(5) Kaka, Kiki, dan Keke
"Pukul dua puluh itu sama dengan pukul delapan malam. Jadi, jarum pendeknya ke arah angka delapan," ujar Kaka.
"Oh ... gini ya, Bang?" Kaka mengangguk mengiyakan. "Makasih, Bang Kaka!"
Belum sempat cowok mancung itu membuka mulut, adik yang satunya langsung berteriak, "Bang! Ajarin aku matematika! Aku enggak ngerti soal himpunan!"
Kaka hanya menatapnya, tanpa berniat merespons ucapan Kiki. Kaka paling tidak suka mengajari adik SMP-nya itu, karena dia sangat susah menyerap ilmu. Sangat berbeda dengan Keke, dia jauh lebih cerdas dan cepat tangkap. Persis seperti Kaka.
"Cepetan, Bang! Aku enggak ngerti materi ini!"
Nah, ini yang paling Kaka tidak suka. Mau minta bantuan tapi nyolot, siapa yang sudi?
"Enggak," jawabnya datar.
"Dih, giliran sama Keke diajaran terus. Dasar, Abang pelit! Moga-moga kuburannya sempit!"
"Ki...," tegur Kaka seraya memperhatikan adiknya. Bocah itu berdiri di depan pintu kamar, dengan sebuah buku besar di tangan kirinya.
"Kenapa, enggak suka? Emang kenyataannya gitu, kok!" Setelah mengatakan itu, Kiki langsung memasuki kamar. Oh, jangan lupa dengan caranya membanting pintu. Itu adalah kebiasaan dirinya.
"Bang Kiki kok gitu ya, Bang? Enggak sopan banget." Si kecil berkomentar.
"Biarin dia kayak gitu, jangan diturutin! Kamu belajar aja terus, supaya pintar, dan bisa jadi orang sukses. Kamu mau kan, lihat Bunda seneng?"
Keke mengangguk, mata bulatnya mengingatkan Kaka akan almarhum Ayah. Sudah dua tahun mereka hidup tanpa sosok kepala rumah tangga, dan sudah dua tahun pula Kaka belajar menjadi pemimpin yang baik. Dia tidak mau terus-terusan melihat Bunda bekerja, karena itulah dia rajin belajar. Supaya sukses, itu katanya.
Bunda memiliki butik kecil-kecilan, yang merupakan satu-satunya sumber penghasilan. Kaka pernah bilang kepada Bunda, bahwa dia ingin bekerja. Entah itu menjual koran, jaga parkir, atau jaga lilin juga boleh. Tapi Bunda tidak memberikan izin, beliau tidak mau pendidikan putra sulungnya terganggu. Bunda sengaja memasukkan Kaka ke jurusan Administrasi Perkantoran, karena dia berharap Kaka bisa menjadi pegawai kantor.
"Bunda? Hore ... Bunda pulang!" Si bungsu berlari menuju pintu, menyambut kepulangan sang bunda sehabis bekerja. Kue kukus kesukaannya menambah kebahagiaan di sore itu.
Ah, betapa indahnya hidup Kaka.
>>¤<<
"Bang, bangun, Bang." Seorang wanita cantik menepuk-nepuk lengan putranya. "Kaka, udah pagi. Nanti telat ke sekolahnya."
Mata hijau itu perlahan terbuka, mengerjap untuk beberapa detik, sebelum akhirnya benar-benar terbuka.
"Bunda?" Itu kata yang pertama kali meluncur dari bibirnya. "Udah pagi ya, Bun?"
Bundanya mengangguk. "Iya, kamu mandi, gih! Bunda udah siapin sarapan buat kalian."
Kaka mengangguk, seperginya Bunda dari kamar, barulah ia melesat ke kamar mandi. Tak butuh waktu lama, Kaka sudah tampak rapi dengan seragam batiknya. Rambut hitamnya yang masih lembab semakin menambah pesonya pagi ini. Di dapur, sudah berkumpul Bunda bersama kedua adiknya, tampak syahdu menyantap sarapan buatan bunda.
"Anak Bunda udah ganteng," puji Bunda ketika melihat Kaka melangkah ke meja makan.
"Iya, Bang Kaka ganteng banget! Mirip artis-artis di TV!" Si bungsu ikutan memuji. Kaka tersenyum--senyuman yang tak pernah ia perlihatkan pada orang lain--kepada dua wanita cantik itu, dan langsung menghenyakkan diri di sisi kanan Kiki.
"Cih, gantengan juga aku!" ucap Kiki tiba-tiba.
Kaka mencoba membalas, "Kata siapa?"
"Ya kata akulah, masa kata Pak RW!"
Bunda dan Keke hanya bisa terkekeh melihat pertengkaran kecil dua cowok itu. Pertengkaran yang selalu memenuhi hari-hari mereka.
Selesai sarapan, ketiga bersaudara itu berangkat ke sekolah masing-masing. Keke diantar oleh tukang ojek bulanannya, Kiki jalan kaki--karena jarak antara rumah dan SMP-nya sangat dekat, dan Kaka menggunakan bus sebagai alat transportasinya. Bunda sengaja tidak memberikan Kaka motor, bukan karena tidak punya duit, tapi karena trauma.
Saat SMP, Kaka pernah dikasih motor, setiap hari ia bawa ke sekolah. Hingga suatu hari ia mengalami kecelakaan, yang mengharuskannya untuk dilajukan ke rumah sakit. Mulai saat itu, Bunda tidak pernah lagi mengizinkan anak-anaknya menggunakan motor. Sebelum mereka mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM).
Kaka menaiki bus setelah kurang lebih sepuluh menit menunggu, dan langsung memilih bangku yang terletak di paling belakang. Beruntung Kaka membawa earphone bluetooth, sehingga dia tidak mati kebosanan selama di perjalanan. Menit-menit berlalu. Alunan lagu Thingking Out Loud seakan menghipnotis Kaka, sampai-sampai tidak menyadari jika sudah tiba di halte dekat sekolah.
Setelah mengucapkan terima kasih karena sudah diingatkan--bahwa sudah sampai, Kaka bergegas memasuki gerbang sekolah. Tak lupa juga ia menyimpan ponsel dan earphone dalam saku celananya. Baiklah, Kaka siap menuntut ilmu!
Namun, tepat setelah melewati gerbang, langkah Kaka terpaksa berhenti. Sebuah mobil menghalangi jalannya--karena dengan sengaja berhenti di hadapan Kaka. Kaka melirik kaca mobil yang perlahan terbuka, hingga ia melihat wujud si pemilik mobil. Orang itu lagi!
>>>¤<<<
Kaka, Kiki, dan Keke. Hehe, ada-ada aja namanya :)
Oh iya, ada salam nih dari Abang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top