Bab 1:
"Indi, nanti malam kamu ada acara nggak?" Hans, manajer akuntansi yang terkenal dingin dan irit bicara itu tiba-tiba mengagetkan Indi dengan sebuah pertanyaan ajaib. Mau tak mau Indi sedikit tergagap.
"Eh, nanti malam, Pak?" ulang wanita berambut ala pemain bulutangkis Liliana Natsir itu sambil merapikan berkas di mejanya.
Pria berwajah tegas di hadapan Indi hanya mengangguk tanpa mengalihkan matanya dari layar komputer di meja.
Sebenarnya Indi ingin bersikap biasa, hanya saja mendengar pertanyaan yang diajukan pria itu membuat ia sedikit kehilangan kata-kata. Selama beberapa tahun jadi asistennya, Indi tak sekali pun terlibat pembicaraan pribadi dengan Hans. Indi sibuk menerka-nerka maksud dari pertanyaan sang manajer.
"Indi, kamu belum jawab pertanyaan saya," ujar Hans kembali menyadarkan Indi.
"Eh, sa-saya nggak ada acara, Pak."
Hans tersenyum, sangat manis.
"Kalau begitu kamu bisa pergi ke pesta?"
"Pesta?"
"Pesta ulang tahun salah satu rekan bisnis perusahaan." Hans berdiri dari duduknya, lalu menuju meja Indi dan menyodorkan sebuah undangan. Indi menerimanya, lalu membaca tulisan yang tertera.
"Ini undangan untuk dirut, Pak."
"Beliau sedang di luar kota, lalu mewakilkan pada saya, tapi mendadak saya ada acara."
"Jadi saya yang harus datang?"
***
Indi bersiap datang ke pesta ulang tahun rekan bisnis perusahaannya. Seperti biasa, ia hanya mengenakan kaus dan jin. Sapuan bedak tipis dan olesan pelembab bibir cukup dirasa Indi untuk membuat penampilannya terlihat segar.
Indi keluar kamar dan menemukan mamanya sedang sibuk dengan ponsel pintar di tangan.
"Mau ke mana?"
"Ke ulang tahun rekan bisnis si bos."
"Alin sakit, tadi Ikmal telepon katanya butuh uang buat berobat. Tadinya Mama mau ajak kamu ke sana. Mama mana ada uang."
"Ma, bisa nggak, sih, biarin mereka cari jalan keluar sendiri? Mereka itu udah dewasa, usianya lebih tua dari Indi. Nggak semua harus tergantung sama Mama atau Indi."
"Ya abangmu, kan, kerjanya serabutan."
"Ma, hidup itu pilihan."
"Abangmu mana bisa kerja di kantor?"
"Yaudahlah, dia udah menentukan pilihan."
"Hanya orang munafik yang hidup nggak butuh uang. Ikmal selalu mendewakan cinta. Ya begini hasilnya." Suryani menggerutu sambil terus mengusap layar ponsel.
"Mama tenang aja, Indi nggak akan kayak gitu. Indi bakal cari suami tajir, biar Mama seneng. Bisa shopping, nyalon dan jalan-jalan ke luar negeri." Indi berkata dengan suara kencang.
"Lagian untuk wanita sepintar kamu ya udah semestinya dapat suami kaya raya."
Indi hanya menarik napas dan sedikit menahannya sebelum diembuskan. Mamanya masih seperti biasa, mendewakan uang dan segala bentuk materi. Karenanya Indi bertekad untuk mendapatkan pria kaya sebagai pendamping hidup.
***
Indi keluar dari taksi daring tepat di depan sebuah hotel berbintang lima. Ia bergegas menuju ruang pesta tempat diadakannya acara ulang tahun sang rekan bisnis perusahaan. Letaknya di lantai enam.
Kaki-kaki Indi menyusuri lantai marmer yang bagian tengahnya dipasang karpet merah.
Ruangan pesta sudah ramai pengunjung.
Mata wanita itu mencari pemilik hajat untuk mengucapkan selamat sekaligus memberitahukan kedatangannya sebagai wakil dari perusahaan. Sosok itu tertangkap oleh Indi, seorang lelaki matang berpenampilan trendy tampak sedang asyik mengobrol dengan beberapa orang yang kemungkinan adalah tamu undangan. Umur mereka terlihat sepantar, masih lebih muda dari Indi.
Tadinya Indi ingin segera menemui pemilik pesta agar ia leluasa jika sewaktu-waktu memutuskan untuk pulang. Hanya saja, lelaki itu terlihat begitu sibuk dengan tamu-tamu lain. Indi memutuskan untuk menunggu hingga ada kesempatan.
Indi akhirnya memilih untuk duduk di depan bar, memesan minuman tanpa alkohol.
