✨Bab 10 : Kecewa ✨

Sesampainya di ruangan BK, Aila yang telinganya memerah sehabis di jewer oleh Bu Beti, duduk di ruangan tersebut dengan wajah yang cemberut.

"Aila! Sudah berapa kali ibu bilang kamu itu perempuan! Jangan berkelahi dengan anak laki-laki."

Semprot Bu Beti sesampainya di ruangannya setelah melihat Aila duduk. Wajahnya garangnya tidak berhenti menatap Aila dengan mata melotot dan terlihat sangat kesal.

"Iya, saya tahu kok, Bu!" Aila berkata dengan santai, tanpa sedikit pun rasa takut terlihat di wajahnya.

"Iya? Tahu apa kamu?"

"Tahu saya perempuan, Bu!"

Aila menatap Bu Beti dengan wajah datarnya, pertanyaan macam apakah ini? Semua orang yang melihat dirinya, pasti tau bahwa ia adalah seorang perempuan.

"Kalau kamu tahu bahwa kamu perempuan kenapa masih berkelahi dengan anak laki-laki? Apalagi dia kakak kelas kamu?"

"Ya, terserah saya dong, Bu! Dia yang mulai duluan, kok!"

Bu Beti yang mendengar jawaban Aila, memegang kepalanya mendadak pusing menghadapi siswanya yang satu ini. Lama-lama darah tingginya kumat lagi karena terlalu sering marah-marah.

Aila adalah siswa yang paling susah untuk diatur dan tingkahnya terkadang sulit untuk diprediksi. Kadang Aila suka membuat onar dan kerusuhan, terkadang tidak melakukan apa-apa seperti siswa normal lainnya.

Bu Beti sebenarnya tidak mau berurusan dengan siswanya yang satu ini, tapi tidak ada guru lain yang mau menyelesaikan masalahnya. Akhirnya, terpaksa ia juga yang turun tangan meyelesaikan masalah yang telah terjadi. Apalagi ini berkaitan dengan anak kesayangan kepala sekolah.

"Setidaknya kamu jangan pukul kakak kelasmu sampai babak belur begitu," kata Bi Beti sambil menghembuskan nafas lelahnya.

"Aahh, itu karena dia udah bikin saya kesal, Bu! Hmm!," balas Aila cemberut.

"Jangan banyak alasan kamu, Aila! Hanya karena kesal kamu berani memukul dan berkelahi dengan kakak kelas kamu, pasti ada alasannya lainnya, 'kan?" tanya Bu Beti dengan plototan tajamnya yang tidak mempan buat Aila.

"Enggak, ada alasan lain kok, Bu," jawab Aila santai.

Bu Beti yang mendengar jawabannya tersebut merasakan kepalanya kembali berdenyut.

"Kamu tahu siapa yang kamu pukul?"

"Tahu, Bu!"

"Siapa?"

"Kakak kelas saya."

"Saya lama-lama capek ngomong sama kamu," kata Bu Beti sambil memegang kepalanya.

"Ya, udah gak usah ngomong sama saya, Bu!" kata Aila sambil nyengir ala kuda minta disleding.

Bu Beti sekali lagi memelototi Aila dengan wajah sangarnya. Sayangnya, Aila sama sekali tidak takut dengan plototan tersebut.

"Sudah kamu keluar sana! Tunggu kepala sekolah menentukan hukuman yang cocok buat kamu karena anak beliau yang kamu pukul sampai babak belur," kata Bu Beti lelah sambil memijit kepalanya.

"Yeay! Dari kek, Bu!" teriak Aila dengan wajah senangnya sambil melangkah keluar dari ruangan BK tanpa mendengarkan perkataan gurunya.

"Sepertinya aku harus mencari bantuan untuk mengurus siswa yang satu ini," kata Bu Beti dalam hatinya saat melihat Aila melangkah keluar dari ruangan.

Di luar ruangan BK, Tiara berdiri di luar melihat Aila keluar dari ruangan dengan wajah yang berseri-seri langsung menghampiri Aila dengan perasaan cemas.

"La, lo gak papa, 'kan? Gak ada yang sakit, 'kan? Perlu gue anter ke UKS?" tanya Tiara bertubi-tubi.

"Ra, lo tenang dulu kalau mau tanya itu satu-satu, kalau gak gue bingung jawabannya," kata Aila sambil menenangkan Tiara.

"Hehehe, gue terlalu khawatir sama lo," kata Tiara cengengesan.

Setelah itu, Aila menjelaskan semua yang terjadi kepada Tiara, sambil berjalan menuju kelas mereka. Tiara pun mendengarkan dengan penuh perhatian.

