I LOVE YOU
Prilly menerima kertas yang diberikan oleh Dimas. Dia menatap Dimas bingung, kertas apa itu?
"Seminggu yang lalu sebelum Ali berangkat, malem-malem dia datang ke rumah gue. Dia cuma ngasih itu ke gue, katanya buat lo Pril, awalnya gue nggak tahu maksud dia apa, nitipin ini ke gue, buat lo. Tapi setelah gue lihat lo seperti ini, gue baru tahu, kalau sebenarnya kalian saling mencintai. Maaf ya Pril, lo yang sabar ya?" jelas Dimas menepuk bahu Prilly menenangkan hatinya.
Prilly hanya menjawab Dimas dengan anggukan kepala. Hatinya kosong dan entah apa yang akan dia lakukan setelah ini. Kenapa Ali begitu tega meninggalkannya tanpa pesan? Air matanya pun terus mengalir, tak dapat ia bendung. Wajahnya merah, basar dengan air mata, hidungnya pun sampai tersumbat karena dia terus saja menangis hingga lendir dalam hidungnya juga ikut keluar.
Flashback
Sepulangnya Ali dari rumah Prilly, saat ia sedang mengobrol dengan Resi dan Alya, tiba-tiba Syarif, papanya Ali keluar dari kamar, dia sudah mendengar pembicaraan mereka. Ia duduk di sebelah Alya, lalu memulai pembicaraannya.
"Jadi jagoan Papa ini sedang falling in love, hah?!" goda Syarif yang membuat Ali semakin malu.
Ali tersenyum, malu-malu kucing, menyembunyikan wajahnya di balik bantal kecil yang selalu tergeletak di sofa. Syarif terkekeh, mengacak rambut putranya.
"Ali, betul apa yang dibilang mamamu tadi. Papa izinkan kamu mendekati dan menikahinya, suatu saat nanti. Tapi dengan syarat, kamu harus sukses lebih dulu sebelumnya," timpal Syarif mempertegas ucapan Resi tadi.
Ali bahagia mendengar ucapan Syarif, yang sudah mendapat lampu hijau untuk melanjutkan niat baiknya kepada Prilly. Dia langsung berhamburan memeluk papanya.
"Makasih ya Pa, Ali janji akan lakukan itu," ucap Ali bergetar menahan tangis bahagianya di dekapan papanya.
Syarif membalas pelukan Ali, ia juga menepuk-nepuk punggungnya bangga kepada putra satu-satunya itu.
"Ada lagi Li, begini." Syarif melepaskan pelukan Ali, agar ia dapat mendengarkan penjelasannya yang kali ini lebih serius lagi. "Kakakmu akan meneruskan kuliahnya di Belanda. Sedangkan usaha Papa di sana juga semakin maju, dan banyak usaha yang membutuhkan batu bara. Dari transportasi hingga pabrik gas, untuk itu, Papa akan mengajak Mama, kamu dan Alya pindah ke sana. Bagaimana denganmu? Papa sudah bicarakan ini dengan Mama dan kakakmu. Mereka menyetujuinya," jelas Syarif sangat berhati-hati agar ucapannya ini dapat Ali terima.
"Apa?!" seru Ali shock. Ali tak tahu harus memberikan jawaban apa.
Hati Ali seperti terjatuh ke dasar jurang yang dalam, setelah dia terbang ke langit ketujuh. Sangat sakit dan hancur. Baru saja Syarif memberikannya harapan yang tinggi, tapi mengapa dia seketika menjatuhkannya?
"Iya Sayang, maafkan Mama belum sempat membicarakan ini kepadamu," sesal Resi mengelus kepala Ali penuh kasih sayang.
Ali yang tidak bisa menjawab apa pun, lalu berdiri dan berniat berjalan ke lantai dua, menuju ke kamarnya.
"Maaf Pa, Ma, Kak, Ali capek. Ali mau istirahat dulu," pamit Ali sambil melangkah gontai ke tangga.
***
Malam yang sudah larut, namun Ali masih saja terjaga. Dia belum bisa memejamkan mata. Ia masih setia bermain gitar kesayangannya di balkon kamarnya. Alya yang mendengar suara petikan dari kamar Ali, saat dia berniat mengambil air minum ke dapur, langkahnya terhenti dan masuk ke kamar Ali.
