FAMILY TIME


Pagi ini Prilly bangun lebih awal. Ia turun ke dapur untuk membantu Bi Inah yang sedang menyiapkan bahan untuk memasak.

"Selamat pagi, Bi?" sapa Prilly saat sudah sampai di dapur.

"Pagi juga, Non," balas Bi Inah ramah dengan senyum terbaiknya.

"Mau masak apa, Bi? Biar aku bantu." Prilly melihat bahan-bahan yang dikeluarkan Bi Inah dari dalam kulkas.

"Mau masak sop ayam dan ayam goreng saja ya, Non? Nantikan Pak Syarif, Bu Resi dan Den Farauq ikut sarapan di sini juga kan Non?" tanya Bi Inah sambil mencuci sayurannya.

"Iya Bi, nanti siang Papa sama Mama juga akan datang. Sepertinya Mama mau menginap di sini sampai aku lahiran, Bi," jelas Prilly lalu mulai mengupas wortel.

Saat Bi Inah dan Prilly sedang asyik bercanda gurau sambil melakukan kegiatan masak memasaknya, terdengar teriakan Ali dari lantai atas.

"Sayaaang...!!! Sayang... kamu di mana?" teriakan Ali terdengar sampai ke dapur.

Prilly mendengus kesal karena masih pagi, Ali sudah berteriak-teriak. Prilly berjalan sampai di depan tangga.

"Iya Honey, ada apa? Kenapa teriak-teriak, hah?! Kaya di hutan aja. Masih pagi juga," omel Prilly sambil berkacak pinggang.

Ali segera turun dan memeluk istrinya "Habis kamu ninggalin aku begitu aja. Biasanya juga bangunin aku. Kan aku khawatir, Sayang," protes Ali sambil menarik pelan hidung mancung Prilly. "Ih, ini perutnya menghalangi, jadi nggak bisa rapet meluk kamu," timpal Ali dan berpindah memeluk Prilly dari belakang.

"Awas, aku mau bantu Bi Inah masak dulu." Prilly mencoba melepaskan tangan Ali yang melingkar di perutnya. Namun Ali menggeleng tidak mau melepas pelukannya.

"Nggak mau. Biar begini dulu," rengek Ali manja.

Prilly pun berjalan ke dapur dengan Ali masih memeluknya dari belakang.
Bi Inah menoleh ke arah datangnya mereka.

"Selamat pagi Den, tumben Den Ali nempel terus kaya amplop dan prangko," canda Bi Inah.

Hal biasa bagi Prilly dan Ali mendapat candaan dari Bi Inah, Bi Anik dan Pak joko. Itu yang membuat mereka terlihat akrap dan tidak ada jarak perbedaan. Di mata Ali dan Prilly semua sama-sama ciptaan Allah. Tidak ada perbedaan kecuali di mata Sang Pecipta alam semesta sekalian isinya.

"Iya nih Bi, nggak tahu kenapa jadi manja begini," ujar Prilly.

"Ya kan bentar lagi jagoan kita lahir. Entar pasti kamu lebih sibuk ngurus dia dan perhatian kamu ke aku nggak maksimal. Jadi aku mau puas-puasin manja-manjaan dulu sama kamu."

"Ya terserah kamu ajalah, Honey. Tapi lepasin dulu tangan kamu. Aku kan susah masaknya." Ali melepas pelukannya dengan perasaan tidak rela dan menarik kursi mini bar, duduk memerhatikan gerak-gerik istrinya saat memasak.

"Kamu mau aku buatin minum apa, Honey?" tawar Prilly sambil menghampiri Ali.

"Kopi susu," jawab Ali singkat.

Prilly lalu membuatkan Ali kopi susu dan menaruh di depannya.

"Ini Honey, kopinya."

"Makasih Sayang." Ali memberikan hadiah ciuman singkat pada bibir Prilly.

"Ihhh... Honey. Aku malu dilihat, Bi Inah," rengek Prilly menampar kecil bahu Ali, pipinya sudah merona.

Ali melirik Bi Inah yang masih sibuk menyiapkan bumbu. Bi Inah hanya tersenyum. Bukan hal yang baru bagi Bi Inah melihat mereka bermesraan di depannya. Bi Inah justru ikut bahagia melihat keharmonisan rumah tangga mereka.

"Nggak apa-apa atuh, Non. Bibi mah justru ikut seneng dan bisa merasa bahagia melihat Den Ali begitu. Itu tandanya Den Ali benar-benar sayang sama Non Prilly. Jadi keinget suami di kampung, Non," ujar Bi Inah sambil membayangkan keluarganya yang ada di kampung halamannya.

