#PeP13 - Suara Piano Itu Indah
"Gue harus cari tahu siapa yang bisa main piano seindah ini."
- Rio Zakaria -
🎼
Hari terus berganti. Karla menjalani kehidupannya di sekolah seperti murid-murid lainnya. Belajar dan mulai mengikuti ekstrakurikuler yang dipilihnya. Ia membutuhkan waktu selama dua minggu untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolahnya. Kini, baginya menjadi anak SMA tidak seburuk yang ia bayangkan.
"Lempar bolanya!"
"Lo jaga sana aja. Jangan ke sini!"
"Yes! Kita dapat poin."
Teriakan sekumpulan murid lelaki kelas X-3 itu memenuhi lapangan sekolah. Karla dan teman-temannya sedang mendapatkan pelajaran olahraga namun guru yang mengajarnya sedang ada rapat sehingga murid-murid dibiarkan bebas selama pelajaran olahraga. Murid lelaki memilih untuk menguasai lapangan dengan permainan basketnya, sementara murid perempuan hanya bisa duduk di sisi lapangan sambil bergosip.
"Kapan mereka selesai sih? Kalau selama dua jam pelajaran kita diam begini terus kan bosan juga. Gue juga mau main," keluh salah satu murid perempuan yang duduk tidak jauh dari Karla.
"Iya, bosan begini terus," sambung murid lainnya yang kemudian berteriak supaya mereka yang ada di tengah lapangan dapat mendengarnya, "hei kalian! Gantian dong, kami juga mau main."
Mereka yang berada di tengah lapangan tampaknya mengabaikan teriakan itu. Mereka masih tetap bermain hingga akhirnya salah satu dari mereka menghentikan larinya dan menengadahkan telapak tangannya ke atas. "Bro, hujan. Balik yuk!"
Satu per satu dari mereka meninggalkan lapangan, namun tidak dengan murid perempuan yang duduk di sisi lapangan. Seseorang meneriakinya, "Kalian ngga mau kembali ke kelas? Ini hujan loh!"
Seketika lapangan sekolah menjadi sepi karena semuanya telah berlari masuk ke dalam kelas, termasuk Karla. Karla selalu tidak suka jika hujan turun secara tiba-tiba, terlebih hujan itu selalu turun saat menuju jam pulang sekolah. Itu yang menjadi alasannya selalu pulang telat beberapa hari belakangan. Tepat seperti dugaannya, bel sekolah berdering bersahutan dengan derasnya bunyi hujan yang turun.
"Mon, kamu ngapain pakai bedak di jam pulang sekolah?" Karla melihat sahabatnya yang duduk tepat di sampingnya.
Monic tersenyum dan memperlihatkan sederetan giginya yang putih. Ekspresi itu terlihat jelas dari cermin di bedak padatnya. "Kan tadi kita baru aja selesai pelajaran olahraga, harus touch up supaya tetap cantik dong, Kar," balasnya sambil masih memandangi cermin di bedak itu.
Karla menggelengkan kepalanya. "Bahkan tadi kita cuma duduk di pinggir lapangan, Mon, ngga keringetan juga. Hmm ... aku mau ke ruang musik aja deh daripada di sini cuma ngeliatin kamu dandan."
Pandangan Monic akhirnya terlepas dari cermin itu, ia melihat ke arah sahabatnya yang hampir hilang dari penglihatannya. "Yah, Kar, kok gitu sih? Temenin aku, Kar. Karla!" ucapnya sedikit berteriak namun nyatanya Karla tak mendengar teriakannya dan terus berjalan.
Karla sampai di depan ruangan musik dan membuka pintu itu. "Halo, Kak. Aku masuk ya."
Di dalam ruangan itu masih ada dua gadis yang memang biasa mendiami ruangan itu hanya untuk sekadar nongkrong. Salah satunya, Mitzy, bertanya kepada Karla, "Silakan. Kok kamu belum pulang? Padahal bel sekolah kan udah bunyi sejak 15 menit lalu."
"Hujan, Kak. Ngga bisa pulang," balas Karla, "oh iya, aku pinjam pianonya ya. Kalau hujan gini, biasanya paling enak diiringi dengan dentingan piano buat nutupin suara hujan yang berisik."
"Nah! Mantap tuh. Mainkan, Kar," seru kedua gadis itu antusias, "request lagu 'Versace on the Floor' dong."