Setelah sampai di kelasnya Aila langsung duduk di kursinya sambil meletakkan kepala di atas meja. Ia ngantuk dan lelah setelah berkelahi dengan Danil, menghabiskan banyak tenaganya. Sedangkan Tiara hanya menatap temannya tersebut dengan prihatin.

Pulang sekolah Aila tidak langsung pulang, ia pergi ke supermarket untuk membeli makanan dan cemilan. Kemudian ia pergi ke sebuah rumah yang sudah tua tapi masih terawat dengan baik.

Rumah tersebut tak lain adalah panti asuhan, tempat anak-anak yang tidak lagi mempunyai orang tuanya atau yang telah dibuang oleh orang tuanya. Terkadang setelah pulang sekolah Aila  mampir sebentar untuk memberikan makanan dan camilan untuk anak-anak tersebut.

Bisa dibilang Aila merasa bernasib yang sama seperti anak-anak panti tersebut, akan tetapi ia lebih beruntung bisa hidup mewah dan semua kebutuhannya terpenuhi. Cuma satu kekurangannya perhatian orang tuanya yang tak kunjung ia dapatkan.

Selesai berkunjung ke panti asuhan, barulah Aila pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah Aila disambut oleh wajah Bi Inah yang cemas dan panik.

"Akhirnya Non Aila pulang dari mana aja, Non," kata Bi Inah mengambil tas dari tangan Aila.

"Ada apa, Bi?" tanya Aila penasaran saat melihat raut wajahnya Bi Inah yang tidak seperti biasanya.

"Tuan dan nyonya ada di rumah, saat mereka pulang dan melihat lukisan yang dicoret-coret dan guci kesayangan ada yang hilang. Tuan dan nyony marah besar, Non!" kata Bi Inah ketakutan, "Tuan, menyuruh saya meminta Non Aila untuk datang ke ruangannya."

"Oke, Bi!" kata Aila sambil tersenyum-senyum lebar karena sudah tau apa yang akan terjadi.

Di ruangan kerja, ayah dan ibunya Aila menunggunya dengan wajah penuh dengan emosi. Guci-guci dan lukisan yang langka dengan susah payah mereka dapatkan dan merupakan harta kebanggaan mereka dihancurkan oleh anak semata wayangnya.

Saat Aila tiba di ruangan ayahnya, ia langsung mendapatkan plototan tajam dari sang ayah.

"Aila, beraninya kamu menyentuh lukisan, papa!! Kamu tau lukisan itu adalah lukisan yang sangat langka," bentak Hartono kepada anaknya sambil memukul meja.

"Kamu juga memecahkan guci-guci antik kesayangan, mama! Kamu ini sudah mama bilang jangan sentuh guci-guci itu," kata ibunya dengan raut wajah sangat kesal karena guci-guci antik kesayangan dihancurkan.

Aila hanya menatap kedua orang tuanya datar.

"Kenapa kamu jadi anak lebih susah diatur begini, lagian kenapa kamu merusak barang-barang antik yang susah payah papa kumpulkan?" tanya sang ayah tak habis pikir.

"Emang apa bagusnya sih barang-barang gak berguna itu? Benda mati disayang-sayang! Sedangkan anak sendiri dibuang!" kata Aila sambil tersenyum sarkas.

"Aila!! Beraninya kamu berkata seperti itu kepada papamu!" kata ibunya Aila sambil menatap tajam ke arahnya.

"Mama juga sama kayak papa! Apa bagusnya guci-guci antik kesayangan mama itu? Mana yang lebih berharga Aila atau guci itu?" tanya Aila  kepada ibunya.

Sang ibu yang mendengar perkataan Aila langsung menghampirinya kemudian melayangkan sebuah tamparan ke pipinya Aila.

"Kemarin-kemarin papa, sekarang mama juga ikutan nampar aku?" tanya Aila menatap sang ibu dengan raut wajah kecewa.

Aila merasakan sakit di pipinya menatap ibunya kecewa, kemudian lari dengan kecepatan yang ia bisa meninggalkan ruangan kerja ayahnya dengan perasaan penuh luka.

Apa mereka tidak mengetahui bahwa ia sangat iri dengan barang yang mendapatkan perhatian sekaligus perawatan ayah dan ibunya. Sedangkan ia sendiri tidak pernah merasakan atau mendapatkan hal tersebut.

_______________✨✨✨_____________

Update: Kamis, 19 Mei 2022
Pengawas: Ahzanysta

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top