#PeP2 - Andreas Ricolo?
"Tidak ada yang bisa mengobati rindu selain dengan bertemu. Namun, jika bertemu sudah tak mungkin, apa cukup jika hanya dengan memandangi foto saja?"
- Author -
🎼
"Kak, ini udah selesai," ujar Monic dengan napasnya yang terengah-engah. Selembar kertas putih yang sudah dipenuhi dengan tinta hitam itu pun diberikannya pada Rio. Rio menaikkan salah satu ujung bibirnya.
"Oke, lo bisa dapat tanda tangan gue tapi ada satu syarat lagi." Rio melipat kertas itu dan memasukkan ke dalam saku kemejanya. Monic masih memerhatikannya dengan heran, sementara Karla mulai lelah mengikuti permintaan kakak kelasnya dan memutuskan untuk jongkok di samping Monic.
"Gue mau dengar lo ngomong 'Kak Rio yang ganteng, minta tanda tangan'. Gampang kan?" Rio mengulangi kalimat yang sama dengan sebelumnya.
Sumpah, emang orang ini kayaknya ngga ada yang pernah memujinya kecuali dengan cara paksa kayak gini. Karla menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kak Rio ganteng, minta tanda tangannya ya." Karla langsung mendongakkan kepalanya setelah mendengar kalimat itu terucap dari bibir sahabatnya.
"Mon, ngapain sih? Jangan kegenitan banget kek jadi cewek," bisik Karla, sementara Monic masih tersenyum sambil mengaharap buku MOS miliknya segera diambil oleh Rio.
"Bukan kegenitan, Kar, tapi Kak Rio emang ganteng beneran," balasnya.
Karla hanya memperagakan ekspresi layaknya orang yang sudah muak dan ingin muntah mendengar ucapan sahabatnya yang meninggi-ninggikan lelaki tukang ngemis pujian itu. Setelah tersenyum puas, Rio mengambil buku yang sejak tadi dipegang oleh Monic dan meraih sebuah pulpen yang sengaja ia simpan di saku celananya. Leon yang berada di sampingnya hanya bisa menyenggol siku sahabatnya, heran dengan sikap Rio sebagai wakil ketua OSIS yang tidak memiliki wibawa dan justru jahil terhadap murid-murid baru.
"Lo mau dapat tanda tangan juga ngga? Ngga susah kok, teman lo aja bisa. Hanya semudah itu caranya." Rio terus menaikkan alisnya sambil tersenyum miring. "Gue cuma mau ngasih tau aja sih kalau murid baru ngga bisa dapat tanda tangan wakil ketua OSIS kayak gue gini berarti dia tidak lolos MOS karena tanda tangan yang wajib didapatkan itu miliki ketua dan wakil ketua OSIS."
Rio membalikkan badannya dan meletakkan sikunya di pundak Leon, hendak meninggalkan tengah lapangan yang semakin lama semakin panas karena terik matahari. Karla justru tampak biasa saja mendengar ancaman yang diberikan oleh Rio, berbeda dengan Monic. Karla yang diancam tapi Monic yang geregetan mengurus tingkahnya Karla yang terlalu cuek. "Memangnya kenapa kalau ngga lolos MOS? Gue di sini juga bayar, berhak belajar juga," keluh Karla.
"Ih, Kar, turutin aja maunya Kak Rio kan cuma ngomong doang setelah itu kamu mau ngapain ngga masalah deh. Aku cuma ngga mau karena hal sepele gini, kamu jadi ngga bisa lanjut sekolah." Monic menarik tangan Karla sambil memaksanya untuk berbicara.
Monic menarik Karla hingga sampai di belakang Rio dan Leon dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Lama-lama Karla risih dengan Monic yang berdiri di sampingnya sambil terus menyenggol sikunya. "Heh Rio ganteng, gue minta tanda tangan lo." Kalimat itu pun akhirnya terucap dari mulut seorang Karla Quenncy.
Seketika Rio membalikkan badannya dan tertawa puas. Leon hanya bisa melihatnya dan ikut tertawa kecil meskipun sebenarnya ia bingung dengan apa yang sebenarnya dilakukan oleh Rio. "Rio? Kak Rio! Gue lebih tua daripada lo. Sini buku lo."