"Li, lo belum tidur? Kenapa masih di luar? Angin malam tak bagus. Masuk gih!" tegur Alya yang membuat Ali kaget dan menoleh ke ambang pintu balkonnya.
Alya ternyata sudah berdiri menyandarkan tubuhnya di kusen pintu, sambil melipat tangannya di depan dada.
"Belum ngantuk Kak, lo ngapain, jam segini masih kelayapan? Mau cari tikus lo malam-malam begini?" gurau Ali lalu terkekeh sendiri.
"Enak aja lo," elak Alya berjalan mendekati Ali, "emang gue pawang tikus! Gue mau ke dapur ambil minum, tapi denger lo masih main gitar, gue masuk aja. Lo ada masalah Li?" tanya Alya sambil duduk di sebelah Ali.
Ali menunduk lemas, apa perlu dia membicarakan hal yang saat ini membebani hati dan pikirannya kepada Alya? Pikir Ali.
"Nggak Kak, lagi pengen begini aja! Eh, Kak, lo serius mau lanjutin kuliah bisnis di Belanda?" tanya Ali dengan wajah serius.
Ali menatap Alya, dalam hatinya berharap, jika Alya berbohong.
"Heem, iya, gue mau lanjutin di sana, sambil bantu pekerjaan Papa di sana Li, usaha Papa di sana semakin maju dan perkembangannya sangat pesat, Papa menjadi kewalahan, gue bisa bantu sambil lanjut S2 di sana," jelas Alya panjang lebar.
Ada sedikit rasa kecewa di dalam hati Ali. Tapi, mau bagaimana lagi? Semua sudah diputuskan oleh keluarganya.
"Kak, gue bingung sekarang. Kalau gue ikut kalian pindah, berarti gue juga ninggalin Prilly dong? Gimana gue bisa dapetin dia, kalo kita saja berjauhan," jelas Ali menunduk lemas memainkan senar gitarnya, yang memang sedari tadi gelisah memikirkan hal tersebut.
Alya tersenyum, dia sudah dapat menebak sebelumnya. Pasti Ali merasa berat meninggalkan Prilly. Dia menepuk bahu Ali, memberikan semangat dan menyuntikkan keyakinan positif untuknya.
"Li, lo percaya kan, kalo jodoh pasti dengan cara apa pun nanti, Allah akan mempertemukan kalian lagi. Lo harus optimis. Belum juga maju perang, masa sudah mau menyerah. Mana bisa menang? Yang ada, mati sebelum perang lo!" cerca Alya memberi support kepada adik tersayangnya, dengan sedikit bergurau.
"Iya, bener juga kata lo Kak!" seru Ali seperti mendapatkan keyakinan hantinya dari kata-kata Alya tadi.
"Lo harus inget syarat dari Papa dan Mama. Sebelum lo dapetin Prilly, lo harus buktiin. Jangan khawatir, gue yakin dengan lo memberi harapan ke Prilly, dia akan bisa setia nunggu lo," ujar Alya lalu tertawa keras, hingga mendapat jitakan dari Ali dan dia juga membekap mulutnya.
"Udah malam, keceng banget ketawanya. Entar Mama denger, kita bisa diomelin," bisik Ali mengingatkan, sambil melepas bekapan tangannya.
Alya terkekeh kecil, "Udah, tidur sana! Besok kan harus sekolah lo!" titah Alya berdiri dari samping Ali.
"Ya, bentar lagi," jawab Ali tak acuh kembali memetik gitarnya pelan. Alya berlalu meninggalkan Ali sendiri duduk di balkon menikmati malam yang tenang dengan udara yang sejuk.
Bayangan Prilly terus mencumbuinya, bagaimana bisa dia melakukan hal ini? Jauh dari Prilly? Itu berarti dia harus merelakan perasaannya lagi. Apakah, lebih baik menahan perasaannya lagi? Ataukah bagaimana? Kepala Ali terasa mau lepas, pusing memikirkan pilihan ini.
***
Pagi itu keluarga Syarif menyantap sarapan bersama di meja makan. Suasana tampak hening, mereka sibuk dengan makanannya masing-masing. Hanya suara dentingan piring dan sendok beradu.
"Pa, soal pembicaraan kita yang kemarin, Ali sudah pikirkan dan memutuskan," sela Ali di penghujung sarapan mereka. "Ali mau ikut pindah, asal menunggu Ali selesai ujian dulu, baru kita bisa pindah," imbuh Ali di sela sarapannya.
