EDELWEIS

POV Ali

Bunga ini memang tidak begitu indah bentuknya, tetapi perjuangan untuk memperolehnya, telah membuatnya sangat berkesan dan indah untuk diceritakan kepada anak cucu kami nanti. Untuk mendapatkannya, aku mengalami kepanasan, kedinginan, memasuki hutan yang lebat dan menempuh perjalanan yang jauh. Aku rela tinggalkan istriku, tidur sendiri malam-malam di tenda. Itu semua kulakukan untuk memetik bunga keabadian, hanya untuk seseorang yang spesial dan kucintai, siapa lagi kalau bukan istriku, PRILLY PUTRI AGHATA WIJAYA. Sudah 6 bulan lamanya, setelah momen indah di puncak gunung Rinjani, namun memori itu masih sangat melekat di ingatanku, dan tidak akan pernah aku lupakan.

Aku sedang memandangi edelweis yang sudah mengering dari kursi kerjaku, sengaja Prilly menaruhnya di sini, agar aku selalu mengingat perjuanganku untuk mendapakannya. Sekarang kami tinggal di rumah yang aku beli beberapa bulan, setelah kepulangan kami dari honeymoon. Aku merasakan, ada tangan mulus dikalungkan pada leherku dari belakang. Kututup mataku dan kuhirup aroma lavendel dari dirinya. Wangi lavendel yang membuatku nyaman dan selalu kurindukan.

"I love you," bisiknya lirih tepat di telingaku.

Aku tarik tangannya pelan, agar duduk di pangkuanku. Aku tersenyum saat dia sudah berada di pangkuanku. Dia mengalungkan tangannya ke leherku dan diletakan telinganya di dadaku untuk mendengar detak jantungku.
Aku tersenyum, dengan apa yang sedang dilakukannya saat ini.

"Saat jantungku berdetak, disetiap detiknya, hanya namamu yang tersebut di dalam sana." Aku berkata lirih padanya.

"Terima kasih suamiku, karena kamu menjadikanku wanita sempurna dan bahagia. Menjadikan ibu untuk anak kita."

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Hatiku menghangat saat dia mengucapkan itu. Tapi tunggu! Apa maksud dari ucapannya tadi? 'Menjadi ibu dari anak kita?' Aku tegakan tubuhnya, agar aku dapat melihat wajahnya. Aku lihat matanya yang berbinar, kurasa dia sedang bahagia. Aku penasaran apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Aku angkat satu alis tebalku, bermaksud menanyakan perkataannya tadi. Tapi dia justru memberiku benda kecil panjang, yang aku lihat ada dua garis merah di benda tersebut.

Aku pandang wajah istriku dengan tatapan yang ingin meyakinkan bahwa yang kulihat itu benar. Dia menjawab dengan anggukan yakin, dan tersenyum lebar. Ohhh... terima kasih Tuhan. Engkau akhirnya menghadirkannya di tengah kebahagiaan yang kurasakan saat ini bersama Prilly. Aku langsung memeluknya erat. Air mata kebahagiaanku menetesi bahunya. Aku tidak peduli, dia menganggapku cengeng, tapi ini benar-benar kabar yang membahagiakan.

"Honey, kok kamu nangis sih?" Ia longgarkan pelukanku. Menangkup pipiku dengan kedua tangannya. Menghapus air mataku, namun aku tepis tangannya lembut.

"Jangan kamu hapus air mata bahagiaku ini, Sayang. Aku bahagia karena sebentar lagi, aku akan menjadi seorang ayah. Terima kasih Sayang," ucapku dan segera aku hadiahi dia kecupan bertubi-tubi, dari keningnya, turun kemata indahnya, beralih ke dua pipi chubby-nya, di pucuk hidungnya dan berakhir di bibir seksinya. Aku lakukan berulang-ulang kali, hingga membuatnya tertawa kegelian.

"Ayo, kita tidur Sayang. Sudah larut malam." Aku bopong dia untuk ke kamar kami, yang berada di samping ruang kerjaku.

Aku turunkan perlahan tubuhnya di atas ranjang. Aku menyusul berbaring di sampingnya. Dia sandarkan tubuhnya di dada bidangku, sambil memainkan jari-jariku yang dia angkat di depan dadanya.