Ali dan Prilly hanya tersenyum menanggapi ucapan Bi Inah.

"Assalamualaikum," terdengar salam dari arah pintu utama.

"Waalaikumsalam," jawab mereka serentak.

Terlihat Dimas yang pagi-pagi sudah bertamu.

"Pagi bro!" sapa Dimas menepuk bahu Ali.

"Pagi! Lo pagi-pagi udah ke sini aja, Dim?" tanya Ali melihat Dimas duduk di sampingnya.

"Iya, dari rumah sebelah. Nemuin Bokap lo. Biasa... masalah kantor, sekalian mau lihat bayinya Bang Farauq. Kan gue belum sempet jenguk Kak Alya di rumah sakit kemarin," jelas Dimas.

Sudah dua hari ini Alya diizinkan pulang ke rumah oleh pihak Rumah Sakit. Sudah dua hari juga, Resi dan Syarif menginap di rumah mereka. Sementara Ali dan Farauq mengambil cuti kerja untuk menemani istrinya. Syarif-lah yang menggantikan mereka untuk sementara waktu, dibantu oleh Dimas.

"Lo mau dibuatin minum apa, Dim?" tawar Prilly pada Dimas.

"Cappucino full cream aja, Pril," jawab Dimas tersenyum manis ke arah Prilly.

"Bi, tolong buatin minum untuk Dimas ya?" Pinta Prilly sopan.

"Kenapa nggak lo aja Pril, yang buatin?" cela Dimas.

Ali menjitak kepala Dimas hingga terdengar erangan sakit dari Dimas.

"Enak aja lo nyuruh-nyuruh bini gue. Dia itu khusus buatin minum buat gue aja. Makanya sana lo buruan kawinin Gina. Biar ada yang buatin minum tiap pagi," protes Ali tidak terima dengan permintaan Dimas.

Memang Dimas dan Gina sedang menjalin hubungan yang serius. Namun belum terlihat tanda-tanda Dimas akan melamar Gina.

Dimas mendengus kesal. "Kawin mah gampang, Li. Nikahnya yang susah!" jawab Dimas dengan bibir mengerucut membuat Ali tertawa keras.

Prilly yang mendengar jawaban Dimas hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Selamat pagi?" sapa Resi baru saja datang. "Wah sudah rame aja nih pagi-pagi. Masak apa kamu, Sayang?" tanya Resi mendekati Prilly yang sudah mematikan kompornya.

"Masak sop, Ma," jawab Prilly menoleh Resi dan mencium pipinya.

"Papa di mana, Ma?" tanya Ali.

"Tuh Papa!" tunjuk Resi ke arah pintu utama, terlihat Syarif baru saja datang.

"Ya sudah, kalian tunggu di meja makan saja ya? Aku siapin dulu sarapannya," ucap Prilly mulai mengambil mangkuk khusus untuk sayur.

"Aduh kamu itu udah perut gede begitu masih aja banyak gerak. Sini biar Mama yang tuangin sayurnya. Kamu duduk saja," sahut Resi dan mengambil mangkuk besar dari tangan Prilly.

Prilly hanya tersenyum manis dan menyiapkan alat makan di ruang makan.

"Bang Farauq nggak ikut sarapan, Pa?" tanya Ali setelah mereka duduk di meja makan begitupun Dimas.

"Nggak, dia gantiin Alya jaga si kecil. Semalam nggak bisa tidur Alya, jagain si kecil nangis terus," jelas Syarif.

"Ohhh...," sahut Ali. "Sayang anterin sarapannya saja buat Kaiya dan Bang Farauq. Minta tolong Bi Anik suruh antar," titah Ali saat Prilly selesai menyiapkan alat makannya.

"Iya Honey," jawab Prilly lembut.

Prilly pun pergi ke dapur. Dengan telaten dan hati-hati Prilly mencentongkan nasi, sop dan ayam goreng ke dalam rantang yang disiapkan Bi Inah.

"Bi, Bi Anik di mana ya?" tanya Prilly mencari-cari.

Bagian Bi Inah dan Bi Anik berbeda. Bi Inah yang sudah berusia 53 tahun, membuat Ali dan Prilly mempekerjakannya hanya memasak, namun sesekali jika Bi Inah sudah selesai dengan pekerjaannya, dia juga membantu Bi Anik yang lebih muda darinya 13 tahun. Dia dipekerjakan untuk bersih-bersih rumah.