Anggukan kepala Karla menunjukkan antusiasnya yang tinggi dalam memainkan musik itu. Salah satu lagu dari penyanyi yang juga menjadi favoritnya. Jemari Karla mulai menari-nari di atas tuts piano. Setiap tuts yang ditekannya berhasilkan mengekspresikan satu kesatuan nada yang indah. Memang, kemampuan Karla ini tak ada yang bisa meragukannya. Bahkan kakak kelas yang berdiam diri di sana pun ikut terbawa suasana tenang dan sejuknya alunan nada piano itu.
"Yah, kok udah kelar aja sih lagunya? Lagi, Kar, lagi," pinta Mitzy yang sejak tadi tak bisa berhenti menari-nari sambil mendengarkan permainan piano Karla.
"Lo keren, Kar. Bakal jadi penerusnya Zudit nih kayaknya. Dia alumni sini dan sekarang udah jadi pianis profesional yang sering dipanggil ke luar negeri." Sasha memuji Karla sambil berjalan menghampirinya. "Ayo, Kar, satu lagu lagi dong. Hujan juga belum berhenti, it means lo belum mau pulang kan?"
"Iya, Kak, iya. Doain aja supaya aku beneran bisa kayak Kak Zudit itu ya." Karla melepaskan tatapannya dari Sasha dan kembali beralih ke piano yang ada di hadapannya.
🌂🌂🌂
"Wih! Hujan!" seru lelaki yang sedang berlari kegirangan ke tengah lapangan.
"Yo, lo ngapain sih? Jangan kayak bocah gitu napa. Nanti gue lagi yang repot kalo lo sakit karena hujan-hujanan," keluh Leon. Ia memang menjadi sahabat sekaligus perawat bagi Rio di kala ia sakit. Maklum, Rio hanya tinggal bersama papanya yang sering pergi ke luar kota.
"Tenang, Yon. Hujan itu ibaratnya teman gue sendiri. Gue udah kebal, ngga bakal sakit." Kaki Rio masih berlari hingga akhirnya terpijak di lapangan.
"I love rain. Aku selalu bahagia saat hujan turun karena aku dapat mengenangmu untukku sendiri," serunya yang kemudian diikuti dengan nyanyian kecil yang keluar dari mulutnya.
Jika Rio ditanya apa momen kebahagiannya, jelas ia akan menjawab bermain di tengah hujan, terlebih sambil merentangkan tangan. Hujan punya kenangan manis untuknya. Tak heran, ia selalu menyukai datangnya hujan.
Leon yang menjadi saksi tingkah aneh sahabatnya itu hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Pasalnya, tidak hanya sekali dua kali Rio melakukan rutinitasnya itu. Hampir setiap hari saat hujan turun. Leon bahkan sampai bingung kenapa ia masih bisa sehat bugar dan tidak sakit seperti kebanyakan orang saat hujan-hujanan.
"Lah? Gitu doang, Yo? Kok udah balik lagi ke pinggir?" tanya Leon saat melihat Rio yang berlari berlawanan arah menuju sisi lapangan.
"Iya, gue baru inget kalau hari ini petugas piketnya Pak Nazrul. Gue ngga mau kena marah dia lagi karena main hujan."
Beberapa kali sebelumnya, Rio pernah mendapat teguran dari Pak Nazrul. Alasannya takut muridnya sakit karena semua murid menjadi tanggung jawab dari guru sekolah.
Sontak Leon tertawa mengingat kejadian lalu saat Rio ditarik paksa menjauh dari tengah lapangan oleh Pak Nazrul. "Nah, itu lo paham. Makanya punya hobi jangan aneh-aneh."
"Hobi kayak gini bisa bikin lo lebih dekat dengan alam." Rio membela diri. "Udah deh, gue mau balik ke ruang OSIS."
Ia meninggalkan Leon di belakang dan berjalan sendirian menuju ruangan itu. Rio mendengar sesuatu yang berhasil menghentikan langkah kakinya. Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar. Kakinya bergerak kembali menghampiri sumber suara indah.
"Gue tahu ini suara piano. Biasanya ngga ada yang pernah nyentuh piano di sekolah ini. Gue harus cari tahu siapa yang bisa main piano seindah ini. Ada hal yang perlu gue omongin sama dia."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top