"Kita cek ke dokter besok ya Sayang? Biar lebih akurat hasilnya."

"Aku tadi sore sudah cek ke dokter Honey, bersama Kaiya. Aku juga turut berbahagia untuknya," ucapannya membuatku penasaran lagi. Suka sekali sekarang istriku berbicara dengan kode-kodean begitu.

"Maksut kamu apa Sayang?" tanyaku penasaran.

"Kamu selain akan menjadi ayah, sekaligus akan menjadi uncle." Mataku terbelalak terkejut.

Sungguh hari ini Tuhan memberiku kebahagiaan yang luar biasa tiada tara. Trima kasih ya Allah.

"Maksud kamu Kaiya juga hamil sepertimu, Sayang?" tanyaku memastikan.

"Iya, Honey. Tadi siang tiba-tiba dia datang ke kantor, mengajakku makam siang. Kamu dan Bang Farauq katanya ke pelabuhan, ngecek batubara yang ingin dikirim ke Brunai. Ya sudah, aku makan siang dengannya di restoran Paman Erwin. Saat aku pesan Chicken Cordon Bleu dan milkshek vanila, perutku terasa mual dan enek melihat keju meleleh dari dalam chicken dan tiba-tiba nggak suka bau susu dari milkshek. Kaiya pesan capjay seafood, dia muntah mencium bau seafood. Kita berbarengan ke toilet. Setelah keluar dari toilet, aku lihat wajah Paman Erwin khawatir, dia pikir kami keracunan makanan yang kami pesan. Tubuh kami terasa lemas dan pusing kepala...."

"Terus apa yang terjadi?" potongku sebelum dia melanjutkan ceritanya. Aku dengar dia menarik napasnya dan kembali bercerita lagi.

"Dia mengantar kami ke RS Harapan Sehat. Di sana kami diperiksa...."

"Dokternya cewek atau cowok?" tanyaku memotong lagi ceritanya.

Entah kenapa hatiku tak rela, jika tubuh istriku tersentuh lelaki lain. Memang egois, tapi aku tidak suka. Jangankan menyentuhnya. Kalian masih ingat kan, apa yang aku bilang ke Firdaus saat kita dinner di kafe waktu itu?

"Cowok!" jawabnya singkat yang membuat hatiku merasa panas.

"Besok kita cari dokter kandungan yang cewek. Nggak terima alasan apa pun. Pokoknya harus cewek!" jawabku tegas dan memaksa.

"Aiiisshh, kamu ini Honey, over protektif," cibirnya. Bodoh amet dia berpikir seperti itu.

"Aku nggak rela ya, jika ada laki-laki lain melihat tubuh kamu. Walaupun itu cuma sekedar perut! Apalagi nanti kalau melahirkan, pasti dia akan melihat 'itu' kamu. Aku nggak mau, Sayang," rajukku padanya.

"Yaelah Honey, dokternya udah tua. Yaaa... seusia Papa gitulah." Dia masih berusaha membela diri.

"Nggak mau tahu! Mau dia tua kek, udah jompo kek, udah ubanan semua rambutnya kek, udah keriput kulitnya kek! Tetep aja dia judulnya laki-laki!" sangkalku asal. Dia tertawa renyah mendengar ucapanku.

"Kamu kenapa lebih sensitif sih, Honey? Aku yang hamil kok, kamu yang mudah cemburu dan sensitif. Iya, iya... besok kita cari dokternya yang cewek."

Yes! Akhirnya dia mengalah juga.

"Terus gimana lanjut ceritanya tadi?"

Aku ingatkan dia untuk kembali ketopik pembicaraan kita tadi.

"Habis aku dan Kaiya diperiksa dan kami sama-sama diminta tes kehamilan. Awalnya aku dan Kaiya juga tak percaya apa yang dikatakan dokter. Tapi setelah kami dengar penjelasannya, baru kami yakin, karena ada bukti akuratnya juga kan?" jelasnya lagi panjang kali lebar. Aku hanya menganggukan kepala mengerti.

"Ya sudah, kita tidur sekarang ya? Besok aku dan Bang Farauq ada meeting berasama jajaran redaksi dan karyawan," jelasku dan kutarik tubuhnya untuk kupeluk dan kudekap. Akhirnya kamipun lelap dan mulai membuka alam mimpi kami.

