≧ Sanmon Shosetsu - King Gnu
Like a Cheap Novel and Its Pitiful Ending
[Sanmon Shosetsu - King Gnu]
Ilya | clawyer_sz
Oda Sakunosuke x Kanna Nakamura/Alina Vodyanovka (OC)
[Bungo Stray Dogs - Asagiri Kafka & Harukawa Sango]
i
“Katanya, orang meninggal yang sudah dilupakan tidak akan bisa menyeberang. Apa kau tidak takut dilupakan?”
Odasaku mengerjap. Sepertinya, dia terlarut dalam buku yang entah-sudah-berapa-kali-dibacanya sampai tidak begitu mendengar perkataanku. “Maaf, apa?”
“Kubilang, kau tidak takut kalau orang-orang melupakanmu? Apalagi katanya, kalau kau mati dan terlupakan, tidak akan bisa menyeberang.”
Odasaku mengenyit mendengar perkataanku. “Cerita mana lagi yang habis kaubaca?”
“Cerita apa yang selalu kaubaca?” Odasaku hanya mendengus geli mendengar balasanku. Tanpa menjawab pertanyaanku, padahal itu serius.
“Tapi, semisal orang-orang melupakanmu pun pasti ada yang mengingatmu. Misalnya Dazai, Ango, anak-anakmu, paman kari ..., aku. Sulit sih melupakan orang sebaik Odasaku. Pokoknya, aku jadi yang terakhir melupakanmu. Saat Dazai sudah terlena dengan gadis-gadis muda, aku bakal membawamu piknik, atau pergi ke museum ....”
“Katanya, semua yang mati bakal ke Yomi, semacam dunia bawah tanah.”
“Oh ... tidak ada arwah gentayangan?—Pokoknya, aku bakal menemanimu sampai lembar terakhir hidupmu.”
ii
Apa membaca satu judul buku yang sama setiap saat itu bisa disebut hobi membaca? Atau lebih cocok kalau aku menyebutnya kasamaran pada buku itu?
“Apa pekerjaanmu sudah selesai?” tanyaku basa-basi.
“Seingatku, aku memang lebih sering menganggur.” Ouch.
Odasaku kembali membalik halaman buku kumal itu. Tampilan buku itu memang jelek, tapi aku tidak tahu bagaimana isinya. Odasaku sangat akrab dengan buku itu, mungkin buku itu atau pemiliknya berjasa baginya.
Aku tidak tahu apa-apa tentangnya, meski dia menjadi seperti anak si paman kari—itu pamanku sendiri—dan kami menjadi akrab (lalu ruapnya kami saling suka, meski yang membocorkan itu Sakura-chan, tapi hasilnya tidak pahit amat), aku cuma tahu beberapa hal yang bahkan tidak kuketahui dari Oda sendiri. Kecuali beberapa hari belakangan dia mengakui kalau dia bekerja di Port Mafia yang langsung membuatku terjungkal—oke, itu hiperbolis, aku sudah tahu. Aku memang kaget, sekadar menganga sedikit jeri sambil membayangkan apa dia bakal mengulitiku hidup-hidup. Tapi rupanya dia masih seperti Oda yang biasanya.
“Wah, aku pacaran dengan mafioso. Oh, tapi katanya, dia mafia ‘baik’. Toh, selama ini tidak terjadi apa-apa.” Kira-kira, begitu kebimbanganku timbul-tenggelam.
Satu halaman lagi dibalik. “Kalau kau? Sudah selesai mengajar?”
“Mengajar apanya, ini tanggal merah. Kau saja yang masih bekerja, dasar aneh.”
“Katakan itu pada bosku.”
Aku menggeleng kuat-kuat. Siapa yang mau berurusan dengan Mori Ougai? Bukan aku pastinya.
“Bukunya sepertinya tidak lengkap.” Maksudku, bagian belakang bukunya seperti ada bekas hangus.
Odasaku tampak sedikit terkejut karena aku menanyakannya, tapi menanggapinya dengan tersenyum lebut. “Oh, iya. Bab tiganya memang tidak ada.”
Lalu, aku mencetukan ide brilian (biasa saja). “Kalau begitu, tulis saja sendiri.”
“Bagaimana kalau ending-nya jelek dan tidak sesuai harapan?”
“Tidak masalah. Toh, ini ending cerita versimu sendiri. Aku tidak peduli ujungnya seperti novel murahan. Tapi Odasaku, sih pasti bakal lebih baik dari itu. Aku merasa terhormat kalau bisa membacanya.” Odasaku hanya tertawa. Tapi, kemudian dia bilang kalau dia akan menulisnya, karena seseorang juga memintanya seperti itu, ditambah aku.
“Kalau yang seperti novel murahan itu bukannya cerita tentang kehidupan kita?” Wah, ingatkan aku untuk memukul Odasaku nanti. Tapi ... kalau dibuat cerita, intinya; anak baik-baik pacaran dengan mafia.
