Epilog
Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Sebelum jarum jam bergulir ke angka 7 malam, Hendery sudah rapi dengan jeans dan cardigan-nya. Dilengkapi gel supaya rambut ikalnya tidak mencuat kemana-mana, dia jadi menyerupai pangeran yang keluar dari film Disney. Namun bukan Belle atau Cinderella, kedatangannya ke rumah Nako adalah untuk menjemput gadis bernama Park Sieun.
Terlalu bersemangat, Hendery harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa ini bukan kencan sungguhan. Bagi Sieun, ini mungkin hanya makan malam biasa, tapi tak ada salahnya berharap kan?
"Sieun?" Hendery mengetuk 3 kali. "Sieun, main yuk!"
Tak berapa lama, pintu terbuka sedikit, menampilkan seraut wajah kecil yang tampak menggemaskan walau tidak dibubuhi polesan make up. "Password-nya?"
"Neo coffee tiramisu, makes me miss you!"
Mata gadis itu memicing. "Salah, coba lagi."
"Nako cantik dan baik, panggilin temen sekamarmu ya, nanti aku kasih makanan gratis."
Barulah senyum si gadis merekah lebar. "Masuk dulu, Dery. Sieun masih dandan."
Yabuki Nako, si tuan rumah, melenggang lebih dulu ke dalam, begitu mungil dan ramping yang menimbulkan kesan ia jauh lebih muda dari usianya yang asli. Dengar-dengar di SMA, dia pernah menyampaikan pidato perpisahan sambil berjinjit karena tidak bisa mencapai mikrofon. Bahkan di kampus, dia punya pengalaman dicegat satpam sebab dikira murid SD yang salah alamat.
Ya, tinggi Nako memang minimalis.
"Jadi?" Diiringi kibasan rambutnya, Nako menoleh. "Kamu mau ngajak temenku kencan?"
"Bukan kencan." Hendery berdalih. "Ini cuma jalan-jalan santai."
"Minum?"
"Boleh."
"Mau apa?" Nako menawarkan, mulai membuka lemari esnya.
"Adanya apa?"
"Air putih doang, sih."
"Kalau gitu ngapain nanya??"
Nako tergelak, tapi suara tawa lain ikut bergabung bersamanya, dan Sieun keluar dari pintu yang tadinya tertutup rapat. "Mendekati akhir bulan." Dia mengedipkan sebelah matanya. "Harus hemat, cyn!"
Sesaat, Hendery terpana dibungkam kekaguman. Perasaan asing yang tidak dia rasakan pada gadis-gadis sebelumnya secara lancang menyusup ke dada dan membuat jantungnya berdebar-debar. Sieun cantik一dia tahu itu. Hendery hanya tidak tahu bagaimana sebuah gaun selutut sederhana yang bagian bawahnya mengembang seperti tulip terbalik mampu menyulapnya menjadi luar biasa cantik.
Untuk acara malam ini, Sieun mengepang sejumput rambutnya ke atas, dan memberi aksesoris berupa pita pink lucu. Kombinasi warna hijau pudar dan putih gaunnya menonjolkan warna kulitnya yang seperti zaitun. Pakaian itu terbuka di bagian lengan, namun masih dalam batas sopan yang tidak melenceng dari koridor kemolekan.
Singkatnya, dia terlihat mempesona.
Hendery tak kuasa untuk tidak memuji, "Kamu kelihatan anggun..."
Sieun tersipu. "Makasih. Yuk, berangkat?"
Nako menggerak-gerakkan tangannya pada mereka seumpama orang tua yang mengantar kepergian anaknya. "Jangan pulang malem-malem!"
Pembahasan mengenai air putih menguap dari benak Hendery saat ia dengan seksama masih merekam penampilan Sieun melalui matanya. "Maaf." Dia berkata. "Kita harus jalan kaki karena motorku mogok."
"Nggak masalah, Hendery. Sekalian olahraga."
"Biar simpel panggil Dery aja, kayak yang lain."
Sieun berpaling, profil wajahnya yang dibingkai cahaya bulan merupakan pemandangan yang indah. "Dery bukannya nama snack, ya? Dery wafer cokelat."
"Itu Gery, Sayang."
"Hasil pertandingan antara kedua tim berakhir Dery."
"Seri!" Hendery bersungut-sungut. "Wah, bisa ngelawak juga kamu."
Sementara Hendery pura-pura cemberut, Sieun tertawa. "Oke deh, Dery kalau gitu."
Ketegangan yang menggelayuti pundak Hendery lambat-laun menghilang. Candaan Sieun membuatnya merasa lebih ringan dan ... Nyaman. "Lewat sini, kita hampir nyampek. Omong-omong kamu kuliah jurusan apa?"
"Sastra Inggris, bareng Nako."
"Semester?"
"Giliranku." Sieun menyeringai. "Tadi kamu mau ke mana? Kenapa cepet banget puter balik?"