Meski hatinya berat, setelah Ali pikir-pikir lagi, benar kata kakaknya semalam. Dia harus bisa memenuhi syarat yang diajukan orangtuanya, sebelum memilih Prilly menjadi tambatan hatinya.
"Baiklah kalo itu maumu, Papa akan tunggu dan persiapkan segera perpindahan kalian," tukas Syarif tegas diiringi senyum kelegaan. Akhirnya, tanpa bujukan alot, Ali sudah dapat memutuskan dengan bijak.
Syarif yang lebih dulu menyelesaikan sarapannya, langsung beranjak dari tempat duduknya. Dia mengelap mulutnya dengan tisu, lantas ia juga berpamitan untuk berangkat ke kantor, yang ada di daerah tersebut.
Flashback off
Dengan air mata yang berlinangan, Prilly masih menggenggam kertas yang baru saja diberikan oleh Dimas. Gina masih berdiri di depan Prilly, ia langsung memeluk Prilly yang sedang duduk di tepi tempat tidur Dimas, Prilly terus menangis di pelukkan Gritte dan Mila.
"Pril, maafin gue. Gue nggak bermaksud nyakitin hati lo, kenapa lo lakuin ini? Kenapa lo tahan perasaan lo buat menjaga perasaan gue? Gue sahabat yang egois Pril. Gue nggak peka, gue terlalu-" ucap Gina terpotong dengan tangis terisak di dekapan Prilly.
Prilly membalas pelukan Gina, meski hatinya sesak, namun dia tak berhak menyalahkan Gina dalam masalah ini. Semua itu adalah keputusannya bersama Ali, untuk menahan perasaan mereka, demi menjaga persahabatan Prilly dan Gina agar tetap utuh.
"Gin, ini bukan salah lo, ini sudah menjadi kesepakatan gue sama Ali. Lo nggak usah merasa bersalah seperti itu. Lo tetep sahabat gue yang baik. Lo jahuin pikiran yang aneh itu ya?" ujar Prilly yang masih terisak dan menangkup pipi Gina sambil menyeka air matanya dengan punggung tangannya.
Gina merasa sangat bersalah, kenapa dia terlalu egois, sehingga tidak menyadari perasaan yang dimiliki Ali dan Prilly? Dia terlalu terobsesi ingin memiliki Ali, sehingga Gina tak melihat kenyataan yang ada di sekitarnya.
"Sudah, sekarang kita antar lo pulang ya Pril, kita akan nginep di rumah lo malam ini," ujar Mila, sambil berdiri membantu Prilly untuk berjalan keluar dari rumah Dimas, dan menuju ke mobilnya.
Dimas mengantar teman-temannya sampai di pelataran. Tatapan mata Prilly kosong dan dia sekarang banyak melamun. Melihat kondisinya seperti itu, Mila tak mungkin membiarkannya menyetir.
"Sayang, aku akan menginap di rumah Prilly. Nanti aku akan telepon Mama," seru Gritte meminta izin kepada Arif.
Arif mengangguk dan mengelus kepalanya sangat lembut. "Jagain dia baik-baik ya? Jangan biarkan dia sendiri. Prilly butuh hiburan dan teman saat ini," pesan Arif penuh perhatian.
"Iya, aku akan jagain dia kok," jawab Gritte membalas senyuman Arif.
"Siapa yang mau menyetir?" tanya Kevin yang sudah berdiri di samping mobil Prilly.
Mila telah membantu Prilly masuk ke dalam mobil. Gina terus menemani dan memeluk Prilly, dia masih merasa bersalah, karena dirinya, Prilly sampai seperti itu.
"Biar aku saja Yang," sahut Mila menerima kunci mobil Prilly.
Kevin mengacak rambut Mila yang masih setengah basah, "Kamu hati-hati ya nyetirnya? Kalau sudah sampai kabari aku."
"Iya," jawab Mila halus, "terus kamu sama Arif, pulangnya bagaimana?" tanya Mila menatap Kevin dan Arif bergantian.
"Sudahlah Mil, jangan pikirkan itu. Entar gue yang antar," sahut Dimas yang masih berdiri di antara mereka.
