IZINKAN AKU MENJADI IMAMMU

Ali Pov

Dengan rasa tak karuan gue berusaha bersikap sewajarnya di hadapan orangtua dan adik Prilly. Mereka tidak tahu saja bagaimana perasaan gue saat ini. Tegang, seneng, pokoknya begitulah rasa nano-nano. Gue lihat Prilly belum ke luar buat nemuin gue. Tapi, di saat gue sedang asyik mengobrol bersama Om Rizal dan Raja, Tante Uly datang membawakan teh dan kue. Katanya sih bikinan Prilly. Aduuuhhh ... sudah cantik, pinter, lucu, imut dan point plus-nya adalah pinter masak! Termasuk calon istri idaman nih? Issshhhh, apaan sih pikiran gue sudah ke sono aje?

"Sebentar ya Li ... Prilly-nya baru mandi. Soalnya tadi habis masak dan bikin kue, jadi kotor bajunya dan wajahnya penuh tepung," jelas Tante Uly tersenyum manis padaku.

Mau nunggu sampai gue kering di sini, bakalan gue jabanin.

"Iya Tante," jawab gue ramah, dan malu-malu. Mungkin karena baru pertama kali gue main ke rumah cewek dan baru kali ini juga gue main ke rumah Prilly.

"Bagaimana Li tantangan Om kemarin? Sudah siap kamu?" seru Om Rizal saat gue mau mengangkat cangkir.

Yaelah masih ingat saja Om Rizal soal tantangannya itu.

"Insya Allah Om saya siap " Sebagai lelaki sejati gue terima tantangan Om Rizal. Hitung-hitung mengambil hatinya.

Gue melanjutkan mengangkat cangkir dan menyeruput teh manis buatan calon mertua.

"Oke, sekarang kita pindah ke Gazebo belakang saja ya, biar kita mainya bisa lebih tenang," ajak Om Rizal setelah gue meletakkan kembali cangkir ke atas meja.

"Boleh juga tuh Om," sahut gue sok akrab.

Lalu kami beranjak dari duduk dan berjalan menuju ke taman belakang. Saat melewati ruang tengah, gue belum juga melihat Prilly. Lama banget mandinya?

"Ja, tolong ambilkan papan caturnya, bawa ke Gazebo belakang ya? Papa tunggu di sana?" perintah Om Rizal pada Raja.

"Siap Capt! Laksanakan perintah," ujar Raja sambil menirukan tentara yang sedang diberi tugas komandannya.

Gue tersenyum dan menggelengkan kepala. Asyik juga keluarganya Prilly. Orangtuanya welcome, apalagi papanya. Enak banget diajak ngobrol.

"Ayo Li ... Ma, kita ke belakang," ajak Om Rizal.

Gue langsung mengikuti Om Rizal dan Tante Uly berjalan di belakang mereka menuju ke arah taman belakang rumah ini. Meskipun sudah berumur, mereka masih mesra, seperti Mama sama Papa gue.

Sesampainya kami di Gazebo, gue duduk berhadapan dengan camer, eh! Maksud gue, Om Rizal. Sumpah, gue tegang banget pas mau mulai main catur lawan papanya Prilly. Di depan Gazebo ada kolam renang dan ada taman kecil, ada juga ayunannya di tengah taman kecil sini. Tatanan bunga-bunga menambah keasrian tempat ini. Bener-benar sejuk dan teduh tempa ini.

***

Autor Pov

Saat Prilly berdiri terdiam di ruang tamu, dia tidak menyangka sebelumnya, Ali justru sudah pulang.

"Apa gue mandinya kelamaan Li, sampe lo nggak sabar nungguin gue?" lirih Prilly sedikit tergantung suaranya di tenggorokan karena menahan tangis.

Tiba-tiba ada air bening jatuh dari sudut matanya. Dia berbalik badan dan ingin kembali ke kamarnya, Prilly sayup-sayup mendengar gelak tawa dari halaman belakang rumahnya. Ia berjalan perlahan menuju ke belakang. Sesampainya di ambang pintu, ia melihat tiga lelaki berbeda generasi duduk di Gazebo, dua diantaranya sedang asyik memperhatikan papan catur. Sedangkan seorang wanita memperhatikan mereka dengan seriu,s duduk di kursi depan Gazebo. Senyum terlukis di bibir Prilly.

"Eh Kak, ngapain di situ? Sini seru nih?" sapa Raja sambil melambaikan tangannya agar Prilly menghampiri mereka.

Prilly langsung saja menghampiri mereka yang berada di Gazebo. Mengambil duduk di sebelah Uly. Rizal dan Ali serius memainkan catur. Sesekali mereka tertawa bersama. Tak ada lagi rasa canggung diantara mereka. Meski sedang serius bermain catur, Ali sesekali mencuri pandang kepada Prilly, membuat gadis itu tersipu malu hingga membuang wajahnya ke arah lain.

Tak terasa hari sudah semakin sore. Rizal, Uly dan Raja masuk lebih dulu ke dalam rumah. Tinggalah Prilly dan Ali, rasa canggung terlihat di antara mereka. Hening, itulah suasana saat ini.

