(2) Cowok Aneh
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, tapi jalanan masih tampak begitu sepi. Entahlah, mungkin sekarang adalah weekend, sehingga jalanan tidak macet seperti di hari-hari kerja.
Milo menyetir mobil sport-nya dengan kecepatan normal, alunan lagu Havana yang dipopulerkan oleh Camila Cabello semakin meningkatkan mood-nya pagi ini. Sekadar informasi, Milo memang sangat menyukai lagu Havana, menurutnya suara Camila dalam lagu itu terdengar seksi dan meningkatkan gairah. Bahkan Milo selalu memutar lagu itu sebelum tidur. Aneh? Tentu saja, bukan Milo namanya jika tidak bertingkah konyol.
Sesampainya di sekolah, Milo langsung membawa mobilnya ke parkiran. Ketika keluar dari mobil dan membenarkan posisi dasinya, hanya satu kata yang dapat menggambarkan sosok Milo. Memesona.
Tepat seperti dugaannya, suasana sekolah belum terlalu ramai. Hanya ada beberapa murid dari jurusan Akutansi yang menyapu teras. Maklum, anak-anak Akutansi memang terkenal rajin dan sangat disiplin. Mantan-mantan Milo pun dominan berasal dari jurusan tersebut. Ya, Anisa salah satunya.
Ketika melintasi kelas Administrasi Perkantoran, langkah Milo dihentikan oleh seorang cowok berbadan tinggi. Milo tidak pernah melihat cowok itu, tapi satu hal yang menarik perhatiannya. Bola mata. Ya, cowok yang berdiri di hadapannya itu memiliki bola mata hijau yang sangat indah. Persis seperti bola mata kucing peliharaannya.
"Ada apa? Mau malak gue?" Milo mengangkat sudut bibirnya.
"Milo," ujar cowok itu datar. Tak hanya nada bicaranya saja, wajahnya pun terlihat begitu datar. Seperti triplek kayu kering.
"Iya, gue Milo. Ada apa?"
"Berkas."
"Hah?" Milo mengerutkan dahinya.
"Bu Rima."
Milo terdiam untuk beberapa detik, sebelum akhirnya ia menyadari sesuatu. "Oh ... berkas dari Bu Rima? Yang jelas dikit kenapa, ngomongnya?"
Milo menggeleng pelan sembari membuka resleting tasnya, mengambil map berwarna hijau dan menyerahkannya kepada cowok aneh itu. "Nih, kemaren gue udah nyariin lo, tapi lo-nya enggak tahu ke mana. Terpaksa deh gue bawa balik, soalnya Bu Rima enggak bolehin kasih ke orang lain kecu--"
Belum sempat Milo menyelesaikan kalimatnya, cowok beralis tebal di hadapannya melangkah pergi meninggalkan begitu saja. Milo bergeming, emosi seketika memenuhi kepalanya. Bagaimana bisa cowok itu pergi di saat Milo belum menyelesaikan ucapannya?
>>¤<<
"Serius?" Dinar tampak antusias mendengar cerita Milo.
"Iya serius, bukannya bilang makasih udah gue anterin berkasnya. Eh ... malah nyelonong gitu aja tuh anak." Milo menceritakan tentang kejadian tadi pagi. Dinar dan Reza yang mendengarkan kisah itu tertawa terpingkal-pingkal, mengabaikan pak Sarif yang berdiri di depan kelas.
"Dinar, Reza! Kalian berdua ribut sekali. Jika kalian tidak mau belajar, silakan angkat kaki dari ruangan ini!" seru pak Sarif.
"Eh, kita enggak berdua kok, Pak. Si Milo juga ikutan." Dinar menunjuk Milo yang duduk di belakangnya.
"Woi kampret! Kenapa lo ngajak-ngajak gue?"
"Milo, ngomong apa kamu barusan?" Pak Sarif berjalan menghampiri Milo. "Coba, ulangi sekali lagi!"
Milo hanya cengingiran menanggapi perintah pak Sarif, sambil sesekali matanya dipelototkan ke arah Dinar. Tentu saja Milo kesal, Dinar dan Reza yang berisik tapi Milo yang kena imbasnya. Kalau tahu akan seperti ini, lebih baik ia tidak menceritakan kejadian itu pada mereka.
