(1) Hari Pertama
"Apa?!"
"Iya, gue mau putus sama lo. Masih enggak ngerti?"
"Tapi kenapa, Milo? Kita baru aja jadian kemarin, kanapa tiba-tiba kamu mau mutusin aku?" Anisa meminta penjelasan. Matanya mulai berkaca-kaca. Baru kemarin ia merasa senang karena ditembak oleh cowok paling populer di sekolah, hari ini Milo menghancurkan kebahagiaanya.
"Sorry, tapi gue enggak pernah cinta sama lo. Gue cuma nyelesain tugas yang Dinar dan Reza kasih," jawab Milo santai. Ya, memang seperti itu adanya.
"Ma-maksud kamu, kemarin itu kamu nembak aku karena disuruh sama temen kamu?"
"Hm, kurang lebih kayak itu."
Anisa terbelalak sempurna. Dadanya terasa begitu sesak ketika mendengar pengakuan dari Milo. "Kamu jahat, Milo! Kamu pikir aku ini apa? Aku bukan barang taruhan, aku ini punya hati! Bagaimana bisa kamu mainin hati perempuan kayak gini?"
"Emang kenapa?" Milo bangkit dari duduknya. "Seharusnya lo itu bersyukur udah jadi pacar gue selama dua puluh empat jam. Banyak cewek di luar sana yang enggak bisa berada di posisi lo!"
"Aku lebih bersyukur jika saja aku enggak jadian sama kamu! Udah berapa perempuan yang kamu lukai kayak gini?"
Milo menegelus dagu pelan, membuat gesrure seolah sedang berpikir. "Enggak banyak, kurang lebih tiga puluh.
"Cukup, Milo! Cukup aku jadi yang terakhir, jangan kamu sakiti perempuan-perempuan lain di luar sana!" Suara Anisa terdengar bergetar seiring bahunya yang mulai bergetar. Gadis bersurai panjang itu menyeka air matanya dan berdiri menyamai Milo.
"Lo siapa mau ngatur-ngatur hidup gue? Baru jadi mantan aja udah songong!"
"Aku enggak bakalan ngelupain semua ini. Ingat, hukum karma itu berlaku! Suatu saat kamu pasti ngerti, gimana rasanya dipermainkan!" Tepat setelah mengatakan kalimat itu, Anisa bergegas pergi meninggalkan Milo. Milo yang sudah terbiasa dengan situasi ini hanya bisa mengangkat bahunya.
"Beres!"
>>¤<<
"Ah, sialan! Kenapa sih Bu Rima pake nyuruh gue segala. Gue kan sama sekali enggak kenal sama tuh anak." Milo menggerutu di sepanjang koridor. Bagaimana tidak? Saat dalam perjalanan menuju kantin, tiba-tiba guru paling killer sedunia memanggil namanya.
"Tolong kamu kasih berkas ini ke ketua kelas X AP 2! Bilang sama dia, saya mau ke rumah sakit sekarang. Ingat, jangan kasih berkas ini sama siapa pun kecuali Kaka! Mengerti?" ujar guru bidang studi matematika tersebut.
Milo ingin sekali menolak perintah itu, tapi mulutnya sama sekali tidak dapat diajak bekerja sama. Milo cuma menjawab, "Baik, Bu."
Dan sekarang, Milo harus menyusuri koridor kelas Administrasi Perkantoran. Sontak saja dirinya menjadi pusat perhatian. Semua cewek yang ada di koridor sempat berbisik dan kesemsem sendiri ketika melihatnya. Milo yang sudah biasa mendapat bisikan kekaguman itu hanya bisa tepar--tebar pesona.
"Eh, lo anak AP 2, kan?" Milo bertanya pada salah satu cewek yang ia yakini kenal dengan si ketua kelas--karena memakai baju jurusan perkantoran.
"Mi-Milo, lo ngomong sama gue?" ujar cewek itu tak percaya.
"Udah enggak usah lebay! Gue cuma mau nyari ketua kelas AP 2, dia ada di kelas enggak?"
"Oh, Elsa? Kalo jam istirahat kayak gini dia enggak pernah mendep di kelas, coba lo cari di Perpus!"
"Elsa? Bukannya dia cowok?"