***

POV Author

Saat Farauq sibuk menjelaskan tentang kerjasama dengan perusahaan pupuk terkenal di dunia yang memiliki pusat kantor di Bontang, Ali dan beberapa orang-orang sibuk memerhatikannya. Tiba-tiba pintu ruang meeting terbuka lebar, terlihat dua wanita dengan perut buncit berdiri di ambang pintu. Semua orang di ruangan tersebut terkejut dan menoleh ke arah wanita itu. Seorang wanita dengan santainya, berjalan menghampiri Ali dan duduk di pangkuannya, menyapu pandangannya kesemua orang yang ada di ruang tersebut. Seorang wanita lagi menghampiri Farauq yang berdiri memaku di depan meja ruang rapat.

"Maaf rapat terganggu," ucap Ali tak enak hati kepada para rekan bisnisnya. Orang-orang di situ hanya menganggung dan tersenyum.

Ini bukan kali pertama, mereka seperti itu. Sering mereka melakukannya di sela rapat penting sekalupun, namun untung saja, para tamu mereka memakluminya.

"Sayang, anak kamu mau sesuatu," rajuk Alya pada Farauq yang bergelayut di lengan kekarnya.

"Jangan sekarang Sayang, nanti setelah meeting selesai ya? Apa pun nanti yang ingin kamu mau makan dan beli, aku turuti," ujar Farauq memberi pengertian, bukannya mengiyakan, namun justru Alya terdengar menangis. "Sssttt... iya, ya, kamu mau apa?" lanjut Farauq mengalah.

Memang semenjak Alya dan Prilly hamil, Farauq dan Ali kerepotan dengan keinginan istri mereka yang aneh dan terkadang berlebihan. Jika tidak dituruti keinginannya, mereka bisa menangis seharian dan badan mereka demam. Para suami itu hanya pasrah dan ekstra sabar menghadapi bumil yang aneh itu.

Alya memperhatikan salah satu lelaki paruh baya, yang duduk di sebrang Ali. Semua orang ikut menatapnya. Orang yang sedang ditatap itu hanya tersenyum.

"Anak kamu pengen pegang kepala botaknya Pak Agung," celetuk Alya polos tanpa dosa, yang berhasil membuat semua orang di situ membelalakan mata lebar.

karena malu, Ali yang mendengar permintaan konyol Kakaknya itu, menyembunyikan wajahnya di belakang punggung Prilly yang sedari tadi duduk di pangkuannya, sedang menikmati susu kotak ibu hamil. Farauq tersenyum kikuk menatap Pak Agung. Wajah garang yang dimiliki Pak Agung membuat Farauq ciut nyali untuk mengabulkan permintaan Alya.

"Sayang, yang lain saja ya? Beli balon saja, kalau nggak makan ice cream sepuas kamu ya?" rayu Farauq.

"Tidak mau! Aku bukan anak kecil yang bisa kamu iming-imingi barang kayak begitu!" tolak Alya, mulai terdengar marah.

"Sudah tidak apa-apa Pak Farauq. Itu permintaan biasa untuk ibu yang sedang mengidam. Saya sudah biasa menghadapi permintaan seperti ini. Bu Alya bukan yang pertama meminta hal ini. Dulu ada yang minta lebih parah lagi. Dia minta kepala saya dilumuri ice cream dan bumil itu menjilatinya di kepala botak saya ini," jelas Pak Agung sambil mengelus-elus kepala plontosnya, dan tertawa sendiri mengingat hal konyol itu.

"Maaf kan kelancangan istri saya yang..." ucapan Farauq terpotong olek Pak Agung.

"Sudah tidak apa-apa, saya ikhlas, hanya memegang saja kan tidak masalah. Dari pada anak Anda nanti ileran. Pasti Anda tidak mau kan?" ujar Pak Agung yang memahami rasa sungkan Farauq.

"Ini Bu Alya, pegang sepuasnya, agar anaknya tidak ileran. Saya juga pernah mengalami ini Pak Farauq, saat istri saya hamil dulu," tambah Pak Agung menyodorkan kepalanya kepada Alya.

Alya pun berjalan dan menyentuh kepala Pak Agung, sebelumnya dia sudah meminta izin dan dia pun tersenyum girang setelah puas menyentuhnya.

