≧ Immortals - Fall Out Boy

[Judul: For You]

[Lagu: Immortal]
[Penulis: RaindeAlthera ]
[Pair/fandom: Herobrine x Dreadlord/Minecraft]

"Berhenti kataku!" Aku berseru.

Kukuatkan kakiku berpijak dengan menahan seluruh sakit yang kurasakan. Dia berhenti tanpa berbalik menghadapku. Kuamati dia menghela nafas dan menggelengkan kepalanya pelan.

"Jangan bodoh, Hero. Kau tidak akan mampu menghadapiku. Lebih baik kau menyerah saja. Lihat kondisimu saat ini!"

Aku mengertakkan gigi geram. Berani-beraninya dia memanggilku dengan nama itu. Sungguh sangat kurang ajar ... setelah pengkhianatan yang dia perbuat.

"Kau tidak bisa melakukan ini. Tugas kita adalah melindunginya. Bukan menjadi penguasa atasnya." Aku kembali berusaha menjejalkan nalar sehat ke dalam kepalanya.

Dia menoleh sedikit. Seulas senyuman tanggung terpatri apik di wajahnya. "Sampai ketemu lagi, Hero."

Setelahnya dia terjun ke Void.

****

Sudah ratusan tahun berlalu sejak dia meninggalkan tugasnya sebagai penjaga. Aku tidak tahu ke mana orang itu pergi. Namun, satu hal yang pasti. Ketika dia kembali kami akan berhadapan sebagai musuh abadi. 

Aku melangkahkan kaki keluar dari piramida. Di luar, langit sedang bersinar sangat cerah. Namun, seiring bertambahnya hari aku semakin tidak tahu bagaimana rasanya tersenyum.

Kami adalah entitas yang dilahirkan bersamaan sebelum penciptaan dunia. Aku merupakan manifestasi kematian. Apa pun yang berhubungan dengan kematian serta hal-hal yang tidak memiliki jiwa. Tanah, air, udara, tulang, mayat, dan yang lainnya.

Berkebalikan denganku, dia adalah manifestasi kehidupan. Dia adalah alam, terhubung dengan semua jiwa yang ada di dunia; manusia, hewan, dan tumbuhan. 

Aku kegelapan dan dia cahaya. 

Aku tidak memiliki nama. Namun, manusia memanggilku Herobrine. Tidak jelas alasan mereka memanggilku dengan nama itu. Andaikan mereka tahu aku merupakan perwujudan dari kematian, mereka mungkin akan menyesalinya. 

Sedangkan dia ... yang merupakan manifestasi kehidupan dipanggil ... Dreadlord. 

Aku menatap lurus ke depan. Di sana adalah Far Lands; tanah yang terlupakan; tebing yang sangat tinggi dan tebal serta curam.

Tidak ada makhluk hidup yang bisa mendekati daerah ini. Tempatnya terlalu jauh dari peradaban dan sangat mustahil untuk dicapai oleh mortal. 

Aku membangun tempat ini, tanah ini. Di luar sana terdapat Void, jurang tanpa dasar yang hanya berisi kehampaan. Ke tempat itulah dia melarikan diri. 

Tanganku terangkat. Tidak membutuhkan waktu lama, perlahan demi perlahan tebing baru tercipta. 

Aku menengadahkan kepala. Sejauh mataku bisa memandang, tebing tinggi menjulang. 

Inilah rutinitas harianku. Selama ratusan tahun aku selalu mengelilingi dunia dengan dinding yang tebal. Dinding ini terbuat dari batuan yang sangat keras, tidak mudah ditembus siapa pun. Aku sendiri akan membutuhkan waktu jika berusaha menembusnya.

Aku mengalihkan pandangan ke belakang. Sudah beberapa waktu ini perasaanku tidak nyaman. Aku sering menoleh ke belakang seolah ada seseorang di sana. Padahal aku sendiri tahu pasti jika itu hal yang mustahil. 

"Tidak ada salahnya memeriksa. Lagipula sisi ini sudah kutebalkan semua. Sekalian saja menambah ketebalan dinding di sana," ujarku untuk menenangkan diri sendiri.