"Itu ...." Hendery melakukan kebiasaannya kala gugup menerpa; mengacak-acak rambut. "Sebenernya aku mau kencan, tapi gagal. Itu yang ke-5."
Bisa mengendus adanya cerita seru, Sieun mengangkat sebelah alisnya. "Maksudnya, 5 kencan kamu gagal terus?"
"Berturut-turut."
"Kok bisa?"
Tiba di tujuan, mereka duduk di kursi kosong yang posisinya dekat dengan jendela. Masing-masing memesan menu andalan restoran itu. Udon untuk Sieun, dan bulgogi untuk Hendery. Cerita ditunda sampai si pendongeng siap dan melipat tangannya di atas meja layaknya seorang murid teladan. "Biar aku rinci. Di kencan pertama, aku kentut一"
Beberapa detik berkisah, tawa Sieun sudah mengudara. "Sebentar ... Apa? Kamu kentut?"
"Ya," ucap Hendery sungkan. "Bukan berarti aku titisan sigung atau punya hobi yang nggak biasa. Itu nggak sengaja. Perutku mules."
"Insting alami."
"Bener."
Keduanya terbahak-bahak.
"Abis itu?" Tuntut Sieun dengan antusiasme yang meningkat. "Kencan selanjutnya?"
"Aku telat dan jatuh nimpa kue orang."
"Yang ke-3?"
"Aku dateng ke tempat kencan bareng Lucas一kamu udah ketemu Lucas?"
Anggukan. Sieun mengistirahatkan punggungnya di sandaran kursi. "Udah. Kenapa sama dia?"
"Cewek itu lebih suka Lucas."
"Aduh." Ringisan Sieun menggambarkan perasaan Hendery saat itu. "Anda kurang beruntung."
Makanan datang. Hendery membantu pelayan menata menu di atas meja, seraya bersyukur dia dianugerahi tangan seniman yang cekatan. "Sial banget." Dia setuju. "Tapi yang ke-4 aku yang salah."
"Cowok emang selalu salah."
Hendery mendengus. "Di kencan ke-4, aku ketiduran. Bangun-bangun udah lewat 3 jam, dan akunku di blokir."
"Akun?"
"Aku ketemu mereka lewat Sinder." Gadis-gadis yang istimewa mereka itu, semuanya menawan, meski tak satupun ditakdirkan untuk menjadi miliknya. "Aplikasi kencan."
Tiba-tiba hidung Sieun berkerut. "Ngapain susah-susah sih, Dery? Jodoh nggak akan kemana-mana, orang yang tepat pasti hadir di saat yang tepat juga."
"Oh, kamu tipe orang yang biarin semuanya ngalir gitu aja?"
Nyaris tanpa jeda, Sieun mengiyakan. "Jelas. Kita ini masih muda, dan nyari pasangan itu bukan perlombaan. Buat apa buru-buru?"
Dengan mulus, Hendery menyetir pembicaraan ke topik yang ia inginkan. "Sekarang punya pacar?"
"Nggak tuh. Aku jomblo dan aku bangga."
Diam-diam, tanpa diketahui gadis itu, Hendery mengepalkan tangannya di bawah meja dan berteriak, "Yes!" berulang kali dalam hati. "Bagus deh."
Sieun menatapnya penasaran. "Bagus apanya?"
"Nggak apa-apa." Kilah Hendery cepat. "Bukan apa-apa."
Bila diibaratkan saat itu, kepompong-kepompong yang telah terlalu lama berdebu di hatinya akhirnya一akhirnya一menetas, dan kupu-kupu dengan semburat warna pelangi di sayapnya berterbangan menebar bibit-bibit cinta di tanah yang mulanya kering kerontang.
Pemahaman itu muncul pelan-pelan, sealami bunga yang mekar, atau ombak yang mengikis karang, ketika Hendery dengan terpukau menyadari, ah, aku jatuh cinta!
Bukan sekedar tertarik, tapi lebih dalam dan lebih murni, ini benar-benar cinta.
Sepanjang acara makan, Hendery tak bosan-bosannya nyengir bahagia. Ini perasaan yang menakjubkan dan ia tak mau tergesa-gesa melepasnya. Dia berbuat banyak hal agar Sieun tinggal lebih lama; makan perlahan, menguras otak mencari bahan obrolan, memesan menu tambahan.
Akibatnya, mereka hampir 2 jam menepi di restoran, ngobrol ngalur ngidul sampai perut kenyang.
"Ayo pulang, udah malem." Namun tak urung, perpisahan bukanlah hal yang dapat ia hindari selamanya.
Dengan sedih, Hendery menumpuk piring-piring mereka dan berniat mengeluarkan dompet bersama dengan meluapnya sesal yang tak tertahankan. "Aku yang bayar."
"Nggak usah, Dery. Biar aku一"
"Ssstt." Hendery menggeleng enggan dibantah, lantas memanggil pelayan. Dia meraba-raba saku celananya, kanan dan kiri, tapi entah bersembunyi dimana, dompet yang ia cari tidak kunjung ditemukan. "Tunggu."