"Percuma lebih tua kalau sikapnya ngga bisa dewasa," ucap Karla pelan.
Karla mendengus kesal karena kakak kelasnya itu banyak sekali maunya. Ia memberikan buku itu dengan malas dan menerimanya kembali setelah Rio menggoreskan tanda tangannya di lembaran buku milik Karla. Rio dan Leon pun kembali melangkahkan kakinya menuju kelas mereka.
"Yo, tadi itu peraturan MOS yang baru? Gue baru tau kalau mereka ngga bisa dapat tanda tangan lo sama Fajri berarti mereka ngga lolos MOS," tanya Leon yang masih berjalan tidak jauh dari lapangan.
"Ya ngga lah, gue cuma ngerjain itu anak baru aja. Mana ada peraturan MOS seketat itu," balas Rio sambil terkekeh.
Leon yang mendengar jawabannya justru refleks menendang betis Rio. "Wakil ketua OSIS macam apa lo ini, Yo? Bukannya ngajarin yang bener, malah kayak gitu. Parah lo emang!"
Suara tawa keduanya mengiringi kepergian mereka. Karla dan Monic masih berdiri di tengah lapangan, berusaha mencari kakak kelas lainnya untuk dimintai tanda tangan. "Perhatian! Semua murid baru diminta untuk kembali ke kelas masing-masing karena jam MOS hari ini sudah selesai. Kegiatan bisa dilanjut lagi besok," teriak seorang kakak kelas yang berdiri di tepi lapangan.
Karla dan Monic langsung menuju kelasnya untuk mengambil tas sekolah dan bergegas untuk pulang. Satu hal yang Karla nanti-nantikan sejak tadi memang jam pulang sekolah, tidak ada yang lain. Karla berpamitan dengan Monic yang masih menunggu supir datang menjemputnya, sementara Karla sudah ditunggu oleh abang ojek pesanannya sejak tadi.
"Ma, Bang, Adek pulang!" teriak Karla saat membuka pintu rumah dengan cat tembok berwarna abu-abu tua itu. Mamanya menyambut Karla sambil membawa segelas jus mangga favoritnya.
Mamanya membantu Karla melepaskan tas ransel dari punggungnya setelah meletakkan gelas di meja ruang tamu. "Gimana tadi? Capek ya, Dek?" tanya mamanya, "itu mama buatin kamu jus mangga supaya capeknya hilang."
Karla memeluk mamanya dengan manja. "Mama tahu aja aku mau minum jus mangga buatan mama. Capek banget, Ma. Kakak kelasnya juga banyak yang nyebelin. Banyak maunya, kesempatan banget buat ngerjain adek kelasnya."
"Gitu aja langsung manja ke mama. Ke gue ngga pernah gitu lo, Dek." Sebuah bantal melayang ke tubuh Karla, mengganggu momen manja-manjaan dengan mamanya. Siapa lagi kalau bukan abangnya, Davon Kingsen. Karla hanya menjulurkan lidah untuk meledek abangnya.
Setelahnya, Karla memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya untuk mandi dan mengganti pakaiannya yang sudah bau matahari sambil membawa segelas jus favoritnya itu ke kamar. Ia duduk di atas kasurnya dan melirik ke arah meja yang memang terletak tepat di samping kasurnya. Sebuah foto yang sengaja dipasang di sana telah berhasil membuat Karla tersenyum walau hanya sesaat.
"Ndre, aku kangen kamu. Ayo kita ketemu! Masa kamu ngga penasaran dengan cerita pertamaku jadi anak SMA? Atau jangan-jangan di sana ada yang lebih cantik daripada aku jadi kamu berpaling? Tadi di sekolah ada yang berani jahilin aku, biasanya kamu selalu marah kalau ada orang yang kayak gitu," ucap Karla sambil menghela napas. Matanya memandangi foto seorang cowok di dalam pigura itu yang di bagian bawahnya tertulis nama Andreas Ricolo sambil mengelus wajahnya perlahan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top