"Anak-anak, jangan contoh yang seperti ini. Kalian harus bisa menjaga tata krama dalam berbicara, tidak asal bicara saja seperti calon penghuni neraka ini!" Pak Sarif menunjuk tepat di depan wajah Milo, bersamaan dengan bola matanya yang berkeliling menatap seisi kelas.
Kalau sudah begini, Milo bisa menebak arah pembicaraan Bapak Sejarah ini. Milo siap mengambil ancang-ancang untuk menjauhkan wajahnya, begitu pula dengan siswa lain yang ada di sekitar guru itu berdiri.
"Mulut manusia itu sama seperti teko. Apa pun yang keluar dari situ akan menunjukkan isi di dalamnya. Jadi, jika kalian mendapati seseorang berbicara yang tidak bagus, dapat dipastikan orang itu memiliki kepribadian yang tidak bagus juga."
Milo memperhatikan tiap titik-titik air yang membasahi mejanya. Beberapa siswa bahkan melemparkan tatapan prihatin kepadanya.
Ya Tuhan, hentikan semua ini! Selamatkan kami dari bencana banjir!
"Berdiri kamu!" perintah beliau bersamaan dengan gebrakan meja. Sontak saja Milo terlonjak dan langsung berdiri.
"Angkat satu kaki!" Milo perlahan mengangkat kaki kanannya.
"Silangkan kedua tangan di telinga!" Milo menghela napas, mau tak mau ia harus melakukannya. "Terus begitu sampai pelajaran selesai."
"Tapi, Pak...."
Pak Sarif melotot ganas, menghentikan ucapan Milo. Kemudian guru berkumis tebal itu berbalik sambil bergumam, "Dasar, kids jaman now."
>>¤<<
"Sialan lo pada! Kalian yang ketawa, gue yang kena hukum," gerutu Milo penuh kekesalan.
Dinar terkekeh pelan. "Ya elah, kan emang kamu juga ikutan tadi."
"Tapi gue enggak berisik! Nyesel gue cerita."
"Udah, udah! Nasi udah jadi bubur, lo mau jingkrak-jingkrak juga enggak bakalan bisa balikin waktu," titah Reza.
Milo menghela napas, lalu merogoh saku celananya untuk mengambil handphone. Mereka sedang berada di kantin saat ini, tapi Milo sama sekali tidak tertarik untuk memesan makanan. Ia masih merenungkan betapa sialnya nasib dirinya pagi ini. Mulai dari bertemu dengan cowok aneh, sampai dihukum oleh guru killer.
"Milo, coba kamu lihat!" Dinar mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin, Milo yang penasaran pun mengikuti arah pandangannya. Namun, Milo tidak mendapati sesuatu yang menarik.
"Ada apa, sih?"
"Kamu lihat sendiri, kan? Sekolah kita ini banyak banget cowoknya, kapan kamu mau beraksi? Atau jangan-jangan kamu sengaja ngulur-ngulur waktu, biar kepepet dan alasannya kelupaan."
Milo menghentikan aktivitasnya--bermain handphone. Ia bukanlah tipe orang pengecut seperti yang Dinar katakan. Tentu saja dia tidak berniat melakukan itu, bahkan memikirkannya pun ia tak pernah. Sepertinya Dinar telah melakukan kesalahan. Jika mereka meminta Milo untuk cepat menyelesaikan taruhan ini, maka dengan senang hati akan Milo turuti.
"Jadi kalian mau gue cepat-cepat dapetin target, nembak, terus jadian. Gitu?"
"Ya, lebih cepat lebih bagus. Betul enggak, Za?" Dinar menyikut perut Reza dengan tangan kirinya.
"Yoi, gua enggak sabar dengar kata 'nyerah' dari mulut Milo."
Milo mengangkat sudut bibirnya, menciptakan garis lengkung yang sangat indah. Mungkin akan terlihat menarik di mata para wanita, tapi akan terlihat sangat menakutkan di mata para lelaki. Ya, itu bukan senyum biasa. Itu adalah smirk andalan yang Milo miliki.
"Oke, kalian sendiri yang minta. Dengan senang hati gue akan nyelesain taruhan ini!"
>>>¤<<<
Happy Monday! Makasih ya udah mau baca sampe sini, seneng banget aku tuh ♡♡♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top