#PeP17 - Berhenti Taruhan

"Gue ngga sanggup bohong sama hati."
- Rio Zakaria -

🎼

"Yo, lo abis dari mana? Gue nyariin lo selama istirahat tadi. Padahal pengen gue ajak makan di kantin." Leon berbisik di samping Rio.

Rio memerhatikan Pak Riyono, guru Bahasa Indonesia, yang sedang menuliskan materi di papan tulis kemudian melirik sahabatnya.

"Abis ngobrol sama Karla," jawabnya singkat. Matanya kembali terfokus pada buku tulis yang ada di depannya.

Leon meletakkan pulpen miliknya di atas meja kemudian matanya mendelik. Rio masih saja tak memedulikannya. Ia sudah tahu kalau sahabatnya pasti akan menginterogasinya setelah ini.

"Wah, lancar nih lo deketin Karla. Gue kira lo ngga akan sesemangat ini jalanin taruhan bareng gue," ledek Leon yang kemudian mengambil kembali pulpennya.

Rio terdiam. Leon sesekali memecah pandangannya antara papan tulis dan sahabat yang ada di sampingnya. Rio menutup mulutnya cukup lama.

"Yo, btw, ada titipan surat buat lo. Tuh, ada di kolong meja." Suara Leon memecah keheningan di antara keduanya. Suara yang juga membuat Rio menengok ke bawah mejanya.

Tak hanya satu, beberapa surat menumpuk rapi di bawah meja milik Rio. Bak artis yang menerima surat-surat dari penggemarnya, begitulah yang dialami Rio saat itu. Satu per satu, ia mengeluarkan surat itu dan membaca siapa pengirimnya. Melihat namanya, Rio sudah tahu kalau semua surat  berasal dari orang yang sama. Orang yang juga sempat memberikannya surat kala itu. Secret admirer. Rio bergumam lagi sambil tersenyum tipis. Manis.

Apa anak itu ngga berani bilang secara langsung? Kita bahkan udah sering bicara, masih aja dia malu-malu kayak gini.

Ia memilih untuk memasukkan semua surat  ke dalam tasnya dan membacanya jika ia sudah sampai di rumah. Rio menutup buku catatannya seusai Pak Riyono mengakhiri pelajaran. Tangannya berusaha meraih kotak pensil miliknya dan menyimpan beberapa alat tulis di dalamnya.

"Yon, gue mau berhenti taruhan sama lo," ujar Rio yang sekejap membuat Leon segera menyampirkan tasnya dan menarik kursinya lagi. Seakan enggan meninggalkan tempat itu.

"Gue ngga bisa lanjut." Rio melanjutkan kalimatnya lagi.

"Lo ngga sanggup ngadepin Karla, Yo?" tanya Leon.

Rio menggeleng. "Gue ngga sanggup bohong sama hati. Hati gue menolak untuk mempermainkan gadis seperti dia."

Leon meletakkan telapak tangannya di kening Rio. Berulang kali ia memindahkan tangannya di kening Rio dan dirinya. Rio yang merasa risih itu langsung menepis telapak tangan sahabatnya.

"Gue kira lo lagi ngga waras ngomong puitis kayak tadi." Leon memalingkan wajahnya sambil tertawa kecil. "Sejujurnya dari awal gue perhatiin lo dan Karla, gue udah tahu kalau lo bakal jatuh cinta sama dia."

"Dia beda sama cewek-cewek di sekolah ini, Yon. Satu-satunya cewek yang cuek sama gue gini ya dia doang. Gue godain macem-macem juga ngga ngefek ke dia."

"Berarti pesona lo udah menurun, Yo!" seru Leon yang diiringi dengan tawanya.

Rio memukul lengan tangan Leon kemudian beranjak dari kursinya. "Kayak gini aja lo bahagia banget. Senang sahabatnya terjebak di masalah hati gini. Udah, gue mau balik dulu. Mumpung ngga ada kumpul OSIS."

Leon pun ikut berdiri mengikuti Rio. Jika diibaratkan, Leon ini sudah seperti bayangan Rio yang selalu mengikutinya kemana pun ia pergi. Entah bagaimana awalnya, lelaki seperti Leon ini bisa begitu dekat dengan Rio.

🌂🌂🌂

"Kar, kamu kenapa sih senyum-senyum terus dari tadi? Kamu ngga kesambet apa-apa, kan?" tanya Monic.

Karla yang sedang tersenyum sendiri itu pun menggelengkan kepalanya. Ia melihat Monic sejenak kemudian tersenyum lagi. Hanya sebuah isyarat senyuman, mampu membuat Monic heran melihatnya. Pasalnya, ia terbiasa dengan Karla yang cuek.

"Aku akhirnya bisa ngelatih kemampuan bermain piano lagi, Mon. Tampil di pentas seni ini jadi pertama kalinya aku main di depan umum selama SMA." Karla menggenggam kedua tangan Monic sambil berteriak bahagia.

Definisi kebahagiaan bagi Karla sangatlah sederhana. Bisa bermain piano di depan umum masuk ke dalam daftar kebahagiaan versi Karla. Kecintaannya terhadap piano memang tak dapat diragukan lagi, sampai-sampai ia bercita-cita menjadi pianis profesional seperti yang diidam-idamkan ayahnya dan Andreas.

Sontak Monic memeluk Karla dari samping. "Aku ikut senang kalau kamu senang, Kar. Gini dong, jangan sedih karena tenggelam di masa lalu terus."

Karla mengangguk antusias dan memegang lengan Monic yang masih melingkar di pundaknya. Ia melihat Monic yang juga sedang tersenyum, seperti ada yang mengganggu pikirannya.

"Aku juga lagi senang banget, Kar. Tahu kalau orang yang kusuka juga punya rasa yang sama." Kalimat itu sontak membuat Karla melepaskan pelukan Monic dan menatapnya.

"Siapa?" tanya Karla.

"Kak Rio." Monic melanjutkan senyumnya. Sebuah senyuman bahagia yang sama sekali tak bisa ia sembunyikan.

Karla terdiam sejenak. Raut wajah kecewa terlihat dari wajahnya. Ia kembali menyadarkan dirinya akan status dirinya dengan Rio. Meskipun mereka begitu dekat namun kedekatan itu tak berarti apa pun bagi Rio.

Sejak kapan sih gue punya rasa beda gini sama Rio? Orang nyebelin kayak dia kenapa harus muncul di kehidupan gue? Dan kenapa hati gue sakit dengar ucapan Monic barusan?

"Kar?" Monic melambaikan tangannya di depan wajah Karla yang diikuti gusaran tangan Karla, menghapus semua pemikiran aneh tentang Rio.

"Rio ya?" tanya Karla dengan nada melemah.

Monic mengangguk dengan cepat. "Selama ini aku sering banget kirim surat ke Kak Rio lewat Kak Leon. Rio emang ngga tahu kalau surat itu aku yang kirim tapi kata Kak Leon, dia selalu senyum-senyum dan semangat banget pengen baca tiap nerima suratku."

"Emang itu tandanya Rio suka sama kamu, Mon?" tanya Karla polos.

Monic refleks mencubit lengan Karla. Cubitan yang membuat Karla mengeluarkan teriakan kesakitan. Ia mengelus lengannya perlahan. "Iya iya, Mon. Sorry. Kan aku nanyanya beneran."

"Kamu kok gitu sih, Kar? Sahabatnya senang harusnya kamu ikut senang juga. Atau jangan-jangan, kamu suka sama Kak Rio juga?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top