III
Pria itu memintaku menulis akhir ceritanya sendiri. Menulis sebuah novel sama saja dengan menulis tentang manusia, dan pembunuh tidak pantas untuk menulis hal seperti itu. Jadi, setelah pria itu dan wejangannya, aku tidak mengotori tanganku lagi. Kini, Kanna memintaku menulisnya juga. Aku selalu ingin menyelesaikannya di tempat yang damai, dengan pemandangan laut. Bersama Kanna kurasa tidak buruk. Meski dia banyak bicara kalau bersamaku, itu tidak membuatku risi sama sekali.
Soal ... aku yang adalah mafia, dia sudah tahu—reaksinya saat aku mengaku, gara-gara dia tidak sengaja menemukan Dazai saat ... bertugas, bukan skenario paling buruk yang kubayangkan. Mungkin banyak yang dia tahu atau ingin tahu tetapi selalu ditutupinya—misalnya masa laluku. Aku cukup terkejut akhirnya dia bertanya tentang novel itu. Selama ini pembicaraan kami selalu mengalir tanpa terlalu berpusat pada masing-masing diri kami.
Entah mengapa rasanya kami jadi tidak sedekat itu, tetapi ini demi kebaikannya juga. Tidak ada hal baik dari mengetahui sisi gelap mafia ataupun mafioso.
“Kalau kau ingin tahu, simpan saja pertanyaannya di kepalamu. Tidak sepadan dengan nyawamu.” Dia tersentak, tahu apa yang kumaksud, lalu mengangguk sambil meringis kecil.
Kutepuk puncak kepalanya, lalu menyodorinya novel itu. Netranya biru langitnya bertemu denganku, melebar terkejut tetapi juga berbinar antusias. Lalu seolah menggesturkan ‘tidak apa-apa?’ yang kujawab dengan anggukan. Dia membuka lembarannya dengan berhati-hati, sambil mencermati tiap kata.
Kanna Nakamura. Dia keponakan pemilik kedai kari, menjadi guru honorer di sebuah sekolah dasar di usia belia, suka merawat kucing dan burung di tempat khusus yang cukup jauh dari rumahnya karena mereka sangat berisik. Tapi, Dazai pernah bilang padaku bahwa dia cukup aneh. Aku juga menyadarinya, dia masih kurang terbiasa dengan kultur Jepang, dan kelihatan lebih mahir berbahasa Inggris. Lalu, Alina Vodyanovka—Ango yang dapat. Aku tidak tahu apa dia punya tujuan tertentu atau tidak, apa selama ini dia bersandiwara atau tidak. Namun, melihat mata gemerlapnya tadi, aku cukup yakin kalau dia tulus.
IV
Anak-anak itu ditangkap oleh Mimic. “Anak-anakmu.” Kalau Kanna bilang. Aku tidak peduli apa pun lagi dan berlari sekencang yang kubisa. Anak-anak itu tidak bersalah, dan karenaku mereka semua terlibat dalam hal ini.
Kamar mereka kosong sepenuhnya, lalu aku mendapati van terkutuk itu terparkir tidak jauh dari kedai. Mataku tidak dapat menelisik Kousuke atau yang lainnya, cuma ada ... Kanna.
Tidak ... tidak.
Matanya menatap berang seolah mengatakan jangan berani-beraninya aku ke sana, lalu melirik arah kiri ‘anak-anak itu ada di ‘rumah’’.
Aku turun dari balkon begitu menyadari aku membatu terlalu lama, tetapi terlambat. Van itu sudah meledak, bersama dengan Kanna di dalamnya.
Tidak apa-apa ‘kan menangis sebentar saja?
“Tentu, Odasaku. Tapi jangan menyerah, ya.”
V
Aku tertembak. Sebelum mati, kurasa ... aku bisa menitipkan anak-anak pada paman kari, tetapi jangan terlalu merepotkan paman, lalu menitipkan Dazai pada Agensi Detektif Bersenjata ... setelah itu, di sana ... entah seperti apa rupa setelah kematian itu, aku ingin menulis akhir ceritanya, dan menulis novelku sendiri. Meski seperti novel murahan, Kanna bilang dia akan tetap membacanya.
Ah, premisnya boleh jadi murahan. Tapi pasti bisa dibuat unik, dan bagaimanapun tulisanku juga harus bisa berguna untuk yang lainnya. Untuk siapa?
════════════⊹⊱≼≽⊰⊹════════════
Akhirnya zelezaii.
Cerita ini dibuat dengan ngebutt dan baru selesai pukul ... berapa ini? Oh, satu jam sebelum deadline. Semoga next project bisa lebih rajin ಥ_ಥ
Lagu yang saya jadiin bahan cerita buat playlist project ini, Sanmon Shosetsu - King Gnu
https://youtu.be/Y8HeOA95UzQ
Terima kasih yang sudah membaca entahapaini (kalau ada), jangan lupa baca karya yang lain juga, di tempat (book) ini hohoho.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top