12 - 02 - 2021 : Kalangkang
Song/music: Nier: Automata – Song of the Ancients / Atonement
...
Hari ke-12: Buka buku terdekatmu di halaman 83. Kalimat lengkap pertamanya adalah kalimat pembuka di karyamu hari ini.
...
Kalangkang
Keadaan tidak menjadi lebih baik. Kukira kalau aku membelahnya menjadi dua, semua akan beres. Namun, semua di luar dugaanku. Monster bayangan itu malah beregenerasi dan hasilnya malah lebih sulit. Dua lawan satu. Bagaimana bisa itu disebut adil? Walaupun ukurannya menjadi setengahnya, tetap saja aku kalah jumlah. Belum lagi aku tidak boleh membelahnya kalau aku tidak ingin menambah kuantitas lawanku.
Ck. Sial.
Monster itu melolong, lantas menerjang. Cakar panjangnya mereka hunuskan. Aku berhasil menangkis yang satunya, tetapi monster yang lain berhasil menggores pipiku. Rasanya sangat panas seperti terbakar. Perih. Perlahan darah mengucur.
Aku menunduk, menghindari sabetan monster yang bebas. Cakar monster itu mengenai temannya. Dia meraung. Aku menjegal kedua kakinya yang serupa anjing itu sampai dia terjengkang. Tidak kusia-siakan kesempatan ini. Aku langsung memenggal kepalanya.
Ah, sial. Aku lupa kalau mereka bisa membelah diri seperti cacing pita.
"Akh!" Ekor serupa kadal mereka menghantamku.
Aku terbentur ke dinding dengan keras sampai tulang punggungku berbunyi. Sakit, ngilu, tidak bisa bergerak. Semua bercampur satu. Belum lagi rasa terbakar di bagian perut. Kusentuh bagian itu perlahan. Lengket, berbau amis, merah. Rasa sakit dan perih semakin menjadi ketika darah yang keluar semakin banyak. Aku meringis. Tidak, aku tidak boleh mati di sini.
Ketiga monster bayangan serupa serigala berekor kadal mengepung. Namun, hal yang bisa kulakukan saat ini hanyalah duduk sambil menahan sakit. Aku sudah tidak punya tenaga lagi. Aku tidak bisa kabur.
Suara raungan disertai hunusan kuku tajam menyerang. Aku menutup mata, tetapi sesuatu mencegahku melakukannya.
"Arga!" Sebuah teriakan dari arah atas membuatku refleks mencari sumbernya. Seorang pria berjubah hitam melompat dari atas bangunan sambil membawa pedang berapi.
"Jati!" Aku berteriak girang. Syukurlah aku tidak jadi mati.
Jati mengayunkan pedang ke samping, mencegah serangan ketiga monster melukaiku. Dengan cepat, dia menerjang, berputar, membakar setiap lawan yang terkena. Para monster itu menjerit ketika bagian tubuh mereka terbakar. Jati tidak mencincang mereka seperti yang kulakukan. Sebagai gantinya, dia menggunakan kekuatan apinya untuk membakar para monster itu sampai menjadi abu.
"A ... aw ...." Dengan susah payah aku berusaha bangkit. Setidaknya aku harus bisa membantu Jati, atau pergi ke tempat yang lebih aman agar pertarungannya tidak terganggu.
Oh, aku akan pilih opsi yang kedua saja.
"Arga, awas!" Jati memperingati. Aku yang baru saja berdiri harus dihadapkan dengan satu monster yang siap menerkamku kapan saja. Kusiagakan senjata. Di tengah rasa sakit yang masih terasa, aku harus siap dengan lukanya.
Monster itu mencakar. Aku menahannya dengan dua belati menyilang. Luka di perutku sepertinya belum pulih sepenuhnya. Aku terdorong ke belakang. Kuda-kudaku mulai goyah. Aku tidak bisa seperti ini terus.
"Gaaahh!!!"
Aku mendorongnya sambil menahan perih. Kutendang makhluk itu dengan satu kaki. Dia terjengkang, tetapi aku juga ikut merasakan sakit.
"Uhuk!"
Aku batuk. Darah keluar dari mulut. Makhluk itu kembali bersiap menyerangku.
"Merunduk, Arga!" teriak Jati. Dia mengeluarkan api dari tangannya, membakar makhluk itu sampai menjadi abu. Teriakan menggema di sekitarku.
"GG, Jati!" teriakku. "Ohok ...."
Dan semuanya menjadi gelap.
-oOo-
A/N
Kalimat pertama dari novel Supernova 3: Petir.
A ha, absurd.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top