Ali sangat memanjakan istrinya. Dia tidak ingin Prilly terlalu cape mengerjakan pekerjaan rumah. Dia hanya ingin Prilly fokus melayaninya dan hitung-hitung Ali juga membagi rezeki untuk orang lain. Bukannya Prilly tidak bisa mengerjakan urusan rumah tangga. Bagi Prilly itu sudah biasa jika hanya memasak dan membereskan rumah. Dia hanya menghargai keputusan suaminya dan ia pikir ada baiknya juga karena dia bisa lebih banyak meluangkan waktu untuk memanjakan dan mengurus suaminya.

"Ada di belakang Non, tadi habis mencuci baju. Mungkin sedang menjemur sekarang. Apa perlu saya panggilkan?" tawar Bi Inah.

"Iya Bi, nanti tolong suruh Bi Anik antar rantang ini ke rumah sebelah ya, Bi. Ini sarapan untuk Bang Farauq dan Kaiya," pinta Prilly sopan.

"Baik, Non," jawab Bi Inah.

Prilly lantas menghampiri meja makan dan duduk di sebelah Ali.

"Li, apa nggak sebaiknya kamar kamu sementara pindah di lantai bawah dulu?" usul Resi di sela sarapan mereka.

"Memangnya kenapa, Ma?"

"Harusnya sudah dari awal Prilly hamil dulu kamu pindah kamar bawah. Kamu nggak kasihan sama istrimu naik turun bawa perut segede itu? Udah kecil, nanti makin ciut lagi," ujar Resi diselingi candaannya.

"Iiiih... Mama, aku emang dari sananya ditakdirin kecil. Pas Allah pembagian tinggi badan aku datangnya telat, Ma. Jadi dapet sisanya deh. Makanya jadinya kecil begini." Prilly justru menanggapi ucapan mama mertuanya dengan candaan juga.

"Kamu jangan kecil hati dong Sayang, walau kamu kecil tapi kan sudah terbukti bisa bikin adek kecil," tambah Ali membuat semua tertawa. "Iya sih, Ma. Nanti Ali pindahin sebagian pakaian Ali dan Prilly ke kamar bawah," sambung Ali menanggapi ucapan mamanya tadi.

"Kapan papamu akan datang, Pril?" tanya Syarif.

"Nanti siang Pa, mereka sampai. Soalnya kemaren Mama dan Papa posisi di Thailand. Ada pekerjaan yang belum bisa ditinggalkan. Makanya baru bisa pulang hari ini," jelas Prilly.

"Iya begitulah bisnis. Papa bisa mengerti. Untung saja Papa sedang tidak sibuk waktu Ali telepon subuh-subuh saat Alya lahiran. Jadi Mama langsung bisa pesan tiket penerbangan pagi itu juga" jelas Syarif.

"Kalau kamu gimana Dim, sama Gina? jangan lama-lama. Yang lain saja sudah pada nikah. Tinggal kamu yang belum," tanya Resi penuh perhatian pada Dimas.

"Iya Tan, nanti mau dibicarakan dulu sama Mama dan Papa untuk kelanjutannya," jawab Dimas yang sudah selesai menghabiskan sarapannya.

"Yang penting itu kejelasan. Karena wanita itu menuntut kejelasan dan kepastian," nasihat Resi.

"Iya Tan. Makasih ya, Tan," ucap Dimas yang hanya ditanggapi senyuman tulus oleh Resi

***

Siang ini rumah Ali terasa ramai setelah kedatangan Rizal dan Uly. Mereka saling bercanda dan mengobrol berbagai topik di ruang tengah.

"Bagaimana Sayang persiapan kamu untuk persalinan?" tanya Uly kepada Prilly yang sedang bergelayut manja di lengan Mamanya.

"Sedikit tegang dan takut, Ma," jawab Prilly memang itu yang sedang dia rasakan.

"Kamu jangan stres dan takut. Percayakan semua kepada Allah. Pasrahkan pada-Nya. Berdoa minta yang terbaik untuk kalian. Kesehatan untuk cucu Mama dan untuk keselamatan kamu. Suamimu pasti mendampingi kamu," nasihat Uly memberi kekuatan untuk Prilly.

"Papa juga lihat Ali suami siaga, menjagamu 24 jam. Sampai dia rela cuti jauh-jauh hari untuk menemanimu. Jadi kamu jangan takut ya?" tambah Rizal yang duduk di sebelah Ali.

"Semua rasa sakitmu itu akan terbayar nanti setelah melihat si kecil lahir dengan selamat. Kamu seketika akan lupa rasa sakit itu," ujar Uly mengelus lembut rambut Prilly.

"Oh iya, Mama mau lihat anaknya Alya. Antar Mama yuk!" pinta Uly mengajak Prilly.