Aku menjauhkan tangan dari dinding yang baru saja kubangun. Aku berbalik dan mulai berjalan ke arah yang berlawanan.

Perjalanan ke sana membutuhkan waktu yang cukup lama. Bagaimanapun juga tempat itu ada di sisi lain dunia. Jika mengambil jalan memutar untuk menghindari peradaban mortal, perjalanan akan dua kali lipat lebih panjang. 

"Aku bisa berjalan di gua bawah tanah saat siang dan berjalan santai di permukaan saat malam," aku berujar yakin pada diriku. 

Setelah memikirkan rute tercepat, aku segera melangkahkan kaki. 

Namun, kala aku sampai di sana ....

Ada pepatah kuno di kalangan para mortal yang berbunyi, "Firasat buruk itu tidak pernah salah."

Sekarang, aku memahami dengan jelas makna pepatah itu. Apa yang ada di hadapanku benar-benar kabar buruk. Tidak ... ini bukan sekadar kabar buruk. Yang ada di hadapanku sekarang adalah mimpi buruk.

Far Lands yang sudah susah-payah kukerjakan selama ratusan tahun tertembus. tidak hanya itu, ada banyak lubang di tebing setebal ratusan kilometer. Aku melihat dari salah satu lubang. Lubang itu ... tembus hingga Void!

"Hero, apa kabar?"

Tubuhku mematung; bulu kudukku berdiri. Aku sangat mmgenali suara ini walaupun sudah ratusan tahun tidak mendengarnya. 

Kukepalkan tanganku erat. Aku ingin menoleh, tetapi instingku menahanku agar tidak melakukannya.

"Kenapa tidak menjawab? Apakah kau sudah lupa bagaimana caranya berbicara?"

Aku mendengar suara kakinya melangkah. Semakin lama suara itu semakin dekat. Aku ingin bergerak, tetapi kakiku kaku. Rasanya tubuhku seolah dipaku dengan bumi. Hingga dia berdiri tepat di belakangku. 

Orang itu memegang pundakku. "Hero, lihat aku."

Aku memejamkan mata sebentar. Aku tidak boleh ragu. Entitas di belakangku harus dilenyapkan. Satu-satunya orang yang bisa melenyapkannya adalah aku, penjaga dari generasi pertama. 

Mataku terbuka perlahan. Aku langsung menaikkan tanah di sekitarnya dan mengurung setengah tubuhnya dalam kuburan batu. Di saat dia masih mencerna situasi, aku segera menjauh dan berbalik menghadapnya.

Kukeluarkan dua bilah pedang berlian. Mataku menatap lurus ke matanya yang kini sepenuhnya berwarna merah.

Senyuman dia sepenuhnya menghilang. Kini bibirnya hanya membentuk garis lurus. Dia menatapku dingin ... tatapan yang tak pernah kusangka bisa dia miliki.

"Ini ... tidak terduga," ujarnya sembari menunduk melihat batu yang mengurungnya, "tetapi ini tidak cukup."

Dia mengeluarkan tombak sewarna laut dalam. Aku tidak tahu dari apa dia membuatnya atau bagaimana dia membuatnya. Namun, satu hal yang pasti, benda itu berbahaya.

"Perkenalkan, benda ini bernama Trident. Biar kutunjukkan padamu bagaimana cara menggunakannya."

Setelah mengatakan itu, dia menusukkan tombak itu ke sisi luar batu yang mengurungnya. Setelahnya petir tiba-tiba menyambar dan menghancurkan batu itu.

"Sekarang, giliranmu."

Dia menusukkan tombak itu ke tubuhku. Dengan sigap, aku menangkisnya dengan pedang. Namun, begitu pedang dan tombak bertemu, petir langsung menyambar. 

Aku mundur beberapa langkah. Tombak itu sangat berbahaya. Namun, aku tidak boleh berhenti.

Aku kini menyerangnya. Kuayunkan pedangku ke arahnya. Dia dengan lihai menangkis seranganku. Setiap tangkisan yang berhasil, petir menyambar di tempat itu.

