#PeP11 - Selamat Tinggal, Andreas

"Kenapa secepat ini? Semua janji itu udah ngga berlaku lagi?"
- Karla Quenncy -

🎼

"Dek, udah siap? Ayo kita jalan sekarang kan masih harus registrasi ulang ya." Wanita itu menggandeng tangan Karla dan berjalan bersamanya.

Gadis yang memakai dress berwarna merah dengan dasi kupu-kupu berwarna putih itu berjalan menuju mobil. Tangannya dingin, jemarinya bergerak tiada henti. Gugup. Gelisah.

Davon tengah duduk di depan setir saat Karla dan mamanya masuk ke dalam mobil. Matanya melirik ke kursi belakang. Memandangi adiknya yang melirik ke segala arah sambil sesekali memegangi ponselnya.

"Jangan grogi, Dek. Lo kan jagoan." Davon berusaha menyemangati adiknya meskipun ia tahu penyebab Karla gelisah yang sebenarnya.

Mamanya ikut menoleh ke belakang dan tersenyum. "Iya, Bang," ucap Karla dengan nada melemah, "Andreas kok ngga ngasih kabar sama sekali ya? Padahal dia juga tahu kalau gue tampil hari ini."

"Sibuk kali, Dek. Tunggu aja, nanti dia juga datang sendiri kok." Davon tak menghilangkan pandangannya dari jalanan.

Gedung yang menjulang tinggi dan berwarna hitam itu mulai terlihat dari kejauhan. Kegelisahan Karla semakin meningkat, mengingat kompetisi pertamanya akan segera dimulai.

Orang-orang mengantre cukup panjang untuk masuk ke dalam gedung. Untungnya, barisan antrean antara peserta dan penonton dipisahkan. Karla dan mamanya langsung menuju meja registrasi kemudian bersiap di atas panggung, sementara Davon masih mencari tempat parkir untuk mobilnya.

"Wah, jadi begini rasanya ikut kompetisi besar ya." Mata Karla bersinar. Senyumnya merekah. Segala kekhawatiran dan kegelisahan seakan menghilang dari dirinya.

🌂🌂🌂

"Mana kanvas itu? Udah jam berapa ini?" seru Andreas. Kakinya bergerak ke kanan dan kiri. Tangannya meraba meja belajar. Matanya memandangi jam dinding di kamarnya. "Sepuluh menit lagi mulai dan aku bahkan belum mencari kado yang udah kurencanain dari jauh-jauh hari."

Andreas mulai kesal namun ia tahu kalau marah tidak bisa membantunya menyelesaikan masalah. Tangannya mengambil dengan cepat kanvas yang akhirnya ia temukan tergeletak di bawah meja belajarnya kemudian memasukannya ke dalam kotak. Ia mengambil jaket jeans yang tersampir di belakang pintu kamarnya dan meraih kunci motor di saku celananya.

"Oke, tujuan selanjutnya, toko kado."

Motornya melaju dengan kecepatan tinggi menuju toko kado yang ada di dekat gedung tempat lomba Karla dilaksanakan. Pramuniaga toko itu menyapa dan menyambut Andreas dengan hangat namun Andreas hanya tersenyum dan langsung bertanya, "Mbak, saya mau beli kotak musik. Tempatnya di sebelah mana ya?"

Pramuniaga itu langsung mengarahkan Andreas menuju barang yang dicarinya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengambil dan membayar kotak musik berbentuk piano. Ini pas.

"Mbak, minta tolong dibungkus sekalian ya. Tolong tuliskan ini juga, Mbak." Andreas menyodorkan ponselnya. Sebelumnya, ia memang sudah mempersiapkan kalimat ucapan darinya di catatan yang ia tulis di ponsel.

Pramuniaga itu mengangguk. Tangannya dengan cepat dan terampil membungkus kado itu sehingga terlihat cantik dan menarik. "Terima kasih banyak, Mbak," ujar Andreas setelah memberikannya beberapa lembar uang.

Semuanya udah. Aku tinggal berjalan sebentar lagi dan sampai di gedung. Wait for me, Kar.

"Duh! Kok malah hujan sih. Biarlah, terobos aja. Sebentar juga akan sampai." Andreas mengenakan helmnya dan menyalakan motor itu kembali.

Tin! Tin! Tin!

"Aduh! Darahnya yang keluar banyak banget."

"Cepat, cepat telepon ambulans! Apa kalian sebodoh ini? Hanya bisa melihat orang lain terluka tanpa mau membantunya?"

🌂🌂🌂

"Karla, siap-siap ya lima menit lagi waktumu tampil," ujar lelaki berpakaian nuansa hitam yang membawa benda semacam walkie talkie di tangannya.

Tenang, Karla, tenang. You can do it! Karla menarik dan membuang napasnya berulang kali. Ia memegangi tangan kanannya yang masih terasa sakit. Masih sakit sih tapi aku pasti bisa melawannya.

