(3) Dapat Target
Milo meringuk dalam selimutnya, sesekali ia menggaruk hidungnya yang gatal. Hari masih menunjukkan pukul tujuh, belum terlalu malam bagi remaja sepertinya untuk pergi merajut mimpi.
"Den, ayo keluar! Bibi udah masakin makan malam," teriak seseorang dari luar kamar.
"Duluan aja, Bi. Nanti Milo makan kalo udah laper." Milo menjawab dari dalam selimutnya.
"Nanti makanannya dingin, Den. Kan enggak enak lagi kalo udah dingin."
"Tapi Milo enggak laper, Bi. Bibi makan aja dulu sama Kak Lingga!"
Bi Sumi menghela napas pasrah, jika sudah begini dia bisa apa? Anak bungsu majikannya itu memang tidak suka dipaksa, terlebih lagi mengenai makanan.
"Ya udah, Bibi duluan ya makannya? Nanti kalo Den Milo mau makan panggil Bibi aja, nanti Bibi siapin." Tanpa menunggu sahutan dari dalam, Bi Sumi beranjak pergi menuruni tangga.
Milo menyingkap selimut, suasana hatinya sedang tidak baik sekarang. Entahlah, ini seperti bukan Milo. Seorang Milo Arnoldi tidak pernah galau dan menyendiri, ia selalu menanggapi permasalahan dengan santai. Tapi malam ini, pikirannya kacau hanya karena satu hal; taruhan.
"Siapa ya, yang cocok jadi target gue?" gumam Milo. "Kan enggak lucu kalo gue beneran ditolak."
Milo mengembuskan napas kasar, ia membutuhkan seseorang untuk meminta saran. Dan satu-satunya orang yang tepat untuk mengetahui permasalahan ini adalah ... Lingga. Satu-satunya saudara yang Milo miliki. Sudah sejak SMP mereka hidup berdua--ralat, bertiga maksudnya, bersama Bi Sumi. Karena kedua orangtua mereka selalu sibuk mencari uang.
"Ling-Ling! Lo di mana?" Milo berteriak ketika turun ke lantai bawah. Tidak ada sahutan, lantas pergi ke kamar Lingga. Milo mengetuk pintu lalu berteriak, "Ling-Ling!"
"Enggak usah teriak-teriak, ini bukan museum!" Dengus Lingga ketika mendapati adiknya berdiri di depan pintu kamar. Tanpa mengindahkan pertanyaan Lingga, Milo menerobos masuk ke kamarnya.
"Gue mau curhat."
"Jangan duduk di kasur gue!" sergah Lingga. "Udah teriak-teriak enggak jelas, main nyelonong aja masuk ke kamar!"
Milo menyengir. "Gue kan kangen sama lo, Ling. Lo ke mana aja belakangan ini?"
"Stop manggil gue kayak gitu! Nama gue Lingga. Lagian enggak sopan banget manggil kakaknya pakai nama."
"Ling-Ling kan panggilan sayang gue ke elo."
"Emang lo mau gue panggil Mimi?" balas Lingga tak terima, kemudian mengempaskan diri di samping adik tersayangnya. Nama Ling-Ling memang sudah melekat pada dirinya, dan hanya Milo yang berhak menggunakan panggilan itu. Bahkan sampai dia duduk di bangku universitas seperti saat ini, Milo masih setia memanggilnya dengan nama itu.
"Udah, enggak usah bahas nama." Milo ikut merebahkan diri. "Gue mau curhat, Ling. Lo mau enggak bantuin gue?"
"Enggak!"
"Oke, itu artinya lo mau." Milo memutuskan. "Jadi gini, gue itu di--"
"Enggak mau, Lo!" Lingga melempar bantal ke wajah adiknya.
"Ck, dengerin dulu! Gue lagi butuh saran. Lo kan orang paling bijak di antara sekumpulan domba." Milo terkekeh.
"Sialan! Buruan, gue enggak punya waktu buat dengerin curhatan cowok alay kayak lo!"
"Jadi gini," Milo bangkit dari tidurnya dan duduk menghadap Lingga. "gue itu main taruhan sama Reza dan Dinar, kayak biasalah. Tapi ... gue enggak bisa nemuin targetnya."
Lingga terbahak detik itu juga, lantas menekan perutnya karena terlalu asyik tertawa. "Lo ... lo kalah taruhan? Raja Playboy kalah taruhan?"
"Bukan! Belum selesai taruhannya. Tapi gue enggak bisa dapet target."