Sang pelayan meletakkan bill ke meja.
"Tunggu ya." Hendery mengulangi dengan sekelumit tawa canggung. Dia berdiri, dan menepuk-nepuk sakunya dengan lebih brutal. "Dompetku nggak ada...?"
Pernyataan yang lebih mirip pertanyaan itu ditanggapi Sieun dengan menyelipkan kartu kreditnya sendiri. "Kamu lupa?"
Alhasil, Sieun-lah yang ujung-ujungnya membayar pengeluaran mereka selagi Hendery yang gagal keren cengengesan tanpa daya. "Maaf, aku pelupa orangnya."
Lonceng di pintu restoran berdenting saat mereka keluar dari tempat itu. "Udah, jangan minta maaf mulu."
"Kalau minta kiko ntar dikira iklan, dong."
Berhasil, Sieun tertawa.
Hanya saja rasa bersalah Hendery tidak memudar segampang itu. "Sieun, denger, aku bukannya mau makan gratisan atau semacamnya. Tolong jangan salah paham一"
"Hendery." Yang diajak bicara berhenti melangkah dan memandangnya lurus-lurus di mata. "Aku ngerti, santai aja."
"Santai, oke." Ekspresi Hendery sama sekali tidak mempraktikkan kata-katanya. "Kamu nggak marah?"
"Kamu mau aku marah?"
"Nggak juga." Hendery berdeham. "Tapi aku mau kita makan malam lagi besok. Dan aku janji bakal traktir kamu."
"Yakin nih?"
"Ya." Keberanian Hendery mendadak menciut dan ia menunduk. Poninya yang panjang jatuh menutupi mata saat ia berkata, "Kencan kedua...?"
Sieun meletakkan sebelah tangannya di pinggang. "Aku nggak tahu kalau yang tadi itu dianggep kencan."
"Secara terselubung."
"Dasar cowok." Gadis itu meniup poninya keras-keras. Dan yang mengkhawatirkan, tidak segera memberi jawaban. Sieun justru kembali berjalan dengan mantap menuju rumah.
Pasrah, Hendery mengekorinya seperti anak kucing yang tersesat. Terjadi lagi, dia kira, moment ketika ia mengacaukan kencan yang potensial karena kecerobohannya. Kali ini disebabkan dompetnya yang ketinggalan. Meski menganut kesetaraan gender, tetap saja rasa malu menusuk-nusuknya laksana pisau tajam.
Menyebalkan.
Hendery mengantar Sieun sampai ke pintu rumahnya. Kepercayaan dirinya musnah, dan dia memasukkan tangannya yang dingin ke saku celananya yang kosong melompong. "Makasih buat malem ini. Sekali lagi ... Maaf."
Sieun mengangguk, kemudian masuk ke dalam...
Lalu beberapa senti sebelum pintu ditutup sepenuhnya, dia melongokkan kepalanya dengan seulas senyum cerah. "Besok jemput aku jam 8, ya?"
Harapan Hendery seketika tersulut. "Kamu mau?"
"Ya, awas jangan telat. Malem, Dery!"
Dengan itu Sieun melambai dan lenyap ditelan benda persegi panjang tersebut.
Tinggallah Hendery yang tertawa seorang diri, meneriakkan YES! lebih lantang, dan menengadahkan kepala berbagi kesenangan pada sang bulan.
Setibanya di rumah dia menemukan Lucas tengah memberi makan Louis, dan sambil tersenyum lebar yang rasa-rasanya bisa mengalahkan terangnya bintang-bintang, Hendery menginformasikan, "Lucas."
"Hah?" ujar Lucas kebingungan. "Dari mana?"
"Kayaknya bentar lagi aku bakal dapet pacar tanpa aplikasi. Cinta itu lucu, ya? Kadang dicari jauh-jauh malah ketemunya di sebelah rumah!"
Kencan dengan Park Sieun? SUKSES!
-KELAR-
Ahahaha kaget kagak nih?
Bukan prank, ini beneran tamat kok. Awalnya gua mau bikin Hendery kencan 7 kali sebelum dia ketemu cewek yang tepat, tapi serius dah ide gua mampet. Kagak ada lagi, abisss pokoknya. Makanya play dates cuma sampek di sini, berakhir happy ending dengan Hendery yang akhirnya sukses kencan sama cewek ke-6.
Horeeeeee 😚
Maapkeun kalo selama baca ini kalian mual dan muntah. Harap maklum ini ff comedy pertama gua soalnya 🤧
Terakhir, jangan lupa tulis kesan dan pesannya *halah* buat ff ini. Adakah yang kurang? Adalah kritik dan saran? Monggo masukkan ke kotak amal.gg eh tulis di komentar maksudnya 😳
Kagak komen = kalian jahad ☹️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top