Kenapa juga aku berharap Rio nyamperin aku?" Karla berbicara pada dirinya sendiri.

Ia beranjak dari trotoar dan menyimpan ponselnya di dalam tas. Belum sempat melangkah lebih jauh, seseorang menahan dirinya dengan menarik pelan kemejanya.

Mampus! Tempat ini sepi. Siapa lagi yang bakal ada di sini kecuali aku? Mudah-mudahan bukan orang jahat. Ya Tuhan, tolong Karla. Karla memejamkan matanya sambil komat-kamit.

Tangan itu berpindah ke bahunya. Karla mampu merasakan tangan besar. Bayangan seseorang yang berdiri di belakang berhasil tertangkap olehnya. Seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi yang membuat Karla semakin tak berani berkutik.

Tangan itu membalik tubuh Karla sehingga lelaki itu bisa melihat wajah Karla dengan jelas saat ini. "Kalau lo berani macam-macam, gue akan teriak!" Gadis yang masih menutup matanya itu berlagak menyodorkan tas selempangnya untuk melindungi diri.

Suara tawa seseorang yang berada di depannya membuat Karla membuka pejaman matanya dengan perlahan. "Apa-apaan ini? Lepas!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top