"Papa juga mau lihat," susul Rizal sambil beranjak dari duduknya.

Akhirnya mereka pun pergi bersama ke rumah Farauq.

"Assalamualaikum," salam mereka serentak saat masuk ke dalam kamar Alya.

"Waalaikumsalam," jawab Alya dan Resi bersama.

Uly mencium pipi Alya yang duduk bersandar di kepala ranjang dan beralih mencium kedua sisi pipi Resi.

"Apa kabar kamu, jeng?" tanya Resi merindukan besannya.

"Alhamdulillah baik. Kamu bagaimana?" balas Uly memegang kedua bahu Resi.

"Alhamdulillah, baik," ucapnya tersenyum manis.

Uly beralih melihat si kecil yang tidur di gendongan Resi.

"Aduh cantiknya princess keluarga Syarif," puji Uly meminta untuk menggendong bayi Alya.

"Makasih Oma," ucap Resi seakan mewakili bayi Alya.

"Ayo duduk," ajak Resi pada Uly dan Rizal agar mereka duduk di sofa yang ada di kamar itu.

Prilly dan Ali duduk di tepi ranjang menemani Alya. Farauq terlihat tidur di samping Alya. Wajahnya yang terlihat letih dan tidak merasa terganggu dengan suara berisik kehadiran orang banyak di kamar itu.

"Dasar kebo! Suara berisik begini masih aja bisa tidur!" cibir Ali pada Farauq.

"Eh jangan ganggu dulu. Dia baru saja tidur," ujar Alya memperingati Ali.

"Assalamualaikum," terdengar salam dari pintu utama.

Prilly beranjak dari tempat tidur. "Biar gue aja Kak, yang lihat." Prilly berjalan ke luar kamar.

"Waalaikumsalam," balas Prilly saat sudah di depan dua wanita yang membawa bungkusan kado di tangannya. Prilly tersenyum dan memeluk mereka berdua.

"Di mana Kak Alya? Gue mau lihat bayinya," tanya Mila antusias dan tidak sabar ingin segera melihat bayi lucu itu.

"Masuk dulu kali, Mil," sahut Gritte berdiri di samping Mila.

Prilly pun mempersilakan dua sahabatnya itu untuk masuk dan duduk di ruang tamu.

"Tunggu bentar ya? Gue panggilin dulu," pamit Prilly berlalu menuju kamar Alya.

Gritte dan Mila pun duduk di ruang tamu, menunggu Alya dan bayinya keluar.

"Siapa Sayang?" tanya Ali saat melihat Prilly masuk ke dalam kamar.

"Mila dan Gritte, Honey," jawab Prilly.

"Ya sudah, yuk jeng kita pindah ke ruang tamu biar lebih leluasa ngobrolnya sambil menemui Mila dan Gritte," ajak Resi.

Semua pun keluar, Uly masih menggendong bayinya Alya. Mereka meninggalkan Farauq yang masih tertidur pulas sendiri di kamar itu.

"Ini Kak buat bayi lo." Gritte menyerahkan kado yang ia bawa begitupun Mila setelah Alya datang bersama keluarga yang lain.

"Makasih ya? Gue nggak enak jadi krepotin kalian," ucap Alya sambil menerima bingkisan itu.

"Biasa aja kali, Kak. Kita ikut seneng dengan kehadiran ponakan cantik ini," ujar Mila sambil mencolek pelan pipi gembil bayi Alya ketika mendekati Uly.

"Tinggal nunggu jagoannya Ali dan Prilly nih," tambah Gritte sambil mengelus perut Prilly.

"Iya tuh, kapan Pril?" timpal Mila.

"Prediksi dokter kalau nggak meleset dalam minggu ini," jawab Prilly sambil mengelus perutnya.

"Terus kalian kapan nyusul Prilly dan
Alya?" tanya Rizal pada Mila dan Gritte.

"Doakan saja, Om. Kan suami kita juga jarang pulang. Jadi agak susah kalau suruh cepet-cepet isi," jawab Gritte menanggapi pertanyaan Rizal.

"Iya. Kalian yang sabar aja dulu ya? Allah pasti akan menitipkannya pada kalian. Tinggal tunggu harinya saja," ujar Resi memberi keyakinan pada Mila dan Gritte.

"Iya Tan, terima kasih," jawab Mila dan Gritte bersamaan.

########

Ini adalah cerita aku yang paling panjang. Dari mereka SMA sampai nanti mereka punya anak remaja. Semoga saja nggak pada bosen ya? Hehehe

Terima kasih untuk vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top