≧ Blooming in That Summer - Yorushika
Dalam ingatanku, dirimu berteduh di bawah halte bus menjauh dari terik panas matahari.
Rambut hitammu dibawa berayun angin musim panas yang bertiup. Berbanding terbalik dengan sorot matamu yang tajam, senyummu lebih hangat dari suasana bulan Juni.
Bunga pun ikut mekar meniru indahmu.
Sebelum dalam sekejap, kau pergi melaju bersama bus yang menjemputmu.
.
.
Blooming in That Summer - Yorushika
Story Written by PolarisF
Tokyo Revengers © Ken Wakui
.
.
Di perhentian bus yang sama, aku melihatmu lagi. Tampak memukau dengan rambut panjang yang diikat dan minuman dingin di tanganmu.
Jemariku gemetar, memegang erat buku sketsa yang hampir tidak pernah kusentuh lagi.
Aku yang pengecut, diam-diam membuat sketsa pemandangan hari itu tanpa sepatah kata. Dirimu yang duduk tidak jauh dariku.
Dari sudut mataku, aku kembali mencuri pandang padamu yang menatap lurus ke jalan raya kota.
Sebelum kembali pergi. Melaju bersama bus yang menjemputmu.
.
Aku terus kembali ke halte yang sama. Lagi, kau berdiri di sana.
Dalam sepi yang terbiasa ada di antara kita, kau tiba-tiba memecah kesunyian.
"Hei, kau."
Jantungku berdegup kencang, mengancam akan berhenti di situasi yang tidak aku perkirakan.
"Apa ada yang mau kau sampaikan?" tanyamu, tidak berusaha terlihat mengintimidasi terlepas dari sorot mata yang menyelidik.
"Sejak dua hari terakhir, aku memperhatikan kalau kau terus menatapku."
Kali ini jantungku benar-benar hampir berhenti permanen. Tidak bisa menyembunyikan wajahku yang memerah, aku ingin kabur bersama awan yang bergerak perlahan pergi dari latar.
"Tidak," gumamku, tidak berani menatapmu.
"Hanya saja aku heran. Aku tidak pernah melihatmu di halte sebelumnya." Aku beralasan.
Kau diam sejenak, sebelum menimpali, "Yah, biasanya aku memang tidak menaiki bus."
"Motorku sedang rusak, jadi aku harus berpergian menggunakan transportasi umum," jelasmu padaku.
"Iya." Aku menyahut singkat, tidak berani memulai obrolan yang lain.
Dalam beberapa bulan aku menganggumimu dari jauh, aku tidak pernah bermaksud untuk bisa melihatmu sedekat ini.
Diselimuti perasaan malu, aku berharap bisa lenyap detik itu juga, membuatmu melupakanku.
Tanpa menoleh, aku masih bisa merasakan tatapan tajam yang mengarah ke arahku.
"Kita sekelas kan?"
Entah sejak kapan aku memperhatikanmu.
Kau datang memasuki kelas hari itu, nampak tidak peduli dengan dunia dan pendapat mereka tentangmu.
Aku berpikir pada diriku sendiri, "Aku akan membenci orang ini."
Tidak mempunyai kemampuan, wajah menarik atau pun kepribadian mencolok, aku hanya bisa mengomentari orang-orang yang kuanggap jauh lebih buruk dariku.
Aku membenci diriku sendiri.
Tapi sedikit demi sedikit. Waktu ke waktu. Aku tidak bisa melepas perhatianku pada sosokmu.
Sampai mengubah caraku memandang hidup, hanya dengan menjadi dirimu sendiri.
Dari caramu tersenyum tulus, caramu bersikap lembut pada hewan kecil dan bagaimana kau menebar kasih sayang dengan caramu sendiri.
Tanpa aku sadari, aku sudah jatuh terlalu jauh ke dalam pesonamu.
Waktu tidak pernah berhenti, tapi kali ini, aku mensyukurinya. Semua terasa begitu cepat, hampir membuatku tidak mampu menyamainya dengan langkah lambanku.
"Chifuyu terkadang tidak menggunakan otaknya," guraumu, bercerita dengan senyum lebar.
Entah bagaimana, keajaiban memberiku kesempatan untuk mengenalmu sedikit jauh lebih dekat.