"Tunggu!" Cowok ganteng itu duduk seperti Milo. "Kan elo yang nentuin target? Seharusnya lebih gampang, dong?"
Milo menunduk malu. Gue ceritain enggak ya ke Ling-Ling? Nanti dia ngatain gue homo, kan malu gue.
"Yang jadi masalah...." Milo masih tampak ragu.
"Lo udah enggak laku?"
Milo menggeleng takzim.
"Terus apaan? Lemot banget, udah kayak HP seken aja."
Milo nyengir, lantas menjawab, "Masalahnya ... targetnya itu cowok."
Lingga tergeming, menatap Milo dengan mata yang terbelalak. Cowok katanya? Astaga, sejak kapan adiknya jadi seperti ini? Masih banyak tante-tante bahenol di luar sana, kenapa harus sama cowok?
"Milo, keluar dari sini!" ujar Lingga dengan nada pelan.
"Apaan sih? Gue mau curhat malah disuruh keluar."
"Keluar sekarang! Gue enggak mau deket-deket sama maho."
"Bangke! Gue masih lurus, masih normal. Lo kira gue doyan sama batangan?" celutuk Milo tak terima.
"Trus, kenapa lo mau pacaran sama cowok?"
"Taruhan, Ling-Ling, cuma taruhan! Gue juga enggak mau awalnya, tapi mereka bakalan ngasih dua juta kalo gue berhasil." Milo menaik-turunkan alisnya.
"Dan lo mau? Mikir, Milo! Siapa yang mau lo tembak? Siapa yang bakal jadi targetnya?"
Milo mengembuskan napas kesal. "Mangkannya gue ke sini, mau nanya sama lo. Siapa tahu lo punya solusi, lo kan bijak."
Lingga mengalihkan pandangannya, menerawang jauh ke luar sana. Kira-kira ... dia akan membantu Milo apa tidak, ya? Tapi, bagaimana caranya? Walaupun adiknya itu ganteng dan beruang--maaf, berduit maksudnya--tetap saja kemungkinan berhasil sangatlah kecil.
"Gue mau aja sih ngasih saran, tapi...." Lingga menggantung ucapannya. Mata Milo sudah berbinar di hadapannya, menatap penuh harap kepada Lingga Arnoldi. "Gue dapet komisi, kan?"
Milo mencebik kesal, lalu mengangguk dengan sangat terpaksa.
"Dengerin nih, ya! Jangan sekali-kali lo milih target cowok letoy. Lo ngerti kan, maksud gue?"
"Enggak." Milo menggeleng cantik.
"Ck, otak lo lemot banget, sih? Pantes aja nilai raport gak pernah bagus," ejek Lingga. "Kalo lo jadian sama cowok melehoy, yang ada ntar dia suka beneran sama lo. Emang lo mau dicipok banci?"
Milo mengernyit jijik, menggeleng cepat tanda tak mau.
"Nah, mangkannya ... pilihlah target yang manly banget, enggak banyak omong, enggak pecicilan. Yang kayak gitu pasti enggak bakalan nafsu sama lo."
Milo manggut-manggut seraya mengetuk dagunya menggunakan jari telunjuk. "Berarti ... lebih susah dong, dapetin cowok yang kayak gitu?"
"Iya, tapi lebih baik, kan? Daripada pacaran sama cowok setengah matang, yang ada minta dikelonin dia!"
Milo terkekeh mendengar cara Lingga berbicara. Kakaknya itu sangat cerdas, tidak salah Milo meminta bantuan kepadanya. Yang harus Milo lakukan saat ini adalah mencari orang dengan karakter seperti yang Lingga katakan.
"Pendiem?" Milo menimang-nimang, mungkin dia punya teman yang seperti itu. Setelah cukup lama menerawang, akhirnya Milo berhasil. Dia ingat, dia pernah melihat orang yang seperti itu. Manly, pendiam, dan tidak pecicilan. Triplek kering!
Ya, cowok aneh yang pagi tadi ia temui.
>>>¤<<<
Kemarin saya ubek-ubek wattpad, cari cerita yang se-genre sama "Playboy". And you know what? Ada cerita yang premisnya hampir sama, tentang taruhan dapetin cowok, dan salah satu nama tokohnya juga sama. Yang jadi masalah ... itu cerita udah lama, udah ribuan kali dibaca. Saya takut dikira plagiat, ya ... walaupun saya belum baca isinya sih. Jadi nggak tau banyak kesamaan apa enggak. So, saya cuma mau ngasih tau, kalo cerita ini pure pemikiran saya. Mulai dari premis, tokoh, sampai konfliknya sekalipun.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top