Derap sepatu Karla terdengar menaiki panggung. Suasana hening di dalam gedung membuatnya semakin grogi. Ia melihat ke bangku penonton berharap menemukan Andreas di sana namun kenyatannya tak sesuai dengan harapan.

Alunan nada dari tuts hitam dan putih itu mulai terdengar. Indah. Lantunan yang mulai merasuki perasaan para penonton dan juri. Namun, tak sepenuhnya nada itu terdengar indah. Karla mulai merasakan tangannya kaku dan sakit kembali.

Tangan, ayo bantu aku sampai lagu ini selesai. Jangan sakit dulu. Ayo, Karla!

"Kok jadi jelek sih?"

"Kalau permainannya kayak gitu sih mendingan anak saya yang kemarin masuk final."

"Aduh! Berhenti aja. Telinga saya sakit kalau harus mendengar nada seburuk ini."

Kalimat-kalimat itu mulai terdengar dari ibu-ibu yang mendominasi penonton kompetisi piano. Karla menyadari bahwa permainannya sangat buruk dan ingin mengakhirinya. Terlebih, tangannya terasa lebih sakit ketika ia memaksakan diri untuk bermain piano.

Karla menekan satu tuts putih sebagai akhir dari permainannya. Air matanya mengalir seketika setelah ia mengakhiri permainan buruknya. Mamanya dan Davon bergegas menuju ke belakang panggung, memastikan bahwa Karla tidak apa-apa.

"Sayang? Ngga apa-apa, jangan menangis. Mama tahu perjuanganmu kok." Mamanya mengelus lembut punggung Karla.

Tangisnya makin keras. "Kalau belum berhasil menyelesaikan lagu itu berarti Adek belum berjuang. Tangan ini payah, tak bisa diajak kompromi. Andai kecelakaan itu ngga pernah terjadi, pasti akan berhasil."

Davon berjalan menjauh sedikit dari Karla. Mengangkat sebuah panggilan yang masuk ke nomornya. "Serius, Moz? Iya, nanti gue kasih tahu ke mereka. Kalian yang sabar ya."

Davon kembali, melihat adiknya dengan lemah. Ia menghampiri mamanya dan berbisik. Ekspresi keduanya membuat Karla semakin bingung. Mamanya menghela napas dan akhirnya kalimat itu terucap juga dari mulutnya.

"Kar, mama turut sedih." Mendengar kalimat itu, feeling Karla sudah tidak baik. "Andreas meninggal, baru aja."

Mata Karla membulat. Air matanya mengalir lagi, sekarang tambah deras. "Siapa yang bilang? Dia bilang mau ke sini kok. Andreas ngga pernah mengingkari janjinya."

"Mozya barusan telepon gue, Dek. Katanya Andreas tertabrak mobil waktu dia menuju ke sini. Hujan turun dan jalanannya licin. Dia ngga bisa mengendalikan motornya dan saat itu tepat ada mobil yang melaju di dekatnya."

"Ngga! Gue ngga mau percaya kalau belum lihat sendiri. Antar gue ke rumah sakit sekarang, Bang."

"Lombanya?" tanya mamanya, mengingatkan Karla kalau saat ini ia masih ada di kompetisi.

"Tanpa Andreas, aku ngga akan ada di kompetisi ini, Ma. Lagi pula aku juga ngga akan berhasil kali ini."

Mereka pun pergi meninggalkan gedung itu. Meninggalkan kompetisi yang selama ini Karla idamkan. Rumah Sakit Tiara. Karla bergegas masuk dan menemukan Mozya berdiri di depan pintu UGD. Mozya melirik ke arahnya dan berlari memeluknya. "Yang sabar, sayang. Maafin Andreas ya."

Karla menggelengkan kepalanya. Ia melepas pelukan Mozya dan berlari menuju ke dalam UGD, tak peduli dengan larangan suster yang menjaga di sana.

Ia membuka selimut putih yang menutupi sekujur tubuh seseorang yang tertulis nama "Andreas Ricolo" di tempat tidurnya. Karla memeluk tubuh itu yang semakin lama mendingin dan kaku.

"Ndre, kenapa secepat ini? Apa semua janji yang kamu bilang ke aku itu udah ngga berlaku lagi?"

Suster yang menjaga UGD tersebut menarik tubuh Karla menjauh dari tempat tidur itu. Membawanya keluar.

"Kenapa begitu banyak masalah yang harus kuhadapi? Mulai detik ini, Karla benci dengan hujan. Hujan yang merebut semua kebahagiaan yang pernah kumiliki."

Karla berlari meninggalkan rumah sakit itu diikuti dengan pandangan mamanya, Davon, dan Mozya yang tak tega melihat Karla. Entah kemana kaki itu akan membawanya. Yang ia inginkan hanya terlepas sejenak dari beban masalah saat itu. Berusaha merelakan Andreas, lelaki yang dicintainya, pergi untuk selama-lamanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top