"Terima kasih ya Pak," ucap Alya dan duduk di kursi Farauq, bersebelahan dengan Ali.

Semenjak kehamilannya, Alya dan Prilly dilarang untuk bekerja. Namun saat mengikuti meeting seperi ini, mereka sesekali memberi usul dan masukan. Sebelum Farauq melanjutkan meeting, Prilly mulai beranjak dari pangkuan Ali.

"Mau ke mana Sayang?" tanya Ali saat Prilly sudah berdiri.

"Pengen dipangku sama Dimas!" jawabnya enteng.

Dimas yang sedari tadi sibuk mengotak-atik laptop, berhenti menatap Ali yang sudah melototinya.

"Ogah! Lo berat, Pril. Pegel kaki gue entar. Minta tuh laki lo. Bisa-bisa habis ini gue digantung sama singa lo, tuh!" tolak Dimas dan seketika Prilly menangis seperti anak kecil tak mendapatkan mainannya.

Ali yang mulai panik mencoba menenangkan Prilly, namun tetap tidak bisa reda, tangisnya justru semakin menjadi.

"Dimas!!!!" teriak Ali dan menatap Dimas dengan wajah garangnya.

"Yaaaa... sini Pril, gue nggak mau ya, ponakan gue ileran!" jawab Dimas lesu dan pasrah mempersilakan Prilly duduk di pengakuannya.

"Awas kalo sampai ada yang terusik di bawah sana, gue potong-potong terus gue kasih ke ayam!" ancam Prilly sebelum dia duduk di pangkuan Dimas.

Dimas yang mendengar ancaman Prilly reflek memegang pusakanya dan bergidik ngeri.

"Sampai berdiri, awas, gue bikin nggak bisa berdiri selamanya," timpal Ali menambahi ancaman Prilly.

"Dasar sepasang singa buas! Bini dan laki sama kejamnya!" gerutu Dimas.

"Gue denger yang lo omongin!" ucap Prilly sudah duduk di pangkuan Dimas.

Sekuat tenaga Dimas menahan sakit dan nyeri dibagian bawahnya, agar tidak bangun. Wajahnya sudah memerah dan tidak bisa fokus dengan penjelasan Farauq di depan.

***

"Gilaaaa!!!! Sakit...!" umpat Dimas saat dia masuk ke dalam ruang kerja Ali.

Ali dan Farauq yang berjalan di belakang Dimas tertawa lepas. Mendengar umpatan dan omelan Dimas.

"Kalau bukan bini lo Li... udah gue banting di ranjang! Puas lo nyiksa gue begini?" ujar Dimas masih menahan nyeri dan menghempaskan tubuhnya ke sofa.

Ali yang baru saja duduk di kursi kebesarannya, mendengar ucapan Dimas, langsung melempar kalender meja yang berhasil mengenai dada Dimas. Farauq yang melihat tingkah kedua orang yang berada di depannya itu, semakin tertawa lepas.

"Sialan lo!" tukas Ali.

"Itu belum seberapa Dim, baru begitu saja sudah mengeluh. Gue sama Ali tiap hari disiksa tuh bumil aneh," kata Farauq duduk di kursi depan meja Ali.

"Busyet! Kalian gimana bikinnya sih? Hamil bisa barengan. Anak masih di dalam aja udah bikin banyak orang kerepotan. Ngidam yang aneh-aneh lagi," heran Dimas membuat Ali dan Farauq semakin tertawa lepas.

Dimas hanya mendengus kesal, pada dua lelaki dewasa di depannya itu.

"Terserah kalian! Gue mau pulang beredam!" pamit Dimas berlalu dari ruang kerja Ali.

"Gimana Bang rencana 7 bulanan untuk mereka?" tanya Ali saat mereka terdiam setelah tertawa lepas.

"Biar Mama saja yang ngurus Li, kita terima beres," jawab Farauq santai.

"Ya sudah, yuk Bang kita pulang! Bisa ngamuk entar, dua singa betina di rumah," ajak Ali menepuk pundak Farauq.

Akhirnya mereka pun beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.

########

Wkwkkwkwkwk
Masih cerita alay
Hehehe
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.
muuuuuaaachhhh
Cium jauh dari aku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top