Sementara di sudut lain, Bram juga sudah berada di tempat yang sama. Kali ini ia datang sendiri, hingga banyak wanita yang dengan terang-terangan menggodanya. Duda beranak dua itu memang seperti magnet.
Bram menuju ke arah pemilik pesta, "Hei, Bro!"
Alvaro menyambut Bram dengan pelukan khas mereka. Tawa renyah langsung terdengar berderai di sela-sela musik yang mengalun. Alvaro terlihat begitu berseri.
"Ini si David nggak asyik banget, gue ultah dia malah kabur ke luar kota," gerutu Alvaro.
"Ya maklumlah, dia kan lagi ada pembukaan toko baru. Harusnya kita ikut bahagia dan mendukung." Bram meraih minuman yang kebetulan disodorkan oleh seorang pelayan.
"Iya, sih. Cuma nggak seru aja, masa kita cuma berduaan gini," lanjut Alvaro. Ia mengikuti Bram mengambil segelas minuman dari nampan si pelayan.
Mereka bersulang sebelum masing-masing menyesap minuman itu. Riuh suara di ruangan makin menjadi, suara MC mulai terdengar menandakan acara segera dimulai. Alvaro meninggalkan Bram dan kemudian menaiki panggung kecil di dekat meja DJ.
"Selamat malam semua, senang sekali rasanya saat ini kita bisa berkumpul bersama di tempat ini untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun pemimpin Elang Mas Group, Alvaro Surya Atmadja."
Tepuk tangan meriah memenuhi ruang pesta.
"Mari kita awali pesta ini dengan acara bersulang!" Alvaro mengangkat gelas tinggi, memberi isyarat agar seluruh undangan melakukan hal yang sama. Cheers!
***
Indi hanya memperhatikan dari tempat duduknya. Sesekali matanya berkeliling mencari kalau-kalau ada seseorang yang dikenalnya dan bisa menjadi teman di tengah pesta memuakkan ini. Indi memang tak suka menghadiri pesta semacam ini.
Setelah acara bersulang selesai, musik mulai terasa dinaikkan temponya. Semua pengunjung ikut menikmati. Ada yang berjoged, sekadar menggoyangkan kepala dan bahkan hanya mengangguk-angguk sambil mengunyah suguhan.
Indi memantau keadaan, ia merasa harus secepatnya menemui pemilik hajat dan pamit pulang.
Kebetulan sekali orang yang dicarinya sedang berada tak jauh dari tempat duduknya.
Indi setengah berjingkat menuju beberapa pria yang tengah mengobrol seru.
"Permisi," sapa Indi dengan suara dikencangkan sambil menyentuh tangan kiri pria tampan di hadapannya. "Maaf, Pak Alvaro, saya Indi. Saya diminta untuk mewakili Pak David karena beliau sedang tidak ada di tempat." Indi berusaha berbicara keras, tetapi sopan.
"Oh, jadi kamu utusannya David?"
Alvaro meneliti tubuh Indi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pria itu tersenyum. Ia mengajak Indi ke bar. Alvaro menawari minuman terbaik yang ia hadirkan di pesta itu, tetapi tentu saja Indi menolak.
"Saya tidak minum alkohol."
Alvaro mengangguk. Ia sendiri memesan minuman itu pada bartender. Dengan cekatan, pria berkulit eksotis di balik meja meracik berbagai macam minuman yang Indi tak tahu apa namanya.
"Ini, Pak." Sebuah gelas berkaki tinggi sudah terisi minuman berwarna keemasan dengan irisan lemon di mulutnya. Alvaro meraih gelas itu dan menyesapnya. Ia juga menawarkan minuman tanpa alkohol pada Indi.
Di sudut lain, Bram sedang menikmati minuman bersama dua wanita berpakaian minim. Selalu seperti itu, di mana ada Bram, maka di situ ada wanita seksi. Sudah bertahun-tahun Bram menikmati kehidupan penuh petualangan.
Namun, malam ini Bram mendadak sedikit terusik dengan pemandangan aneh yang tergangkap matanya dari jarak sekitar sepuluh meter. Meski banyak orang silih berganti menutup objek yang sedang diamatinya, Bram yakin hatinya tergoda untuk mengintai lebih jauh. Ia bangkit meninggalkan dua wanita seksi itu.
Bram melangkah sedikit ragu, tetapi rasa penasarannya lebih besar. Ia ingin cepat sampai pada objeknya. Matanya sedikit menyipit saat melihat orang yang sangat dikenalnya berada di sana juga. Alvaro, sepertinya Bram kalah cepat. Baru saja ia ingin berbalik, Alvaro terlihat bangkit dan pergi meninggalkan objek buruan Bram.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top