Kini tubuhku telah penuh dengan luka sedangkan dia masih baik-baik saja. Dia sangat cepat, melebihi kecepatan petir yang menyambar. Sebelum sambaran petir tiba, dia sudah terlebih dahulu menghindar. Mungkin inilah yang dipersiapkannya selama ratusan tahun ... untuk bertarung menggunakan esensi alam. 

Jika dia ingin menggukan alam, aku akan melakukan hal yang sama. 

Aku menahan rasa sakit disekujur tubuh. Luka ini bukan apa-apa. Aku kembali mengayunkan pedang. Namun, tepat sebelum tombaknya menyentuh pedangku, aku terlebih dahulu membuat perisai batu untuk petir menyambar. 

Aku tidak berhenti. Selagi dia masih terkejut aku kembali mengurung setengah tubuhnya dalam batu. 

Bersamaan dengan itu aku mengayunkan pedang ke arahnya dan membuat perisai batu. Setiap kali pedangku dan tombaknya bertemu, petirnya akan dialihkan ke perisaiku. 

Ekspresinya terlihat kebingungan. Dia menatapku dalam. Namun, sedetik pun tak akan kupedulikan. Aku terus mengayunkan pedangku hingga memotong tangannya yang sedang menggenggam tombak.

Kini keadaan berbalik. Dia berada di dalam kurungan batu. Satu tangannya telah terputus dan tubuhnya sudah penuh dengan luka dalam yang serius.

"Kenapa?" tanyaku.

"Hahahahahaha!" Bukan jawaban, melainkan hanya suara tawa yang dapat kudengar.

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Setelah ratusan tahun, akhirnya kau bertanya alasannya. Aku terharu," jawabnya sembari menghapus air mata karena tertawa terlalu lama.

"Apa alasanmu melakukan itu?" Aku mengabaikan kata-katanya dan terus bertanya.

"Kau egois, Hero." Kali ini tawanya berhenti sepenuhnya.

Matanya yang sepenuhnya merah menatapku lekat. Aku dapat melihat kesedihan yang mendalam di sana, kesedihan yang tidak dapat kujelaskan. Namun, apa alasannya?

"Kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi aku. Kau tidak tahu bagaimana penderitaanku. Tahukah kau betapa sakitnnya setiap satu mortal mati? Kau tidak akan mengerti. Rasa sakitnya sudah hampir membuatku gila. Sedangkan kau, apa yang kau lakukan? Terus menyendiri di dalam tanah. Kau selalu bilang entitas seperti kita harus menjaga dunia, tidak boleh ikut campur dengan apa pun yang terjadi. Tapi Hero! Dengarkan aku! Aku menderita. Aku kesakitan setiap detiknya. Aku hanya ingin dunia yang damai tanpa kematian."

Dia menundukkan kepalanya. Aku merasakan rasa sakit dan kesedihan mendalam di setiap kata-katanya. Dia berkata yang sebenarnya.

Aku tercengang. Ini hal yang baru kuketahui. Aku baru sebesar itu penderitaannya sebagai manifestasi kehidupan. Namun, ....

"Maafkan aku." Aku menutup mata dan mengangkat tinggi-tinggi pedangku.

"Apakah akhirnya aku akan dimusnahkan?" Itu hanya pertanyaan retoris. 

Dia tertawa pelan. Tanpa menunda waktu lagi, aku menebas kepalanya. 

Aku membuka mata. Tubuhnya perlahan-lahan menghilang menjadi butiran. Dia tidak mati, hanya terlahir kembali tanpa ingatan di suatu tempat.

Sebelum semua butirannya menghilang, aku mengambil beberapa keping esensinya.

"Jangan khawatir. Selanjutnya kau tidak akan lagi merasakan sakit karena kematian." Aku tersenyum lalu menyerap esensi itu untukku sendiri. 

Segera setelah semua berhasil kuserap, aku merasakan sakit di sekujur tubuh. Rasanya seperti ribuan pisau menusuk dan merobek kulitku. Inikah rasa sakit yang selama ini dia rasakan?

Tidak apa-apa. Aku bisa menahannya ... untuknya. 

~ SELESAI ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top