#PeP16 - Karla, Rio, dan Hujan

"Hujan pernah jadi saksi kepergian orang yang gue sayang sekaligus penghancur mimpi."
- Karla Quenncy -

🎼

"Kenapa sih lo bisa sebenci ini sama hujan?"

Rio beranjak dari kursinya dan menghampiri Karla. Dengan tiba-tiba, ia memegang tangan Karla dan mengajaknya berdiri untuk pergi sejenak dari ruang musik.

"Lo mau bawa gue kemana?" tanya Karla sambil berjalan di belakang Rio, mengikutinya.

"Gue bukan mau nyulik lo kok, tenang aja." Rio masih memandang lurus ke depan dan menggenggam tangan Karla.

Ya gue juga tahu. Mana ada penculik yang pakai cara narik tangan begini untuk bawa orang? pikir Karla.

"Sini, Kar. Duduk." Rio menepuk-nepukkan tangannya di atas bangku taman.

"Cuma ke taman sekolah aja lo ngga mau ngasih tahu gini," keluh Karla sambil merapikan roknya.

Rio mengangkat alisnya. "Karena kalau gue kasih tahu, lo pasti nolak ikut."

"Terus sekarang mau apa? Setelah ini gue masih ada kelasnya Bu Noni."

Rio menepuk bahu Karla dan mengangguk. "Sekarang lo cerita-cerita dong sama gue. Gue masih penasaran kisah lo dengan hujan."

Cowok ini, masih aja. Ngga berhenti-berhenti kepo. Karla melihatnya malas. Bagi Karla, menceritakan masa lalu itu membuatnya semakin terpuruk dengan keadaan. Di saat ia perlahan mencoba melupakan masa kelamnya, ia justru disuguhkan pertanyaan semacam itu.

"Gue malas, Yo. Gue mau balik ke kelas aja," ucap Karla.

"Yah, Kar. Ngga asyik banget lo. Cerita sebentar aja juga ngga akan bikin lo telat." Rio masih saja memaksa. Entah apa maksudnya.

Karla berdiri dari tempat duduknya. "Kenapa sih lo pengen tahu banget?"

"Karena lo membenci hal yang gue suka." Rio menatap Karla yang sudah ingin pergi dari tempatnya. "Gue mau kenal lo, lebih dari mereka," ujarnya dengan nada yang sedikit meninggi.

Karla terdiam. Ia duduk kembali di samping Rio. Lelaki itu masih memandanginya dengan penuh harap. Yo, kontrol diri lo. Lo lagi bicara sama cewek. Ngga boleh ngebentak. Rio menenangkan dirinya sendiri.

"Ah, maaf, Kar. Gue terlalu maksa. Lo boleh balik kok sekarang." Rio menurunkan kembali nada bicaranya. Mencoba melawan suara hatinya yang sedang aneh akhir-akhir ini jika berada di dekat Karla.

Namun, gadis yang saat ini ada di sampingnya justru mengeluarkan suara. Suara yang terdengar melemah. "Dua tahun lalu, hujan pernah jadi saksi kepergian orang yang gue sayang sekaligus penghancur mimpi gue."

Rio yang sempat menunduk itu pun kembali mengarahkan pandangannya pada Karla. Ia melihat tatapan Karla yang kosong. Tatapan seseorang yang sedang berusaha menggali kembali masa lalunya.

"Eh? Lo ngga perlu ngelanjutin kalau lo ngga mau kok. Gue udah ngga mau maksa lo lagi." Rio mengulangi lagi kalimatnya.

"Waktu lo antar gue ke pemakaman. Itu Andreas. Mantan yang ngga direncanakan. Mungkin, gue masih akan bareng-bareng sama dia kalau waktu itu dia ngga kecelakaan. Andreas kecelakaan waktu mau nonton gue lomba piano. Jalanan licin karena hujan sekaligus ada mobil yang melaju kencang. Sebelumnya, gue juga pernah kecelakaan karena ada orang ngga bertanggung jawab yang buat ojek gue kehilangan kendali. Sama, suasanya juga lagi hujan." Karla menjelaskannya panjang lebar.

Rio mendengarkan ceritanya dengan serius namun ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Kecelakaan? Karla naik ojek? Masa iya?

"Lo pernah jatuh? Dimana?" tanya Rio, berusaha memecahkan pertanyaan yang memenuhi pikirannya.