"Mmm ... Pril?" panggil Ali pelan berusaha mencairkan keheningan di antara mereka.

"Iya?" sahut Prilly menoleh.

"Sebentar lagi, kita kan UAS, terus UAN," kata Ali menggantung.

"Iya nggak terasa yaaa cepet banget," timpal Prilly berusaha bersikap normal namun terhalang oleh detakan abnormal jantungnya.

"Gimana kalo kita taruhan Pril?" seru Ali membuat dahi Prilly mengerut.

Prilly menatap Ali bingung, hingga memiringkan kepalanya.

"Taruhan gimana maksudnya?" tanya Prilly yang tidak mengerti maksud Ali.

Ali menegakkan duduknya, dia mendekatkan diri pada Prilly. Meski jantung keduanya berjalan tidak normal, namun mereka berusaha bersikap layaknya sebagai teman.

"Jadi siapa di antara kita berdua yang nilainya lebih tinggi, harus nurutin satu permintaannya. Gimana?" jelas Ali pada Prilly.

Prilly sejenak nampak berpikir, "Mmm ... gimanaya?" Ali menunggu jawaban Prilly tampak was-was. "Oke deh, tapi janji ya, harus tepati, kalau gue yang menang, jika gue minta keliling dunia, lo harus tepati. Gimana?" seru Prilly membuat Ali tertawa lepas.

"Oke, deal." Ali mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Prilly.

"Deal!" jawab Prilly mantap menerima uluran tangan Ali.

Mereka berjabat tangan, tanda persetujuan kesepakatan. Tatapan mata mereka sejenak terkunci, seolah mata mereka yang berbicara, bibir tetap membisu namun mata tak dapat menolak perasaan yang mereka miliki.

"Ali! Prilly! Sudah Magrib, Nak. Ayo masuk!"

Teriakan dari Uly menyadarkan mereka yang masih saling berjabat tangan. Mereka akhirnya melepaskan jabatan tangan itu, senyum canggung terukir di bibir mereka. Keduanya malah bersikap salah tingkah.

"Masuk yuk!" ajak Prilly memecahkan rasa canggung yang tercipta.

Ali mengangguk dan berdiri, menunggu Prilly berjalan lebih dulu. Mereka pun masuk ke dalam rumah, karena sudah waktunya salat Magrib. Uly, Raja dan Rizal terlihat baru saja keluar dari ruang salat.

"Ali, salat di sini saja, sekalian nanti kita makan malam bersama ya?" ujar Uly mengelus kepala Ali penuh kasih sayang.

Hati Ali bergetar, rasa bahagia menyelimutinya saat ini. Lampu hijau seakan dia dapat dari keluarga Prilly.

"Iya Tante, tidak merepotkan nih Tan?" jawab Ali yang sungkan, takut jika akan merepotkan keluarga Prilly.

"Tidaklah Li, kamu itu ada-ada saja. Malah Tante seneng kamu di sini. Ya sudah kamu ambil air wudhu di situ." Uly menunjuk keran yang ada di samping ruang salat.

"Iya Tan, makasih," ucap Ali sembari melipat celananya.

Saat Ali sudah selesai berwudhu, ia segera masuk ke dalam ruang salat, dia melihat Prilly sedang mengenakan mukenanya.

"Pril?" sapa Ali yang membuat Prilly menoleh terkejut karena suara Ali datang tiba-tiba.

Prilly melanjutkan memakai mukenanya.

"Eh, iya Li, gue ketinggalan salat berjamaah tadi. Mama, Papa dan Raja sudah duluan," jelas Prilly, padahal Ali tak menanyainya. Mungkin saking bingungnya Prilly bersikap kepada Ali, jadi terlihat gugup dan basa-basi.

Ali paham dengan maksud Prilly, dia hanya menganggukkan kepalanya.
Ia mengambil posisi sejajar dengan Prilly.

"Li?" panggil Prilly pelan dan lembut.

"Hemm ... iya Pril?" jawab Ali seraya menoleh ke Prilly yang ada di sampingnya, berjarak agak jauh darinya.

"Lo kan cowok Li, masa iya lo salatnya sejajar sama gue? Mending lo di depan," saran Prilly pada Ali.

Ali menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia tersenyum sungkan, karena biasanya dia salat bersama mama dan kakaknya, sekarang ada orang lain bersama dia, Ali belum terbiasa.

"Oh iya ya, Pril?" jawab Ali salah tingkah sambil menggaruk-garuk tengkuknya terus dan senyum-senyum malu tak jelas.

Prilly hanya tersenyum melihat tingkah tak biasa Ali itu. Entahlah, apa yang ada di dalam benak Prilly saat ini tentang Ali. Setelah Ali berdiri di depan Prilly, dia menoleh ke belakang.

"Pril! Gue boleh nggak jadi imam lo?"