"Iya, namanya Kaka. Tapi karena orangnya pendiem, jadi kami manggilnya Elsa. Dingin-dingin gimana gitu."
Milo mendengus kesal dan langsung meninggalkan cewek itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tidak ada pilihan lain, ia harus memutar arah untuk menuju Perpustakaan. Sasampainya di Perpustakaan, Milo langsung mendorong pintu kayu besar yang tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda seorang cowok di dalam sana, hanya ada beberapa cewek yang Milo yakini sebagai kakak kelasnya.
Dengan perasaan kesal Milo langsung menutup pintu itu, tanpa mempedulikan tatapan heran dari para penghuni Perpustakaan.
"Shit! Tuh anak di mana sih?" umpat Milo. Tepat setelah kalimat itu melesat dari bibir indahnya, bel masuk terdengar nyaring seantero sekolah. Milo merutuki nasib sialnya. Bukannya pergi ke kantin untuk makan bersama para sahabat--Reza dan Dinar, waktu istirahatnya justru dihabiskan untuk mencari keberadaan orang yang sama sekali tidak ia kenali.
>>¤<<
Aroma kopi yang khas meyeruak memanjakan indera penciuman Milo. Seperti biasa, sore ini ia menghabiskan waktu bersama para sahabatnya untuk sekadar berkumpul. Ada satu tempat yang menjadi favorit mereka, ya, kafe yang baru saja Milo masuki adalah jawabannya.
"Wih, udah lama nunggunya?" sapa Milo seraya menghenyakkan diri di hadapan Dinar dan Reza.
"Enggak kok, bentar. Baru dua jam," jawab Reza datar. Berbeda dengan Dinar yang kini terkekeh mendengar jawaban Reza.
"Ya elah, Za. Gue kan lamanya juga buat kalian, kalo gue ke sini cuma pakai boxer, kan kalian sendiri yang malu."
"Emang lo pikir sekarang gua enggak malu?"
"Bangke! Jadi menurut lo gue malu-maluin?" celutuk Milo kesal. Yang dicelutuki hanya bisa menampilkan deretan giginya yang putih.
"Udah, daripada debat enggak jelas, mending makan." Dinar menengahi.
"Ah, lo mah makan mulu pikirannya! Utang mana utang?"
Dinar menyeruput milkshake-nya. "Iya, ini juga mau aku bayar. Makan aja dulu!"
"Asek, lo yang traktir?"
"Traktir your head! Kamu yang menang taruhannya, aku yang traktir!" sergah Dinar tak terima. Dinar itu memang sopan orangnya, tidak pernah berbicara menggunakan bahasa 'lo-gue'. Berbeda dengan kedua sahabatnya yang tidak pernah peduli dengan tata krama berkomunikasi.
"Eh, ngomong-ngomong soal taruhan ... gimana? Lo udah nemuin targetnya?"
Milo menggeleng seraya megambil kentang goreng dari piring Reza. "Belom, masih lama juga waktunya."
"Satu bulan kelamaan? Mau dipercepat waktunya? Seminggu? Dua minggu?"
"Eh, gila ae lo! Taruhan cewek satu bulan, masa taruhan cowok dua minggu," ujar Milo tak terima.
"Habis kamu santai banget sih, Lo. Ingat kata pepatah, 'waktu adalah uang' jadi semakin cepat kamu dapetin cowok, semakin cepat kamu dapetin duitnya!"
"Itu makanan ditelen dulu coba! Jijik gue lihatnya." Milo mengernyit jijik melihat kebiasaan sahabatnya yang satu itu. Dinar memang tidak pernah bosan untuk makan, entah di sekolah, di kafe, bahkan di empang sekalipun. Terkadang Milo merasa iri dengan fakta bahwa berat badan Dinar selalu ideal. Berbeda dari dirinya yang harus menjaga porsi makan dan rajin berolahraga.
"Kali ini gua enggak yakin kalo lo bisa menangin taruhan ini." Reza berasumsi.
"Simpen omongan lo! Gue bisa aja nyelesaiin taruhan ini sekarang, kalo gue mau." Milo mengangkat dagunya bangga.
"Oke, kita lihat aja hasilnya!"
>>>¤<<<
[A/N]
Maaf ngaret, mulai hari ini "PLAYBOY" akan up secara teratur ;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top