"Dekat Les Piano Browny. Padahal ngga jauh dari hari itu, gue harus ikut final lomba piano. Tangan gue sakit dan akhirnya permainan piano gue berakhir buruk. Satu-satunya harapan dan mimpi gue saat itu ...  hancur."

Tempatnya sama. Jangan-jangan beneran.

"Jadi itu yang buat lo benci banget sama hujan? Gue turut sedih, Kar, dengar kabar tentang Andreas." ujar Rio sambil mengelus punggung Karla. Karla tersenyum tipis setelahnya.

"Udah hilang kan rasa penasaran lo?" tanya Karla. Tatapannya yang kosong telah hilang, ia memandang Rio yang duduk di sampingnya. "Gantian. Lo yang cerita."

Selama beberapa detik, keempat mata itu bertemu. Namun, Rio kemudian tersadar dan melepaskan pandangannya. Khayalannya kembali ke masa kecilnya. Mengingat setiap momen keindahan yang membuatnya begitu menyukai hujan.

"Rio, jangan cemberut terus. Apa masalahmu bisa selesai hanya dengan begitu?" tanya seorang wanita yang mengenakan kaos dan celana jeans itu. Tangannya menggenggam tangan Rio cukup lama.

"Io kesal sama teman-teman Io. Padahal Io beneran mau bantu mereka tapi malah dibilang sok pahlawan," keluh Rio pada wanita itu, mamanya. Wanita itu hanya tersenyum.

"Ledekan anak kecil, itu biasa Rio." Wanita itu melihat ke arah anaknya yang sejak tadi memonyongkan bibir mungilnya.

"Yang penting kamu jangan seperti mereka. Kalau mereka berbuat jahat sama kamu, harus dilawan dengan kebaikan ya," sambungnya, "Io, hujan turun. Mau main sama mama?"

Anak kecil itu mengangguk dengan penuh semangat. Ia bergegas mengambil sepatunya dan berlari ke depan pintu. Wanita itu mengikutinya dari belakang dan membukakan knop pintu untuk anaknya.

Tawa riang dari anak kecil itu mengalir diiringi dengan suara hujan. Mamanya menggenggam tangan Rio dan berlari memutar untuk sekadar melepaskan kesedihan bagi anak lelakinya.

"Io, udah dulu yuk. Ayo, kita neduh sebentar. Hujannya makin deras." Mamanya menggendong Rio yang kelihatannya terlalu menikmati hujan.

"Tawa anak Mama udah kembali lagi. Rio, kalau kamu sedih dan punya masalah, kamu bisa mengadu pada hujan. Kesedihanmu pasti akan mengalir bersama hujan dan digantikan dengan keceriaan karena hujan bisa membuat hati tenang," jelas mamanya. Senyumnya menambah kebahagiaan yang Rio rasakan. "Sekarang kamu udah senang lagi. Bilang apa sama hujan?"

"Terima kasih hujan." Senyuman dari bibir mungil Rio kembali terlukis dan membuat mamanya ikut tersenyum.

"Yo?" Suara itu membuyarkan lamunan Rio akan masa kecilnya. "Kok diam aja sih? Gue balik nih."

Rio meraih tangan Karla. Lagi, ia menyuruhnya untuk kembali duduk. "Jangan ngambek gitu dong. Iya, gue cerita. Gue punya kenangan tentang hujan bersama mama. Waktu kecil, gue sering main hujan-hujanan sama mama kalau lagi sedih. Katanya, gue bisa mengadu masalah pada hujan supaya masalahnya bisa mengalir bersama hujan. Sekarang, gue cuma bisa menikmati momen itu sendirian. Mama udah pergi ke dunia yang sama dengan Andreas."

"Gue turut berduka, Yo." Karla merespon dengan cara yang sama dengan Rio, mengelus bahunya. "Mama lo pasti bahagia deh lihat lo kayak sekarang gini. Lo yang selalu bahagia."

"Makanya tiap hujan turun, gue pasti ingat mama," ujar Rio, "Kar, kita balik aja deh yuk. Lima menit lagi masuk. Gue temenin lo ke kelas deh."

Keduanya berjalan meninggalkan taman sekolah. Karla berjalan di samping Rio, sesekali meliriknya. Anak nyebelin ini ternyata tegar juga. Aku hanya kehilangan Andreas aja sedih banget. Ngga terbayang kalau ngga bisa bertemu dengan mama. Lo kuat, Yo.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top