Pertanyaan Ali sontak membuat Prilly merona dan kaget. Soalnya baru pertama ini ada lelaki lain yang menjadi imamnya saat salat, kecuali papa dan adiknya, entah apa lagi yang dirasakannya saat ini. Debaran di dadanya semakin berdegup kencang. Di balik pintu yang tak tertutup rapat terlihat Uly dan Rizal. Mereka mendengar ucapan Ali, sontak membuat mereka yakin jika Ali adalah orang yang tepat untuk putrinya. Uly yang mendengar ucapan Ali tak terasa mengeluarkan air mata kekagumannya kepada pemuda itu.
Rizal hanya bisa tersenyum, hatinya merasa kelegaan, saat Prilly menjadi makmum dan Ali yang menjadi imamnya.

"Boleh kok Li, sudah sepantasnya lo saat ini jadi imam dan gue jadi makmumnya. Karena saat ini, cowok di ruangan ini cuma lo," jawab Prilly dengan senyuman terbaiknya.

'Andai gue diizininkan menjadi imam dalam hidup lo, selama gue masih bernapas dan hingga gue berhenti bernapas. Bahkan, gue iklas lahir batin Pril, jika memang harus menjadi imam lo di dunia dan akhirat. Aamiin. Gue bakalan berusaha menjadi imam yang baik buat lo dan keluarga kita, termasuk anak keturunan kita nantinya,' batin Ali penuh dengan harapan yang kuat.

Akhirnya mereka pun salat berjamaah. Ali sebagai imam dan Prilly sebagai makmumnya.

Usai salat berjaah berdua, Ali dan Prilly pun ikut bergabung di ruang makan. Makan malam ini pun berlangsung dengan sukacita.
Setelah makan malam, Ali langsung berpamitan untuk pulang.

***

Sesampainya Ali di rumahnya, ia langsung masuk, tidak lupa mengucapkan salam dan langsung menghampiri Alya dan Resi yang berada di ruang keluarga. Ali pun duduk di samping Resi dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan dan selalu mengembang di bibir merahnya.

"Seharian dari mana aja lo, Li? Pagi-pagi gue cari lo sudah nggak ada?" tanya Alya yang membuat Ali langsung memandangnya.

Ali yang tadi bergelayut manja di bahu Resi, seketika bingung dan gelagapan. Mau menjawab apa ya? Jujur atau bohong, pikir Ali. Kalau jujur, sudah dapat dipastikan, Alya akan menggodanya.

"Main Kak," jawab singkat Ali sekenanya yang tetap menebar tersenyuman.

"Tumben lo main dari pagi baru pulang malam begini? Dari mana aja sih lo? Awas ya lo macem-macem di luar sana?" ancam Alya yang membuat Ali justru tertawa.

Resi menutup mulut Ali agar tawanya tak semakin keras.

"Loh, kok malah tertawa sih Li? Memangnya kamu dari mana?" tegas Resi yang kali ini membuat Ali menjawab kecurigaan kakak dan mamanya itu.

Sebelum menjawab Ali menarik napas, jujur lebih baik, daripada menutupi sesuatu yang akan menyangkut masa depannya nanti, pikir Ali

"Dari rumah Prilly Ma, Kak. Tadi main-main aja sama keluarganya. Di rumahnya aja kok, nggak keluar-keluar," jelas Ali yang membuat Resi dan Alya melongo dan menatap Ali tak percaya.

Resi dan Alya saling berpandangan dengan tatapan penuh selidik.

"Apa Li? Serius lo?" tanya Alya belum dapat mempercayai Ali begitu saja.

Ali hanya menjawab dengan anggukan kepala diiringi senyum malu-malunya.

"Sumpah Ma, baru kali ini Alya lihat Ali deketin cewek. Nggaak tanggung-tanggung Ma, dia langsung PE-DE-KA-TE sama keluarganya. Gue salut sama lo Li, lo deket sama cewek dan tanpa basa-basi, lo tunjukin kalau lo cowok gentle. Hebat adek gue ini," puji Alya menggebu-gebu sambil mengacak rambut Ali.

Resi yang mendengar hanya tersenyum dan mengelus lembut kepala Ali.

"Mama ikut seneng kalau kamu bisa terbuka dengan wanita lain selain Mama dan Kaiya. Cuma Mama berpesan, jangan pernah anak Mama ini menyakiti hatinya. Kamu menyakiti hatinya, sama saja kamu sakiti hati Mama dan Kaiya, karena kami sama-sama wanita. Mama berpesan, Ali boleh mendampingi dia asal ... Ali bisa buktikan kepada keluarga kita dan keluarga dia, jika Ali pantas mendampinginya. Tunjukan kepada Prilly, bahwa kamu pantas untuk dipilih dan dipertahankan," nasehat Resi pada Ali.

Ali memahami hal tersebut, benar apa yang dikatakan mamanya. Hatinya semakin yakin dan tekatnya semakin bulat untuk memiliki Prilly.

Saat mereka asyik mengobrol, tiba-tiba terlihat seorang laki-laki paruh baya keluar dari salah satu ruang di rumah tersebut. Lantas dia menghampiri mereka yang sedang mengobrol.

#######

Duuuh, aku membayangkan jika real begini, apa Tante Resi berkata demikian sama Ali ya? Wkwkkwkwkwk
Semangat Li, berusaha!!! Jangan mau kalah sama yang lain. Go! Go! Go! Ali!!!! Hahahahaha

Terima kasih vote dan komennya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top