Dari sepatah dua kata, dilanjutkan dengan rangkaian kalimat. Dari menit, berubah menjadi jam.
Hingga esok dan lusa tiba, percakapan kita tidak pernah surut.
Bahkan saat kau tidak punya alasan untuk menemuiku lagi, kau datang bahkan hanya untuk sekedar menyapaku.
Aku balas tersenyum.
Hanya dengan memperhatikan kehadiranmu membuat hariku yang biasa memiliki arti.
Namun musim panas juga berakhir secepat kedipan mata, mengingatkanku kembali, waktu tidak memihak pada siapa pun.
Kau menghilang lagi bersama bus hari itu.
.
Rintik hujan yang lebat merembes ke seragamku. Kakiku masih terpaku, menatapmu yang berdiri sendu di bawah atap terminal dari kejauhan.
Aku kembali menganggumi dari jauh. Wajah sendumu dan jaket putih asing yang memeluk figurmu.
Perawakan tangguh yang kau bangun selama ini runtuh sejenak, terbawa melankolis udara dingin sore itu.
Tidak ada yang menyadari setetes air mata jatuh dari matamu.
Tanganku bergerak untuk menggambar momen itu.
.
Musim panas yang berakhir, mengubah semuanya seolah seperti mimpi.
Aku kembali menjadi aku.
Diam, kesepian dan sendiri.
Musim panas selanjutnya, aku berdiri di halte bus. Hanya ada bayanganku sendiri yang menemaniku.
Bus terakhir datang menjemput, membawaku pergi menjauh.
Hari ini, tanpamu, rencanaku untuk hidup kembali menghilang.
Jika kau berjalan, maka bunga akan mekar.
Jika kau berjalan, maka langit akan menangis.
Jika kau tersenyum, musim panas terasa jauh.
Aku ingin melukis wajah tersenyummu.
Untukmu yang menangis ketika hujan lebat, jika boleh aku meminta sesuatu, mari kembali ke musim panas itu.
Aku mencoba menangkap kembali momen itu, tapi tiap goresan yang kutuang tidak pernah terasa cukup. Aku terus menggambar, tapi yang tertoreh hanya perasaan kecewa dan benci yang semakin meluap.
Tanganku yang tidak bisa menangkap kembali pemandangan musim panas kala itu, meyakinkanku aku telah gagal.
"Ah, aku ingin segera melupakan semuanya."
.
M
usim panas hari ini, aku mengingatmu, mengingat kita yang berbincang seperti teman lama. Seperti sahabat yang saling megenal sejak lama.
Tentang musim panas kala itu.
"Tidak seperti yang kau bayangkan, aku tidak seideal anggapanmu," tuturmu tiba-tiba. Membuatku menoleh, mengangkat mataku yang sebelumnya terpaku pada buku gambar.
"maksudmu?" tanyaku.
"Kau pernah bilang kau menganggumimu, kan?" kau bertanya balik, mengingatkanku.
"Akan kuberitahu padamu." Seperti pertama kali aku melihatmu di halte, kau terlihat mempesona di bawah sinar matahari yang menyelip masuk dari celah atap.
"Aku tidak sekuat apa yang kau bayangkan." Kau mengatakan tanpa ragu.
"Ada kalanya aku juga mengeluh."
Aku diam, terus mendengarkanmu.
"Aku juga bukan orang yang cukup dewasa untuk mensyukuri semua yang terjadi padaku."
Mata kita bertemu.
"Bagiku sendiri itu bukan hal yang buruk."
Tawa kecilmu terdengar.
"Karena kita adalah manusia."
Yang kembali kuingat hari itu.
"Jadi kau juga, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."
Masih lah senyummu.
"Hidup lah sebisamu."
Jadwal bus yang terakhir pun berakhir.
"...."
Suara mesin bus yang berjalan memecah lamunanku.
Di dalamnya hanya ada aku.
Kembali menyandar kan kepalaku ke kaca bus aku berbisik lembut, "Mau bagaimana lagi."
Tanganku menggenggam erat buku gambarku.
Bahkan tanpa talenta, tanpa arti, tanpa adamu lagi.
Bersama kenanganmu yang tertinggal.
Musim panas selanjutnya, aku akan ada di sana.
Baji keisuke.
— fin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top