Mila dan Gritte pun akhirnya berpamitan, untuk membawa Prilly pulang. Suasana jalan yang sedikit lengang membuat Mila dapat melajukan mobil dengan cepat. Prilly biarpun dia diam, namun air matanya masih terus mengalir. Gina tak henti-hentinya menghapus air matanya. Semua memilih untuk diam, memberikan waktu agar perasaan Prilly dapat lebih tenang. Setelah dia nanti tenang, baru mereka akan mengajak Prilly mengobrol.
***
Saat tengah malam tiba, suasana di dalam kamar Prilly sunyi. Hanya penerangan lampu tidur yang membuat kamarnya terlihat remang. Hatinya sudah lebih baik sekarang. Prilly masih tetap terjaga hingga dini hari, dia tidak bisa tidur karena masih memikirkan Ali. Melihat sahabatnya sudah tidur lelap di tempat tidurnya yang luas dan lebar, Prilly hanya bisa menghela napas panjang. Prilly turun dari tempat tidur sangat pelan, agar tak menggangu tidur Mila, Gritte dan Gina, dia melangkah ke meja riasnya, dan mengambil kertas yang diberikan Dimas tadi. Ia melangkah ke balkon kamarnya, dan duduk di sofa yang ada di sana. Ia mulai membuka surat tersebut.
To : my girl Prilly
Mungkin saat lo baca surat ini, gue sudah pergi Pril. Tapi lo jangan khawatir, gue pergi untuk kembali. Gue akan menjaga hati gue buat lo. Gue sudah berkomitmen dengan diri gue sendiri, dan gue berharap lo juga begitu. Maaf gue pergi nggak pamit sama lo. Gue nggak mau lihat air mata kesedihan lo. Yang gue mau lihat adalah air mata kebahagiaan.
Lo harus semangat meraih cita-cita. Lo harus selalu ceria dan tegar. Gue akan tagih janji lo, sesuai pertaruhan kita, suatu hari nanti, saat gue pulang. Lo nggak lupa taruhan kita kan? Karena gue sudah tahu hasil nilai kita. Hehehehe
Pril, gue baru sadar apa yang gue rasain selama kita bersama.
Gue cinta sama lo ....
Gue harap lo punya perasaan yang sama ke gue.
Oke ... maafin gue ya?
I love you my Gril
I will miss you forever ....
From : you Boy Ali
Setelah Prilly membaca surat tersebut, hatinya merasa sedikit lega, dalam hatinya berteriak, jika dia yakin dengan perasaannya sekarang. Ia merasa hatinya kini jauh lebih baik. Prilly memeluk surat dari Ali itu dengan senyum yang sangat manis.
"I love you to Ali!!! Gue juga akan menunggu lo. Gue akan merindukan lo. Gue juga akan menjaga hati gue buat lo," lirih Prilly dengan senyum yang mengembang di bibirnya.
Andaikan saja Ali mengungkapkan itu sebelum dia pergi, mungkin ceritanya tak akan seperti ini. Meskipun begitu, surat itu cukup meyakinkan hati Prilly. Dia percaya, Ali akan menepati janjinya. Dalam hati kecil Prilly berbisik, agar dia menunggu Ali. Itu pasti akan dia lakukan, demi Ali, demi cintanya kepada Ali.
Angin sepoy-sepoy menerpa tubuhnya, ia merasakan dingin menusuk hingga ke tubuh mungilnya, ia beranjak dari duduknya. Dengan perasaan yang jauh lebih baik, Prilly menyusul ketiga sahabatnya yang sedari tadi sudah terlelap di Queen size-nya. Bibirnya terus mengembang, Prilly meraba lehernya, kalung inilah salah satu alasan dia untuk menunggu Ali kembali.
"Gue yakin, lo bakalan kembali Li. Di manapun nanti kita bertemu, gue percaya, itu takdir kita untuk bersatu. Biarkan waktu yang akan menjawab kisah kita." Prilly memejamkan matanya dengan bibir yang terus mengembang tak pernah lagi pudar.
Tuhan selalu memiliki cara untuk menguji kesetiaan umatnya. Jarak akankah menjadi penghalang dua hati yang sesungguhnya saling mencintai? Apakah suatu saat cinta membawa Ali kembali kepada Prilly? Dapatkan cinta menuntun Ali pulang ke dalam rumah yang sudah menantinya? Yaitu hati Prilly.
#########
Ah, gimana nanti ya? Hihihihi
Sudahlah, yang penting udah tahu perasaan Ali. Jaga hati ya Pril, Li. Hehehe
Terima kasih untuk vote dan komentarnya ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top